Sabtu, 24 Juni 2017

Menuju pada pribadi yang rahmatan lil alamiin


Dalam pemahaman Shiddiqiyyah tiga bulan yang utama dalam kalendar Hijriah yaitu Rajab, Sya'ban dan Ramadhan merupakan rangkaian bulan yang melambangkan syahadatain yaitu Laalaaha illa Alloh Muhammad Rasulullah. Rajab adalah bulannya Allah, Sya'ban adalah bulannya Muhammad dan Ramadhan adalah bulannya Allah.

Bulan Ramadhan merupakan bulan yamg paling istimewa bagi umat Islam yang beriman. Selain karena pada bulan itu orang-orang yang beriman diwajibkan berpuasa, juga ada kewajiban zakat fitrah yang wajib dibayarkan oleh mereka ysng mampu dan bagi Shiddiqiyyah kewajiban untuk melaksanakan sholat Ied Fitri.

Pada saat yang bersamaan di Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ada tradisi mudik lebaran yang menurut cerita bermula sejak masa Pangeran Samber Nyowo melakukan perlawanan kepada penjajahan Belanda.

Ketika Bpk Kyai mengingatkan tentang hikmah di balik mudik lebaran, saya terdorong untuk ikut merenungkannya. Judul artikel ini sendiri merupakan kesimpulan saya pribadi dari upaya seluruh proses yang kita jalani sejak Bulan Rajab, Sya'ban sampai Ramadhan yaitu meneladani tugas Rasululullah Muhammad SAW sebagai Rahmatan lil 'alamiin. Kesimpulan ini saya dapatkan karena Ramadhan yang disebut bulan Allah melekat pada syahadat Rasul yaitu Muhammad Rasul Allah. 

Puasa

Kita semua tentu pernah melakukan perjalanan jauh fan bagaimana persiapan untuk melakukan perjalanan itu kita siapkan sejak azam/keinginan itu terbersit di benak kita. Mulai dari kebutuhan selama di perjalanan sampai mengenali jalur-jalur yang sebaiknya dilalui agar bisa sampai tujuan dengan tepat pada waktunya dengan selamat bukannya malah tersesat atau kemana-mana hingga tidak sampai ke tujuan.

Memperhatikan bahwa ujung perjalanan ruhani dari tiga bulan istimewa itu adalah kembalinya manusia kepada fitrahnya, maka sudah tentu seluruh rangkaian ibadah selama tiga bulan istimewa itu diharapkan bisa membawa kita ke tempat dimana kita bisa mengenali kembali jati diri kita, fitrah kita sebagai manusia. Maka bulan Rajab dan Sya'ban adalah bulan-bulan dimana kita mempersiapkan diri kita untuk melakukan perjalanan mudik ke kampung halaman ruhani. Dan ketika memasuki bulan suci Ramadhan, saat itulah perjalanan mudik ruhani kita mulai.

Dan seperti orang yang telah jauh pergi meninggalkan kampung halamannya, langkah awal itu terasa berat meninggalkan tenpat tinggal kita terasa berat (bahkan ada yang memutuskan untuk tidak mudik) meski antusiasme begitu kuat. Namun kita tahu tempat-tempat yang kita lalui bukanlah kampung halaman kita. Demikian pula saat-saat di awal puasa, terasa berat menahan rasa lapar dan dahaga, menahan hawa dari sifat2 angkara. 

Dengan memandang puasa sebagai perjalanan mudik ke kampung halaman ruhani, sebagai orang tasawuf dalam berpuasa sudah semestinys kita tidak hanya berhenti pada sekedar menahan diri dari tidak makan, minum dan melakukan hubungan badan selama menjalankan puasa. Kita mestinya juga meningkatkan kualitas puasa kita pada tingkatan puasa khusus dan khususil khusus agar mendekatkan kita pada tujuan mudik ruhani ini.

Jadi saat kita menjalankan puasa yang lalu, adanya pertanyaan 'sudahkah ruhani kita merasakan semakin dekatnya kita pada kampung halaman ruhani yang ingin kita tuju?' hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya.

Zakat Fitrah

Terkait dengan zakat fitrah paham Shiddiqiyyah memberikan ketentuan  zakat fitrah hanya untuk fakir miskin, berbeda dengan ketentuan yang umum di masyarakat. Dalam kaitannya dengan mudik ruhani, hal tersebut memiliki hikmah yang besar.

Saat kita melakukan perjalanan dhahir di dunia ini, umumnya kita membawa bekal. Ada yang begitu banyaknya sampai-sampai mereka malah terbebani dan direpotkan oleh bekal yang begitu banyak. Dalam perjalanan ruhani, kita justru diperintahkan untuk meringankan bekal.  Nabi Musa AS diperintahkan untuk melepaskan alas kakinya (QS 20:12). Sebuah hadits yang berasal dari Anas bin Malik mengisahkan bahwa suatu hari Rasulullah sambil memegang tangan Abu Dzarr dan berkata : wahai Abu Dzarr tahukah kamu bahwa suatu saat nanti ada rintangan yang amat sulit diatasi,yang tidak akan bisa melewatinya kecuali orang-orang yang ringan, kemudian sesorang berkata pada Rasul, Ya Rasul apakah aku termasuk 68:4) hari ini? Orang itu menjawab Ya, kemudian Rasul kembali bertanya : apakah kamu memiliki makanan untuk hari esok? Jawab orang itu Ya, Rasul bertanya lagi : apakah kamu memiliki makanan untuk hari lusa? Jawab orang itu Tidak, Rasul lalu bersabda : Jika engkau memiliki makanan untuk 3 hari, maka kamu termasuk dalam golongan orang-orang yang berat.

Sedemikian rupa sehingga kondisi ruhani ketika mendekati akhir perjalanan diharapkan sudah sedemikian kosongnya dari semua hal yang bisa mengotori kesucian fitrah. Saat itulah zakat fitrah menemukan maknanya dalam rangkaian perjalanan mudik ruhani.

Saat kita menyerahkan zakat fitrah itu kepada fakir miskin, bisakah ruhani kita menyaksikan kefakiran kita di hadapan Allah Ta'ala yang Maha Kaya? Zakat fitrah sebagai proses pensucian diri adalah titik terendah kita sebagai manusia sebagai hamba, sebagai makhluk ciptaan di hadapan Dia Sang Pencipta dan Penguasa Alam Semesta.

Manakala pengenalan ini telah terjadi, lantunan takbir adalah sebaik-baik bacaan yang patut kita gemakan dalam ruhani kita untuk memujiNya. Dan sholat idul fitri adalah sebaik-baik cara bersyukur yang bisa kita lakukan kepada Sang Maha Pencipta.  Allohu Akbar. Allohu Akbar. Allohu Akbar. Laailaaha illa Allah. Allohu Akbar. Allohu Akbar wal lillahil hamdu.

Pribadi Rahmatan lil alamiin

Allah Taala pemilik Ismul A'dzom (Nama yang Agung) telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai pribadi yang berbudi pekerti yang luhur (khuluqil adzim) dalam QS 68:4.  Sebagai ummatnya kita diperintahkan untuk meneladaninya.

Pada diri Rasulullah SAW kita bisa mengenali fitrah kita sebagai manusia. Fitrah itu tercermin pada perbuatan baik Beliau yang mencontoh pada perbuatan Allah (QS 28:77).  Perhatikanlah, Allah Yang Maha Sabar suka pada orang-otang yang sabar. Allah yang Maha suci suka pada orang-orang yang mensucikan dirinya dari kotoran ruhani. Allah Yang Maha Penerima Taubat suka pada orang-orang yang bertaubat. Allah Maha Kaya suka pada orang-orang yang dermawan. Allah yang Maha Mensyukuri suka pandai orang-orang yang pandai bersyukur. Allah yang Maha Pemaaf suka pada orang-orang yang pemaaf. Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang suka pada orang-orang yang suka mengasihi dan menyayangi. Allah yang Maha Mulia suka pada orang-orang yang menjaga kemuliaan martabat kemanusiaannya. Allah yang Maha Tinggi suka pada orang yang tawadhu', Allah yang Maha Terpuji suka pada orang-orang yang bersikap terpuji dan seterusnya. Sfat-sifat Allah yang kita kenal dengan istilah Asma-ul Husna bisa kita kenali pada diri hambaNya yang paling mulia, Rasulullah Muhammad SAW.

Akhlak yang baik adalah fitrah manusia. Sebagai fitrah, ia memberikan rasa kecocokan pada diri kita. Seperti kita merasakan kecocokan pakaian yang ukurannya pas di badan, ia nyaman dipakai. Tidak terlalu longgar yang membuat kita nampak jelek dan tidak terlalu ketat yang membuat kita merasa tertekan. Pilihan warnanya menyenangkan yang memberi pakaian, yang memakai maupun yang melihatnya.

Adalah doa yang sangat tepat yang diajarkan Mursyid Thariqah Shiddiqiyyah ketika kita melakukan serah terima zakat fitrah. Yaitu doa Allohumaj'alni maghnaman wa laa taj'alni maghroman yang artinya Wahai Allah  jadikanlah aku  orang yang beruntung dan janganlah jadikan aku orang yang merugi. Keberuntungan itu bermacam-macam bentuknya. Dalam kaitannya dengan perjalanan kembali ke kampung halaman ruhani adalah dengan segera sampainya kita ke tujuan, dengan dilimpahinya ruhani yang telah terkosongkan dari segala bekal duniawi untuk kemudian diisi dengan kekayaan ruhani yang menggembirakan Sang Pemberi dan yang diberi. Karena jika mudik lebaran itu membawa kebahagiaan bagi para pelakunya, maka apalagi bagi mereka yang sungguh-sungguh menemukan kembali jalan pulang ke rumah ruhani tempat fitrah manusia berada. Menemukan jalan kembali dan bisa sampai ke kampung halaman adalah karunia yang tak ternilai hatganya.

Pakaian Takwa

Di masa lalu, saya masih ingat orang tua saya selalu memberikan pakaian baru untuk kami kenakan saat melaksanakan sholat Idul Fitri. Sebagian orang yang sudah makmur di jaman sekarang beranggapan tradisi itu tidak perlu dilestarikan, karena mereka bisa membeli baju baru di waktu-waktu yang lain tidak harus khusus untuk Idul Fitri. Sebagian orang beralasan tidak semua orang mampu membeli baju baru, sedang yang lain beralasan tidak ingin pamer baju kepada yang lain, dan alasan-alasan lainnya mereka sampaikan.

Dan saat menghadiri pelepasan zakat fitrah, saya sebenarnya agak heran juga karena panitia ada menyebutkan adanya penyaluran pakaian sebanyak lebih dari 1000 setel. Di badan-badan amil zakat yang pernah saya ketahui, belum pernah saya menemui pembagian pakaian masuk dalam kepanitian amil zakat fitrah. Saya baru tahu tentang hal ini. Dan saat melakukan proses perenungan di seputar tradisi lebaran, saya bisa memahami alasan adanya hal tersebut.

Al Quran menyebutkan bahwa sebaik-baik pakaian adalah pakaian takwa (QS 7:26). Adanya penyaluran pakaian dhahir dalam pembagian zakat fitrah adalah simbolisasi harapan agar pakaian ruhani kita juga tersucikan. Dan sebagaimana kita dianjurkan mengenakan pakaian terbaik saat melaksanakan sholat Ied Fitri, maka pada anjuran itu ada doa dan harapan agar kiranya kualitas ketakwaan kita dijadikan lebih baik dari sebelumnya.

Akhirnya, semoga kita semua dikembalikan pada fitrah kemanusiaan kita dan dijadikan kita sebagai orang yang beruntung di dunia dan akhirat.
Taqobbalallohu minna wa minkum, taqobbal ya Kariim.