Senin, 31 Oktober 2011

To sacrifice between love and faith - 1

This week is a week in which the weekend is going to be a celebration for Muslim community in most part of the world, Ied Adha or Ied Sacrifice. There is a divine story behind this celebration. It is in relation to the story of Prophet Ibrahim pbuh and his beloved son Prophet Ismail pbuh. This a story of love and faith.

In those old days, it was prophet Ibrahim pbuh had been old (about 80years) and had no son not from the two wives he got. When Allah granted him with a son (his first son) that he named Ismail pbuh, he was very happy thus loved his son very much.

But then the divine message instructed him to separate himself from his beloved son and his second wive, Hagar. Fully trusted the wisdom and the sustenance of the Most High, he left them in the Valley of Bakka (Mecca) under the care of Allah. Some reference said that he left them there for about 9 years.

After 9 years he came back to see them and found the place that used to be a deserted valley in which no one lived there had turned into a small community. This was after Hagar found the spring of zam-zam under the feet of his baby Ismail. During those quality time he had with his family, he taught them the words of Tawhid. Those words had strengthened the iiman (faith) and virtues of his family as well as gave him joy of a family life in the valley.

Until one day, there came another divine message through his dream. He was told to sacrifice his son by slaughtering him. Because it had something to do with his son, he consulted his wife Hagar about the dream. Knowing it was a divine message, she could only submitted herself and held on to her iiman to Allah. She trusted Allah fully and loved Allah more than his own son to allow the divine message to be executed.

Having that agreement from his wife, he then told his son about the dream and got his answer. Qur'an has inscribed their state in facing the situation beautifully in Ash Shaffat: " And when he reached with him [the age of] exertion, he said, "O my son, indeed I have seen in a dream that I [must] sacrifice you, so see what you think." He said, "O my father, do as you are commanded. You will find me, if Allah wills, of the steadfast. " [QS 37: 102]

The temptation of the devil before the sacrifice - source: www.istanbulsanatevi.com




In receiving the acceptance of his son, Prophet Ibrahim pbuh executed the divine massage without any further hesitation. He had chosen imaan out of humanly and family love. Regardless his love to his beloved son, one that he had been waited for as long as he could remember as his wish-come-true-progeny, his submission to Allah's command had convinced his heart and mind much much stronger to do what seemed to be non-sensible, out-of-mind action. And again Qur'an related his submission " And when they had both submitted and he put him down upon his forehead, We called to him, "O Ibrahim, You have fulfilled the vision." Indeed, We thus reward the doers of good. " [QS 37: 103 - 105]


Because of their submission in fulfilling the divine vision, they both were praised to be the obedience servants and their names and their action were remembered by the later generation. Something they never thought they would get in facing the trial. For those experience was "Indeed, this was the clear trial." [QS 37: 106] for them both. Thus Allah had granted him " And We ransomed him with a great sacrifice, And We left for him [favorable mention] among later generations: "Peace upon Ibrahim." Indeed, We thus reward the doers of good. Indeed, he was of Our believing servants. " [QS 37: 107 - 111]

to be continued.... 

 


Minggu, 30 Oktober 2011

Luberkan terima kasih

Pada suatu minggu malam, saya harus beangkat mengajar di sebuah lembaga pendidikan. Kegiatan tersebut adalah bagian dari pengabdian sosial yang saya pilih lakukan untuk menjadikan karunia hidup ini bermanfaat tidak hanya bagi diri saya pribadi, tetapi juga orang lain. Karena tidak punya kendaraan sendiri, saya seperti biasa diantar ke tempat pendidikan itu oleh salah seorang sahabat saya sambil ngobrol singkat di atas sepeda motor dia.

Ketika sampai di tempat, secara spontan setelah turun dari kendaraan saya ucapkan terima kasih kepadanya. Dan dia membalas 'Kenapa pake bilang terima kasih?' Saya tahu dia mungkin tidak penting apa yang telah dilakukannya. Dan saya jawab pertanyaannya dengan sebuah jawaban yang pertama terlintas di pikiran saya saat itu, yaitu ' Karena aku ingin menjadi abdan syakuro. ' Sebuah jawaban yang kedengaran klise di telinga dia mungkin, karena dia tahu dan sudah sering mendengar itu di sekolah tempat dia belajar.

Tapi saat berjalan menuju ke ruang pengajar pikiran saya mengingat kembali ucapan otomatis yang keluar itu. Karena tiba-tiba saya seperti disadarkan tentang sesuatu. Seringkali kita mendengar ucapan terima kasih terlontar dari lisan seseorang saat sesuatu yang besar menyentuh mereka. Sesuatu yang membukakan mereka sangat tertolong dan termudahkan dari tindakan seseorang. Sesuatu yang membuat hidup mereka langsung mengalami perubahan menjadi lebih baik. Sesuatu yang merupakan kejutan sangat menggembirakan dan menyenangkan hati mereka. Begitu mudah kalimat itu terlontar dari lisan mereka. Atau mereka mungkin tidak secara otomatis melontarkannya, tapi mereka mengekspresikannya dalam suatu tindakan yang menunjukkan kegembiraan hati mereka mendapat sesuatu itu.

Akan tetapi bagaimana dengan hal-hal yang lebih kecil dan lebih halus lagi? Sesuatu yang mungkin tidak mengenakkan hati /perasaan mereka. Bisakah ucapan terima kasih itu keluar / terekspresikan secara otomatis?

Karena memang ada hal-hal kecil yang mungkin kita anggap remeh dan tak penting, yang pada hakikatnya justru adalah sesuatu yang justru lebih patut kita beri ucapan terima kasih / ungkapkan rasa syukur. Ada hal-hal yang mungkin pada awalnya tidak mengenakkan hati / perasaan yang sebenarnya juga perlu kita beri ucapan terima kasih. Seperti nafas ini, wujud manusia ini, udara ini, cuaca ini, bumi ini, hidup ini, apa adanya kita ini. Betapa sering kita lupa berterima kasih atau mengapresiasi nafas ini disaat kita sedang terpuruk dan gagal. Betapa sering kita lupa berterima kasih atau mengapresiasi hidup ini ketika kita sedang dirundung putus asa. Betapa sering kita lupa berterima kasih atau mengapresiasi wujud manusia ini disaat kita sedang mengalami ujian hidup yang amat berat. Betapa sering kita lupa berterima kasih atau mengapresiasi cuaca saat itu ketika kita amat terfokus pada apa yang kita rencanakan dan inginkan terjadi. Betapa sering kita lupa berterima kasih atau mengapresiasi bumi ini saat kita begitu berambisi untuk mengeruk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Betapa sering kita lupa berterima kasih atau mengapresiasi udara ini disaat kita begitu terpesona oleh kemajuan teknologi dan seterusnya.

Kita jarang sekali mendengar ucapan terima kasih atas hal-hal itu, padahal hal-hal itulah yang memungkinkan kita untuk bisa mendapatkan hal-hal yang kita anggap besar dalam hidup kita. Tidak hanya ucapan terima kasih, tapi juga ungkapan terima kasih yang mewujud dalam tindakan dan gerak batin dalam mengapresiasi ciptaan yang telah disediakan Sang Pencipta dan melengkapi hidup kita selama ini. Ketika kita bisa mengekspresikan rasa terima kasih dan syukur itu dari kedalaman diri kita hingga mewujud dalam ucapan, tindakan, raut muka, gerak dan diamnya lahir batin kita, saat itulah status abdan syakuro itu mengejawantah dalam diri kita. Dan itulah sebaik-baik status hidup seseorang.

Karena al Qur'an sendiri telah menyebutkan 'Amat sedikit sekali hamba-hambaKu yang bersyukur kepadaKu'. Maka sudah sepantasnya kita berjuang menjadi memasukkan diri kita dalam golongan itu. Karena Allah sendiri telah berjanji 'Siapa bersyukur kepadaKu, akan aku tambah yang ada pada kalian. Siapa yang tidak berterima kasih, sesungguhnya siksaKu amat pedih'. Sebuah tindakan mudah namun berat dalam timbangan adalah syukur. Karena itu saya ingin belajar berterima kasih untuk hal-hal yang mudah dilakukan namun mempunyai timbangan yang dimulai dari hal-hal kecil yang saya terima hingga saya juga bisa berterima kasih pula untuk sesuatu yang lebih besar lagi.

Terima kasih! _/\_


Jumat, 28 Oktober 2011

Mendulang Berkah dari Kegelisahan Pemuda


Malam ini saya menghadiri acara ceremonial Hari Peringatan Sumpah Pemuda yang dilaksanakan oleh Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah Pusat. Tanggal 28 Oktober (10) 1928 menjadi tanggal istimewa bagi para pemuda Indonesia, karena pada hari itu di sebuah gedung sederhana, berkumpul sekitar 71 pemuda dari berbagai pulau besar di Indonesia yang pada waktu itu masih dalam kondisi dibawah penjajahan Belanda.

Ada gelora semangat dan tekad di antara pemuda yang berkumpul pada waktu itu, yang tak bisa dihalangi oleh para tentara Belanda. Yaitu di tengah keragaman latar belakang budaya, pulau-pulau yang terpisahkan oleh laut yang demikian luas, perbedaan bahasa yang mereka gunakan, mereka ingin menjadi satu di bawah naungan Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia di tanah air Indonesia dan menggunakan bahasa persatuan bahasa Indonesia. Yang menjadikan istimewa adalah, tekad itu ada dan dikukuhkan justru pada saat Indonesia sendiri belum menyatakan kemerdekaan. Maka jadilah hari Sumpah Pemuda itu menjadi hari yang istimewa bagi mereka yang sedang menjalani fase sebagai pemuda.

Apabila kita amati lebih mendalam, kita lihat ada karakter-karakter tertentu pada diri pemuda yang berada pada fase transisi antara masa kanak-kanak dan masa tua. Karakter itu terwujud dari kegelisahan jiwa mereka yang berusaha mencari sesuatu yang lebih hakiki baik ketika melihat ketimpangan di masyarakat maupun pergolakan diri mereka sendiri.

Kegelisahan itulah yang telah mendorong pemuda Ibrahim (Nabiyullah) untuk mencari Tuhan. Kegelisahan itulah yang telah mendorong pemuda Siddarta (Budha Gautama) untuk mencari keabadian hidup dengan keluar dari istana. Kegelisahan itulah yang telah mendorong pemuda Ashabul Kahfi untuk mencari perlindungan dalam gua Kahfi disaat negara berada di tangan pemimpin yang dzalim yang mengancam keselamatan iman mereka. Kegelisahan itulah yang telah mendorong pemuda Muhammad untuk bertahannus di gua Hira' melihat kejahiliahan masyarakat sekitarnya. Mereka adalah contoh pemuda yang dalam kegelisahan jiwa mereka mendapat bimbingan dan pertolongan dari Allah sehingga kemudian mereka menjadi jiwa-jiwa yang besar, menjadi tokoh yang mendapatkan pencerahan hingga mampu mencerahkan jiwa-jiwa lainnya.

Alangkah bedanya dengan kebanyakan pemuda saat ini. Tipu daya dunia telah menarik banyak pemuda yang gelisah sehingga mereka makin jauh dari menemukan hakikat hidup sejati. Lihatlah berbagai hiburan yang tersedia saat ini. Mulai dari radio, televisi, klub malam, kafe, mp3, ipod, smartphone, dvd player, netgame, motor dan mobil, sampai pada obat-obatan psikotropika.

Dengan alat hiburan yang begitu beragam, sangat sulit bagi para pemuda untuk menemukan hakikat jiwa sejati yang bisa menghidupkan jiwa mereka agar menjadi pribadi yang kuat dan mengikuti fitrah kemanusiaan mereka.

Melihat yang seperti itu, sudah sepatutnya negara yang bertanggung jawab membangun jiwa bangsa ini untuk menyiapkan aturan yang bisa melindungi jiwa para pemuda agar tidak dibiarkan larut dalam tipu daya dunia.

Karena sungguh, para pemuda adalah generasi penerus bangsa. Apa yang mereka lakukan di masa muda mereka, akan mewarnai cara pandang dan nilai hidup mereka ketika dewasa / tua.

Jadilah pemuda yang menjadikan masa mudanya dalam ketaatan kepada Allah!

Kamis, 27 Oktober 2011

Jejak-Jejak Kekuasaan

Muammar Ghadafi saat berkuasa
Melihat foto Muammar Ghadafi menjelang kematian dan setelah kematiannya yang belakangan beredar di internet maupun media TV, menimbulkan rasa miris dalam hati tentang salah satu sifat kebanyakan manusia.

Sungguh Allah Maha Kuasa memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendakiNya dan mencabutnya dari siapa yang dikehendakiNya, memulyakan siapa yang dikehendakiNya dan menghinakan siapa yang dikehendakiNya. (QS Ali Imran 26)

Melihat pada kasus Ghadafi, kita harus merenung dan bercermin akan kekuasaan yang Dia berikan kepada kita, karena bagaimanapun setiap diri adalah seorang pemimpin. (Al Hadist). Ketika Allah memberikan kekuasaan kepada kita, adakah kita menerimanya dengan kehati-hatian dan penuh amanah? Ataukah justru kita menjadikan kekuasaan itu sebagai tempat kita melampiaskan hawa nafsu hingga memunculkan sifat sombong, takabur, semena-mena, tamak, dan berbagai akhlak buruk lainnya?

Karena sesungguhnya perbuatan manusia dan atsar (jejak / bekas) mereka dan setiap sesuatu telah tercatat dalam catatan yang jelas (QS Yaasin 12). Maka apabila sikap hati-hati akan meninggalkan atsarnya demikian pula sifat tamak, sombong, takabur dan semena-mena akan meninggalkan atsarnya. Dan manusia yang hidup pada masanya akan menjadi saksi atas tindakan dan sikap yang diambilnya.

Tao Te Ching menggambarkan karakter penguasa sebagai berikut:  
     17. Rulers 
The best rulers are scarcely known by their subjects; 
The next best are loved and praised; 
The next are feared; 
The next despised: 
They have no faith in their people, 
And their people become unfaithful to them. 

When the best rulers achieve their purpose 
Their subjects claim the achievement as their own.

    17. Penguasa
Penguasa terbaik jarang dikenal oleh warganya;
Di bawahnya adalah yang dicintai dan dipuja;
Berikutnya adalah yang ditakuti;
Berikutnya adalah yang dibenci:
Mereka tidak percaya kepada rakyatnya,
Dan rakyatnya menjadi tidak setia kepadanya.

Ketika penguasa terbaik mencapai tujuan mereka
Warganya menyatakan pencapaian itu sebagai karya mereka.

Demikianlah. Ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam lingkungan manusia macam apakah seseorang yang memegang kekuasaan itu berada. Karena apabila, dia berada dalam suatu lingkungan manusia yang banyak berbuat dzalim sedangkan dia berseberangan dengan mayoritas masyarakat, bisa jadi lepasnya kekuasaan bisa saja terjadi dan masyarakat sekitarnya menilai dia gagal/kalah. Tapi ada hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa kemuliaan tetap ada beserta dia. Sebagaimana kisah Nabi Yahya AS yang mati terbunuh di tengah kaum bani Israil yang dzalim, atau Husein bin Ali ra yang dibunuh dan dipenggal kepalanya oleh Yazid bin Muawiyah dalam peristiwa Karbala.

Satu hal yang menjadi tengara utama cara manusia satu memperlakukan manusia lainnya termasuk mantan para penguasa negeri mereka adalah kemampuan mereka dalam mensyukuri suatu karunia. Manusia ataupun masyarakat yang pandai bersyukur akan melihat kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan / ditinggalkan oleh mantan penguasa tersebut. Sehingga ketika mereka harus menghukum atau melengserkan penguasa yang telah menyimpang dalam melaksanakan amanat, mereka akan berlaku adil.

Akhir sebuah kekuasaan ?
Melihat yang terjadi di Libya, muncul pertanyaan apakah sedemikian jahatnya Muammar Ghadafi hingga harus mendapat perlakuan seperti itu dari para musuhnya? Atau justru para musuhnya adalah kelompok yang tak pandai bersyukur hingga ditunggangi hawa nafsu atau kepentingan manapun yang mengatasnamakan demokrasi untuk membunuhnya dan memperlakukan jasadnya dengan tidak terhormat? Atau semua atsar buruk yang dilakukannya selama hidup di dunia menyata pada dirinya?


Wallohu alam bis showab.


Kita berlindung kepada Allah dari kekuasaan yang hina dan menghinakan.

Kamis, 06 Oktober 2011

Refusal without Knowledge


I have a little nephew that I love and he loves me too. Every time I go back to my hometown, he would run and scream "Aunty Umul!" with a big smile then hug my legs and look me up with such adoration in his shining baby-eyes. And it is a very pleasant welcome after a long journey when he does that, as if I were his most lovable aunt in the world :) One day, he got a mild fever, which to him was very unpleasant and painful. And out of love and compassion, I wanted to help him to ease his pain by giving him a blessed honey, something sweet filled with one of ayats from one of the Surahs in Qur'an to reduce his fever as a medicine to heal. Because he was too absorbed in his pain and just cried and cried, he refused it. He covered his face and closed his mouth so that the honey i prepared in a teaspoon wouldn't go into his mouth, regardless its sweetness nor its potency to heal. Till it was his mother turn to get him to take the medicine by using her finger and spread it in his lips. Even so, he still refused it by spitting it out in his crying. Gone is all the loving gesture he showed me while he was in healthy condition. Of course as an adult, I can understand his behavior and can only be patient in receiving and accepting his attitude in such condition.

This experience, reminded me of another recent experience that I got with an adult-baby. I called him an adult-baby because he is a man that I love and I think in a way he loves me too. In normal situation he is a loving person till something happened and triggered his emotional wound (he called it a broken heart) to come up to surface. Out of love and compassion, I tried to help him to ease his pain by giving him some instruction how to use the surahs in the Qur'an as a spiritual healing. Because it was emotional pain (something related with feeling and way of thinking), there is no concrete medium that i can use to heal except giving him some written understanding to make it right.

And the same thing was happened to my adult-baby. He refused to accept the medicine. Now, because he has learned some knowledge in school and have good articulation, he can say something back in his refusal. Something that made me look so mean, patronizing, arrogant, overbearing, cynical, meddlesome and so on. That I had no experience to give him such lecture, that I never knew what his life was before while struggling with the pain and hurt he had. And out of love and compassion I could only understand his attitude and ignore his backlash to me.

Because I knew I could not make him to take the medicine I offered, I left him alone with something to dare him to do it by sacrificing myself. I told him that if he did what i suggested and it didn't work, then I would receive the curse from Allah for being a liar. I mean it would be easy for him to test the case... just do the self healing and see if it really works, don't you think so?! Because if he already dislikes me for being such person as he said about me, he would get rid of me very soon once the truth manifests itself. And if he gets well, emotionally healed through that process, he would be the one who benefits from the situation, not me. But just like my little baby, he refused it without knowledge because he was too absorbed in his pain and the wound inside.

He didn't know that it was Allah who guided me to write those instruction. It is Allah who is my witness inside out throughout the time we communicated. It is Allah who listened to his pray and anguish during those difficult time and let me know his situation. It is Allah who triggered the situation to make the wound come to surface and let the process of healing to begin (if he let himself to heal). It is Allah who made, moved and let all the things to happen to him before. It is Allah, The Creator, The Audience, The Hearer and The Healer. I am merely His Hand to pass the medicine to him.

At the time when he told me that my ego was a high as skyscraper, I knew he couldn't see beyond myself. He didn't know that all along I relied myself to Allah for the healing process to succeed. He didn't know that I had done that process to help my friends at work and with the blessing of Allah it helped them. He didn't know that by reading the book "Eat, Pray, Love" of Elizabeth Gilbert, I could understand and relate to his emotional struggling being a melancholy person during those difficult time and my heart cried for feeling their pain. He didn't know that I had to do what I had to do because I didn't want him to be in the same situation anymore, every time something or someone touch his wound.

He didn't know that I did what I did because I believe in the words of Allah in the Qur'an that said " And We send down of the Qur'an that which is healing and mercy for the believers, but it does not increase the wrongdoers except in loss. " [17.82] He didn't know that my request to him to connect himself to Prophet Ibrahim (peace he upon him) is because he (peace be upon him) is the source (great great great ancestor) of those who had caused him so much pain and that he in himself inherit the seed that can heal his wound, for he (peace be upon him) is his great great great ancestor. He didn't know that I had to do what I had to do because I followed His command as said in Qur'an " And remind, for indeed, the reminder benefits the believers. " [51:55] He didn't know that I had to do what I had to do because I love him. And he may not even know or realize that Allah, the only One that created the thing that triggered his wound to come to surface could turn that experience as a starting process for him to get emotionally healthy again even in his melancholy temperament. So that one day he can look back and say thank you to all those people that have caused him so much pain, for knowing they were after all are merely something that Allah had used to teach him HIS INFINITE WISDOM and brings him back to HIS INFINITE LOVE. Because Prophet Muhammad SAW said " Man lam yasykurinnaas lam yasykurillah ". Those who doesn't thank human being certainly doesn't thank Allah.

Now, since he has refused me and doesn't want to have anything to do with me anymore, I can only pray to Allah that He will lift His veil that cover his heart to accept the Truth, that he will be protected from the accursed devil by seeing that what he did was right (for refusing the Truth), that he will be healed (through which ever way Allah may show him), that he will never have any fear (except to Allah) in living his life and that he will find his true happiness and contentment with Allah (not with His creatures).

If only he knows......

May Allah always guide him to stay in the path of Truth!

Rabu, 05 Oktober 2011

Bara Cinta

Bara cintaMu menyulut relung-relung jiwa
Menghanguskan dinding-dinding batin
Melidaskan titik perasa kelima indera
Mematikan ingatan akal tentang hidup waras

Bahagia menjadi tanya di kehambaran lidah batin
Sunyi menjadi tanya di keramaian telinga batin
Gulana menjadi santapan dalam kelaparan akal
Hampa menjadi minuman dalam dahaga puing jiwa

Salakah indera mencerna tanda?
Adakah bara cinta membalik semua fakta?
Realitakah yang terasa?
Ataukah fatamorgana dunia yang menyata?

Akal kaku bebal
Memandang rumah hangus terbakar
Dan diri yang tak berdaya
Dalam kepungan bara cinta

Kunanti datangnya pertolongan
Bukan jibril ataupun iblis dalam ingatan
Hanyalah Sang Pujaan dengan setetes Air kehidupan dariNya
Penyejuk bara cinta yang menghanguskan

Jwn, 2Okt2011