Makam Pangeran Diponegoro dan istri |
Pada masa pengasingannya Pangeran Diponegoro bersama keluarganya ditahan di benteng Rotterdam sampai Beliau wafat disana. Dari makam keluarga yang ada di Makasar, saya mengetahui bahwa istri dan anak-anak Beliau tetap setia menemani sampai akhir mereka. Pangeran Diponegoro dan keluarga praktis kehilangan kontak dengan keluarga di Jawa dan ibarat orang yang telah terlucuti kekuasannya, tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat Makasar dan sekitarnya secara bebas. secara lahiriah ibarat macan kehilangan aumannya atau gajah kehilangan gadingnya. Namun nurani kemanusiaan, perbawa sejati seorang manusia, kobaran semangat anti penjajahan tidak akan bisa dihancurkan. Pahlawan tulen tidak akan pernah berubah meski situasi, keadaan dan jaman tidak lagi mendukungnya.
Dalam pengasingan, Pangeran Diponegoro memilih menjadikan khalwat sebagai wujud perjuangan Beliau untuk mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia. Mengusir penjajahan dari bumi nusantara itulah doa dan harapan yang Beliau pendam dan mohonkan dalam doa dan khalwat Beliau selama dalam pengasingan..
Fort Rotterdam |
Namun sayang saya tidak melihat upaya itu disana. Yang membuat saya berpikir untuk apa benteng itu diubah menjadi musium? Apakah sekedar tempat koleksi barang kuno tanpa makna?
Dan yang lebih memalukan bukannya melihat foto Pangeran Dipengoro atau Sultan Hasanadun sebagai pahlawan bangsa, pertama kali memasuki bagian ruangan musium La Galigo, justru saya disodori foto besar penjajah Cornelius Spellman berbentuk lukisan dilanjutkan foto-foto pemimpin pemerintah di era kemerdekaan yang ada di ruang berikutnya.
Dalam hati saya bertanya-tanya, apa maksud semua ini? Nilai apa yang ingin disampaikan oleh pengelola musium dengan ini semua? Karena tidak ada informasi yang mendukung relevansi antara satu barang dengan barang lain yang ada di musium itu, sah-sah saja kalau saya menafsirkan bahwa foto-foto itu adalah foto para penjajah lokal yang pernah berkuasa di Sulawesi.
Dan ketika saya berharap akan ada sesuatu yang bisa mengajarkan kepada saya tentang sejarah Sulawesi Selatan sesuai namanya musium La Galigo, yang saya dapatkan justru barang-barang yang kebanyakan adalah pusaka peninggalan orang lain yang tidak ada relevansinya dengan Sulawesi Selatan. Itupun dengan informasi yang tidak cukup menarik dan mengesankan untuk dibaca. Menunjukkan pihak musium kurang / tidak melakukan riset yang mendalam untuk melengkapi keterangan tentang barang-barang pusaka tersebut.
Naskah asli karya sastra Sulawesi Selatan I La Galigo |
Saya sebenarnya berharap dapat menemukan informasi lebih banyak dan lebih detil tentang La Galigo itu sendiri. Namun saya, itupun juga tidak banyak saya dapatkan dalam musium. Justru info itu adanya di kios soevenir yang menjual buku dan beberapa jenis soevenis. Namun buku-buku yang tersedia juga hanya satu set saja. Bisa jadi budaya membaca dan menghargai karya sastra lokal kurang berkembang di lingkungan masyarakat setempat.
Untuk menutup rasa kecewa saya beli buku lebih tepatnya foto kopi buku berjudul Siri' Na Pacce untuk mendapatkan informasi lebih jauh tentang akar budaya bangsa Indonesia khususnya orang-orang Bugis Makassar. Semoga saya bisa mendapatkan sesuatu dari sana untuk meniupkan nafas pada akar bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar