Kamis, 30 Juli 2009

Mahaprastanika - Matinya Pandawa (1)

Catatan:

Mahaprastinika merupakan salah satu bab dalam kitab Mahabarata yang mengisahkan tentang matinya Pandawa setelah berakhirnya peperangan di Padang Kurusetra.

Parafrase ini merupakan cerita ulang dari sinopsis Mahabarata dalam bahasa Inggris yang berasal dari India. Sehingga harap dimaklumi apabila mungkin agak sedikit berbeda alur kisahnya dibanding Mahabarata versi Indonesia.

In short, selamat menikmati tulisan bersambung berikut ini :-)


--

Adalah peperangan antara Pandawa dan Kurawa telah berakhir.
Meninggalkan luka-luka batin yang mungkin tak akan pernah sembuh
Di hati mereka yang berhati lemah sepanjang hidupnya....


Pandawa-pun tidak terkecuali... meski ada di pihak yang menang.
Mereka merasakan luka batin atas apa yang terjadi,
Dan kenyataan yang mereka hadapi tentang saudara tua mereka Karna....


Yang tersisa dari pihak Kurawa...
tertinggal Destarasta dan Gandari, harus kehilangan seluruh anak-anaknya.
mengharuskan mereka berhadapan dgn kebaikan Pandawa,
yang telah membunuh anak-anaknya...

Sementara itu,
Yudhistira terpilih menjadi raja Hastina Pura,
membawa rasa gundah lebih besar....
Menuntun tapak kakinya,
pergi bertemu Bisma si Kakek Bijaksana yang memilih Kurawa.....


Bisma terbaring di atas tanah karena banyaknya panah menghunjam
Arjuna menjadi pemegang gendewa dan penyasar utama
Dalam samadhi kakek bijak memberi petuah:


Tidaklah kamu mencari perang.
Keadaanlah yang menghadangmu.
memberantas kejahatan itulah yang kamu lakukan adalah
Tindakmu karenanya adalah ksatria dan bukan dosa.


Tarungku adalah untuk kejahatan.
Pun, yang jahat tidaklah menang.
Ia kalah seperti yang seharusnya terjadi.
Jasadku memang di pihak yang jahat,
Namun tidak terkotori karena tiada padaku alasan egois pribadi.


Naiklah engkau ke singgasana kerajaan,
Bukan karena mencari kekuatan pribadi
bukan juga popularitas,
tetapi laksanakan kewajiban masyarakat.

Mengemban tanggung jawab masyarakat,
adalah kesalehan yang lebih besar,
daripada bertapa di hutan.

Jadilah raja yang adil.
Itulah perintahku kepadamu.

Dengan takjim dan tunduk kepala,
Yudhistira menerima pesan sang Resi Bisma.

Minggu, 26 Juli 2009

Memberi yang Sebenarnya

bagaimana aku bisa memberi dengan sebenar-benar memberi ?
agar pemberian ini menjadi seperti pemberian matahari
untuk setiap kuanta sinar yang dilepaskannya ke permukaan bumi....

bagaimana aku bisa memberi dengan sebenar-benar memberi ?
agar pemberian ini menjadi seperti pemberian melati
untuk setiap tetes bau parfum yang dilepaskannya di kilang penyulingan....

bagaimana aku bisa memberi dengan sebenar-benar memberi ?
agar pemberian ini menjadi seperti pemberian udara
untuk setiap semilir angin yang dihembuskan seiring geraknya.....

Tuanku.....
bagaimana aku bisa memberi dengan sebenar-benar memberi ?

adakah mentari merasa miskin untuk setiap kuanta cahaya yang terlepas
darinya ?
adakah melati merasa rugi untuk setiap tetes parfum yang terlantakkan dari
dirinya ?
adakah udara merasa jenuh untuk setiap semilir yang tergerak dari dirinya ?

Tuanku.....
jadikanlah pemberian ini hanya menjadi sebenar-benar pemberianMu.....

Yellow face, 28.03.02

Cerita Ibu untuk Anak

akan aku ceritakan kepada anakku
engkaulah yang paling kaya

akan aku ceritakan kepada anakku
dunia telah diciptakan dalam keseimbangan

akan aku ceritakan kepada anakku
terbang di ketinggian adalah kenikmatan

akan aku ceritakan kepada anakku
sang pemburu adalah yang mengharuskanmu unt. berhati-hati
bukan untuk ditakuti

akan aku ceritakan kepada anakku
ibumu memukul karena sayang padamu
bukan karena membencimu

akan aku ceritakan kepada anakku
rasa sakitmu adalah dari dirimu
bukan dari yang lain

akan aku ceritakan kepada anakku
setiap benih yang kau tanam dan kau rawat
setiap bunga dan buahnya akan kau dapat pula

dalam genggamanmu, anakku.... benih itu
dalam kebebasanmu, anakku.... untuk menanam yang mana
dan dengan pilihanmu, anakku.... dirimu terikat

cerita ibu untukmu, anakku
pilihlah dengan baik dan benar
agar ikatan itu adalah kebahagiaan

Yellow face, 7 februari 2001

Manusia oh Manusia

diterang siang yang benderang
sebuah kapal yang hendak karam
berhuni anak manusia
tinggal melambai akan pertolongan

terulur tangan manusia halus budinya
mengulur lisan tanda pertolongan
menyapa halus wajah kemanusiaan
mengais kasih akan peningkatan

tangan tertangkis akan kealpaan
wajah cemberut tanda penolakan
seringai sombong dalam senyuman
mengulur badik dari persembunyian

batin menatap lisan bicara
menguak munafik dalam tatapan
manusia membawa berjuta cara
menolak satu untuk keserakahan

satu yang satu akan bicara
satu yang satu akan menindak
satu yang satu akan berkata
satu yang satu akan menyingkap

manusia bermain dalam kata-kata
satu yang satu bermain dalam kenyataan
manusia bermain dalam sandiwara
satu yang satu akan menyelesaikan

tiada perlu penjelasan
untuk sebuah kenyataan
yang terpampang jelas
di depan mata

Yellow face, 30 October, 2000

Sabtu, 25 Juli 2009

Ilahi, Anta maksudi

Kuhela nafasku...............
Dan kulihat PantulanMu disana.............
Ilahi, Anta maksudi

Kupalingkan diriku sejauh mungkin...........
Dan Engkaupun masih juga mengikutiku.........
Ilahi, Anta maksudi

Kutidurkan anggota badanku........
Dan ternyata kepadaMu justru kudatangkan diri.............
Ilahi, Anta maksudi

Kemana harus aku jauhkan diri dariMu ?
jika kemana diri dan jiwa membawaku pergi
HadirMu mengiring dalam setiap nafasku
Ilahi, Anta maksudi

Dalam bingung dan dalam jelas
Dalam gelap dan dalam terang
Dalam putus asa dan dalam harap ...........
Ilahi, Anta maksudi

Kata apa harus diungkap untuk mengukuhkan ikatan ?
Kalimat apa harus ditulis untuk mewujudkan syahadah ?
Gerak apa harus dirangkai untuk mengikat hamba ?
.............
Ilahi, Anta maksudi.....

Yellow-face, 7 June 02

Krisna dan Bisma

Aku bukan Musa, bukan pula Fir’aun
Aku bukanlah Muhammad, bukan pula Abu Jahal
Aku hanyalah siapa

Di diriku ada Pandawa
Di diriku ada Kurawa

Aku mencari Krisna diantara Pandawa
Aku mencari Bisma diantara Kurawa
Jadilah ini padang Kurusetraku

Guru berkata,
Dalam memberi ada ekspresi
Dalam menerima ada ekspresi
Dalam membenarkan ada ekspresi
Inipun, juga aku cari

Singgasana atas Air

Setetes air jatuh
Menetes bersatu dengan samudra yang luas
Tak bertepi

Setetes air jatuh
Karena bersatu dengan samudra
Ia menjadi air

Setetes air jatuh
Hilang menyatu bersama samudra tak bertepi
Ia menjadi air

Ting.... !!!
Satu bunyi dari tetes air
Dikesunyian tak bertepi
Setelahnya diam bersama alun samudra nan tenang
Menebar getar ke seluruh pembuluh darah
Dalam denyutan napas

Setetes air jatuh
Bersatu dalam samudra tak bertepi
Membawa rasa tak terkata di ketiadaan

QS Huud :7
...dan adalah singgasana kekuasaanNya (sebelum itu) diatas air, agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya…

adakah air itu samudra tempat jatuh setetes air ?
samudra hikmah
ditempat tanpa kata tanpa gambar
dibilik kecil membentang
nyata di jatuhnya setetes air.

Sungguh Allah yang maha tahu.

Lezat

Bagaimana mengerti lezat?
Jika makanmu bukan karena dorongan lapar

Bagaimana mengerti enak?
Jika makanmu karena waktunya makan

Bagaimana mengerti nikmat?
Jika makanmu karena melihat merek

Lezat, nikmat, enak ada pada kebutuhan
Makanlah ketika lapar
Berhentilah sebelum kenyang
Begitu kata Rasulmu


Bila kita pandang hidup dalam ilmu Tuhan,
maka tak ada musibah.
Yang ada hanya keseimbangan.

Kita diberi kesempatan untuk mencicipi rasa keseimbangan itu,
Kalau ada yang harus dipinta,
Mintalah agar tidak diambil daya menikmati kita
Karena kekuatan bersyukur tersimpan didalamnya,
Karena kebahagiaan dalam ketaatan terbungkus bersamanya

Benih Pohon

tanah perlu benih ntuk bakti tubuh
tanah perlu subur ntuk benih tumbuh

benih butuh asih curahan hujan
benih butuh asuh kehidupan

benihpun butuh waktu kembang
benihpun kan jadi pohon rindang

menjadi naungan bagi yang lewat
menjadi singgahan bagi yang penat

memberi tunas pengganti gersangnya lahan
memberi buah pengganti laparnya badan

adakah benih terpendam di diriku?
adakah pohon kan merindang di diriku?

menyimpan air hikmah di akar kokohnya
menyimpan serat kearifan di kekar sosoknya

Kasih dan Karunia

Tuhan
mereka menghitung apa yang telah kau tetapkan pada kami
tanpa kami bermaksud untuk menipu.

layakkah mereka berkata yang demikian ?
sementara pada tangan mereka dan berjuta lainnya
ada banyak hak kami

kami tak akan memintanya dari mereka
kami hanya mengambil apa yang Kau tetapkan untuk kami
mereka yang membutuhkan kami

karena pada kamilah
kasih sayangMu tercurah kepada mereka
Rezeki yang Kau tetapkan bagi mereka

rasa yang muncul saat mereka berbagi bersama kami
itulah imbalan yang Engkau berikan
bagi mereka di dunia, dan lebih lagi kelak

kepadaMu kami meminta
Lewat mereka Engkau memberi
Jadikan kasihMu mengalir seiring hadiahMu
buat kami dan mereka

Teruntuk:
diri yang masih menghitung dalam memberi

Maryam 68

Kulihat diriku berlutut
Ditepian neraka jahannam

Tangan terbelenggu
Kepala tertunduk
Dibawah tatapan mata makhluk
Aku telanjang

Seribu kedukaan
Seribu malu
Seribu kehinaan
Tak mampu menutupinya

Kudengar sayup-sayup suara memanggil
Namaku tersebut
Debar dada mencekik tenggorokan
Menunggu putusan raja diraja

Aku mendongak
Dalam ketinggian diseberang sana
Aku melihat wajah berseri
Disela jilatan api yang menggejolak

Aku melihat wajah muhammad
Aku melihat wajah ibrahim
Aku melihat wajah fatimah
Dalam kebahagiaan

Kutengok sekali lagi
Kulihat airmata kasih
Kulihat kedukaan
Pada wajah muhammad

Kutautkan mata
Diangkatnya tangan
Kusebut namanya
Dilantunkan doa

Kugetarkan hati ini
Duhai yang dikasihi
Sudilah kiranya
Mohonkan ampun pada tuanmu dihari ini

Dalam keterisakan aku terjaga
Dalam air mata penyesalan aku berdoa
Duhai yang maha pemurah
Ajarkan hamba agar tak hina di hari itu.

Hitam Persembahan

Ingin kucelup dalam air kehidupan
Hitam hatiku
Ntuk melepas kotoran itu
Itupun harus kupinta darimu

Kekasih
Sudilah kiranya kau kucur air kehidupan itu
Ntuk membasuh persembahan ini

Jangan kau lihat
Jangan kau nilai
Aku malu
Bukan kejutan pula adanya
Karena persembahan ini darimu jua

Persembahan hina

Hatiku
Inilah hatiku
Adakah engkau berkenan menerimanya

Tak layak dia dipersembahkan
Tak layak diberikan
Tak ada bungkus yang akan memperindah

Aku melihatnya kotor
Aku melihat debu dan pasir mengotori merahnya
Makin kuusap makin koyak dia

Aku perlu air sebanyak samudra
Aku perlu kafan sepanjang katulistiwa
Untuk mensucikan persembahanku

Membilas hitamnya darah kematian
Menyeka tetesan darah luka koyakan
Mengembalikannya ke wujud asal

Sesegar darah merah semangat raja'
Sebening air pemantul cahaya
Sehalus udara melapis muka bumi

Si Pungguk

Duhai Pengabur pandangan mata
Telah kau tetapkan siapa yang menjadi kekasihmu
Tak layak bagiku ntuk cemburu
Tak pantas bagiku ntuk meminta lebih darimu

Aku hanya menyesali diri
Yang merasa tak pantas hadir dan menawarkan cinta sahaja
Bahkan pengemispun tidak memerlukan
Bungkusnya tak bagus, apalagi isinya

Biarlah aku mencintaimu dari jauh
Bak pungguk merindukan bulan
Engkau yang lebih tahu keadaanku
Tak ada kebanggaan yang pantas untuk disandang

Yang engkau berikan, itulah yang aku persembahkan
Yang engkau tetapkan bagiku, itulah yang aku kembalikan
Itupun telah berkurang untuk jatahku
Maka apa yang pantas aku berikan untukmu ?

Tentang Terpesona

Ketika pecinta terpesona pada satu keindahan,
Serasa lunglai seluruh persendian ntuk bergerak
Pun lidah kelu ntuk berucap

Kala terdengar kekasih berucap,
“ Lepaskan “ !!!
Dalam keterpesonaan, diri melepaskan

Tatapan mata memaku jiwa dalam keterikatan
Mengunci lisan dalam diam seribu bahasa namun penuh makna
Dan ikatan batinpun menjadikan pecinta, pengantin kasih

Bagaimana sang pecinta hendak mengucap cintanya
Jika tatapan mata menjadi bahasa cintanya?
Dan keterpakuan raga menjadi lambang kasihnya?
Pun keterpesonaan jiwa menjadi tali pengikat ikrarnya?

Karenanya jadilah ikhlas,
Ntuk tiap bagian yang dilepas raga
Demi pesona sang cinta.

Maka jadilah rela,
Ntuk tiap bagian yang dilepas jiwa
Demi paku sang peneguh

Adakah berat bagi pecinta untuk melepas ikatan?
Jika jiwa dan raga terikat pada kekasih
Bahkan kata ikhlas tiada terlintas

Hanya menjalankan perintah!
Demi keterpesonaan
Pada Pemilik lautan cinta


Kaki Panderman 27 Des 03

Rumah di sisi-Nya

Ada pertanyaan dari seorang teman
'Kenapa tidak ada yang melestarikan rumah-rumah tempat para wali Alloh itu bertempat tinggal? Kenapa yang ada hanya makam mereka saja?'


Pertanyaan itu kemudian menimbulkan diskusi singkat sepanjang perjalanan ke hotel.

Tidak dikenalilah rumah2 para wali tersebut adalah karena rumah sejati mereka adalah disisi Alloh Yang Maha Esa.... Dan bahwa keberadaan mereka semasa hidup mereka di dunia adalah membawa rahmat bagi sekelilingnya, yang itu tidak berhenti di satu tempat tertentu saja. Sebagaimana Islam diturunkan untuk menjadi Rahmat bagi Seluruh Alam.

Kita perhatikan, tempat mereka dimakamkan menjadi rumah tinggal mereka terakhir di dunia ini. Sementara berkah dan karomah mereka tetap dapat dinikmati dan dirasakan oleh orang-orang sesudah mereka.

Maka kalau memang harus membangun rumah hakiki yang akan menjadi rumah abadi bagi kita di dunia hingga di akherat kelak... maka pilihan bahan penyusun harus dipertimbangkan dengan baik agar sesuai dengan kualitas rumah yang kita inginkan.

Kalau engkau harus membangun sendiri rumah itu, maka bangunlah rumahmu diatas pondasi keimanan dan keyakinan kepada Alloh agar tak runtuh ia diguncang segala ujian dan cobaan di dunia maupun di akherat.

Kalau engkau harus meninggikan naungan rumahmu, maka tinggikanlah diatas tiang sholat yang akan menjadikan rumahmu kokoh dan bermartabat.

Kalau engkau ingin memperindah pagar, maka perindahlah dengan pagar kehati-hatian (wira’i) yang akan menghalangi masuknya sesuatu yang haram dan syubhat.

Kalau engkau ingin memperindah daun pintu dan jendela, maka perindahlah dengan puasa, zakat dan shadaqoh agar sirkulasi hawa kehidupan menjadi sejuk, bersih dan suci.

Kalau engkau ingin menempatkan taman di rumah untukmu menenangkan diri, maka bangunlah taman akhlakul karimah yang akan memberimu bunga-bunga kehidupan yang mendamaikan hati dan menentramkan akal pikiran.

Kalau engkau ingin menerangi rumahmu dengan cahaya, maka terangilah dengan Cahaya Ilahiah yang memancar dari relung basyirah agar abadi menerangimu sekalipun di gulitanya alam kubur.

Dan kalau sedang memilih tempat untuk membangun rumahmu yang paling sempurna, maka letak yang paling strategis adalah di muqorrobin resort, tempat yang didekatkan di sisi Alloh yang Maha Mulia bersama para Nabi, Shiddiqiin, Syuhada dan Sholihin.

Rapuhnya akar kehidupan

“ Habis ketemu keluarga di kampung halaman, sekarang waktunya kembali bekerja………. Welcome to reality.”
Seorang teman menulis pesan singkat di dinding facebooknya.

Membaca kalimat singkat itu, saya menjadi berpikir. Apakah masa weekend yang dia gunakan bersama keluarga di kampung halamannya bukan suatu realitas juga? Apakah bagi dia realitas hanyalah kehidupan yang dijalaninya di Jakarta dengan kesibukan kerja dan kesehariannya? Apakah liburan bersama keluarga di kampung halaman bak mimpi indah atau selingan untuk mengeluarkan dirinya dari kejenuhan kota Jakarta? Lalu apakah realitas itu?

Kemudian saya melihat diri saya sendiri. Dan saya bisa mengerti bagaimana pemikiran seperti itu bisa muncul dalam benaknya. Sebagai wanita pekerja, saya juga kadangkala mengalami kondisi dimana ketika mengunjungi keluarga yang berada di kota lain, apa-apa yang saya lakukan serasa seperti mimpi. Kesibukan kerja dari pagi hingga sore atau kadang malam membuat dunia kerja menjadi sesuatu yang melekat pada kita sehingga kita anggap itulah realitas hidup kita.

Namun lagi-lagi saya harus meninjau ulang konsep diri saya tentang realitas hidup ketika membaca berita di Kompas tentang kematian seorang wanita calon legislatif dari salah satu partai politik yang mengusung ajaran Islam maupun seorang pejabat keuangan Freddie Mac di Amerika yang terkena imbas krisis global. Mereka berdua menempuh cara yang sama dalam mengakhiri hidup mereka yaitu bunuh diri.

Pilihan terakhir yang mereka tempuh menggambarkan suatu kondisi yang sama tentang ketidak-mampuan mereka untuk memahami realitas hidup yang sebenarnya. Mereka terlalu terlibat dan terlekatkan dengan posisi maupun aktivitas hidup yang mereka jalani sehingga tidak bisa lagi membedakan antara realitas hidup yang semu dengan yang hakiki.

Disadari atau tidak, seringkali tindakan hidup kita didikte oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Kesibukan kerja yang harus dijalani, masalah rumah tangga yang menerpa, kerepotan mengurus anak, ajakan teman, iklan-iklan di media cetak dan televisi, bahkan situasi politik dan ekonomi juga ikut mempengaruhi. Hal-hal itulah yang kemudian menimbulkan tekanan / stress pada makhluk.

Menuju Realitas
Untuk menghindarkan diri dari stress orang kemudian menempuh berbagai cara. Ada yang melakukan relaksasi di spa, berkebun, melakukan hoby, olahraga, bepergian ke pedesaan bagi mereka yang tinggal di kota dan ke kota bagi yang tinggal di pedesaan, yang biasa berada di keramaian mencari ketenangan, yang biasa ketenangan mencari keramaian dan sebagainya. Semua adalah demi menghilangkan tekanan / stress. Adanya stress atau tekanan itu diindikasikan dengan adanya ketidak-tenangan pada diri kita dalam menyikapi suatu permasalahan.

Di dalam al Qur’an sendiri disebutkan
Ingatlah, hanya dengan mengingat Alloh-lah hati menjadi tenteram.
[QS 13.28]. maka sesungguhnya diantara semua aktifitas penghilang stress yang paling mujarab, sesungguhnya hanya ingatan kepada Alloh yang akan menghilangkan ketidak-tenangan tersebut.

Pertanyaan berikutnya, bagaimanakah ingatan kepada Alloh itu bisa dilanggengkan?

Penguasa Api

Pagi ini, sebelum berangkat ke kantor, sambil bersiap diri dan berdandan aku memutar DVD Avatar, sebuah oleh-oleh yang aku dapat dari ziarah ke makam R. Sosro Kartono. Ya, itu adalah salah satu oleh-oleh hikmah yang aku sama sekali belum tahu hikmah dibalik itu, sampai aku membukanya dan menyaksikan ceritanya. Dari awal aku tahu, bahwa cartoon Avatar ini sarat makna yang karenanya aku suka sekali. Saat aku menemukan DVD itu di gerai depan Matahari, aku rasanya pengen meloncat karena gembira.

Setelah beberapa hari yang lalu aku putar, aku ingin memutarnya lagi. Dan pagi ini, aku nonton bagian yang berjudul Fire Master. Dan inilah yang menggugah kesadaranku. Untuk itu kamu mesti memahami dulu diriku untuk bisa mengerti kenapa bagian ini begitu special.

Karakter atau unsur yang ada padaku adalah air, dan aku dilahirkan pada musim dingin mendekati masa salju. Karakteristik itu mempengaruhi cara aku dalam berpikir dan bertindak. Aku menjadi orang yang mungkin bisa dibilang dingin, dan cenderung mengikuti pola yang sudah ada. Kemarahan, agresif, ambisius, menonjolkan diri adalah karakter yang sama sekali bukan aku. Ditambah lagi dengan apa yang telah aku pelajari, membuat karakter itu menjadi sesuatu yang harus aku jauhi. Karakter itu adalah perlambang dari unsur api. Dan dalam cerita itu, disebutkan begitu mudahnya Zuko untuk mengeluarkan kekuatan apinya saat dia diliputi dengan kebencian dan betapa sulitnya dia untuk mengeluarkan api itu saat dia tidak lagi membenci Aang, Sang Avatar.

Tapi ada bagian lain yang membuat aku terpesona, yaitu saat kedua orang ini belajar tentang api dari Sang Master Api, Sepasang naga Chan-Ra. Ketika mereka di puncak tangga persembahan dan menarikan tarian naga, dikitari oleh Sang Naga yang menyaksikan mereka, after effectnya adalah yang menyentuh. Kombinasi warna dari semburan api yang coba digambarkan dalam sebuah kisah kartun, mengingatkan aku pada kombinasi warna-warna indah yang dihasilkan oleh api.

Gambaran itu mengingatkanku pada keindahan aurora di langit kutub yang merupakan hasil dari efek sinar matahari yang terbelokkan oleh medan magnet bumi, mengingatkanku pada keindahan kembang api di malam pergantian tahun yang cemerlang di kegelapan malam, mengingatkanku pada keindahan warna warni yang memantulkan sinar matahari. Dan mungkin yang lebih pribadi adalah memantulkan kombinasi dari penyatuan dua energi yang tersimpan dalam diri manusia. Harus kuakui, aku hampir menangis menyaksikan keindahan itu sekaligus menyadari berharganya sesuatu yang selama ini justru aku abaikan.

Ya, memang api jika dibiarkan berkobar akan membakar dan menghanguskan kita. Bahkan neraka-pun digambarkan sebagai api yang menyala-nyala dan mengggelakkan isi otak. Tapi kita perlu mengenali dan mengendalikan karakter itu. Ya, meski aku berunsur air, tidak berarti aku tidak punya api. Aku punya, meski tidak dominant. Bahwa aku telah mengenali dan menerima karakterku, itu juga menjadi sebab, aku tidak terlalu suka unsur api. Namun hari ini aku belajar sesuatu.

Seringkali tanpa disadari kata api membawa konotasi negatif karena kemampuannya dalam membakar, menghanguskan, menghancurkan, menyakiti, dan semua aspek destruktif yang disebabkan karena keberadaannya. Disisi lain ada hal yang sebenarnya tidak kalah pentingnya, yaitu kemampuan dia untuk memasak, memanasi, menghangatkan, menerangi, mengeringkan dan semua aspek produktif yang bisa ditimbulkan dengan adanya api.

Hari ini, sekali lagi aku diingatkan dan kembali belajar mengenali sisi lain dari unsur api yang selama ini kurang aku suka, dan melihatnya dengan sudut pandang yang lain. sudut pandang yang lebih adil dan mendasar tentang keberadaan unsur atau karakter ini di alam. Dan aku bisa menguraikan panjang lebar tentang itu, tapi untuk saat ini aku akan menyimpannya dalam hatiku, sebagai khasanah indah pengetahuan batiniah. Bahwa suatu saat jika aku memerlukan untuk mengeluarkan karakter itu, aku akan bisa melakukannya dengan baik, tanpa mengotori sisi batiniah diriku.

Kesatuan paham atau kesepahaman?

“ Begitu cemburunya dia,sampai-sampai waktu saya sedang mendengarkan kaset pelajaran. Tiba-tiba dia matikan kaset itu. Dan saat saya tanya kenapa dimatikan, dia hanya diam dan berlalu begitu saja. “

“ Mbak tahu kan bagaimana rasanya, ketika kita sedang dalam suasana pergi ke dalam menemui rasa damai kemudian secara tiba-tiba ditarik keluar secara paksa?! “

“ Apa yang mesti saya lakukan mbak dengan dia? “


Itu adalah penggalan perbincangan yang sempat terjadi ketika secara tak terduga, tangan takdir membawa aku pulang ke kampung halaman dan bertemu dengan teman lama yang sedang mempersiapkan diri menerima pelajaran. Ketika perbincangan itu terjadi, barulah aku sadar, kenapa Tuhan membawaku ke kota lain bukannya kota tujuan awal yang aku rencanakan saat berangkat dari tempat aku tinggal saat ini.

Yang cukup mengejutkan bagiku mendengar penggalan kisah itu adalah, karena temanku baru saja menikah sekitar 5 bulan yang lalu. Waktunya hampir bersamaan dengan saat aku mengawali kerjaku di tempat yang sekarang ini. Dan keluhan itu adalah tentang istrinya yang seakan menjadi duri dalam daging dalam proses perkembangan dirinya. Sekalipun hal yang sama pernah disampaikan sebelum dia menikah dan masih dalam fase pacaran.

Sebagai seorang yang memahami kondisi yang ada padanya, saya berusaha memahami dan menunjukkan kenyataan yang lain. Sekalipun menikah adalah sebuah kebutuhan biologis yang ada pada setiap manusia bahkan makhluk hidup, ada hal-hal lain yang perlu untuk dipertimbangkan terkait dengan siapa kita akan menjalani masa hidup kita (harapannya seumur hidup).

Pertimbangan itu adalah terkait dengan kesiapan untuk berkembang. Jika salah satu pasangan siap untuk berkembang sedang yang lain tidak, maka akan muncul ketidaksepahaman. Bahkan yang satu akan menjadi penghalang bagi yang lain. Inilah yang sebenarnya sedang terjadi dalam kasus teman tadi. Istrinya yang belum bisa melihat secara mendalam kebutuhan lain dari suaminya, berpikiran kekanak-kanakan dan dangkal, telah menjadi penghalang bagi si suami dalam mengembangkan diri.

Yang perlu dipahami, bahwa usaha mengembangkan diri yang dimaksud disini bukanlah sesuatu yang sifatnya lahiriah seperti ketrampilan atau hobi yang bisa dilihat secara kasat mata. Pengembangan diri yang dimaksud adalah pengembangan diri secara batiniah/spiritual. Sebagaimana umumnya pengembangan spiritual adalah usaha untuk mengembangkan energi positif yang ada pada diri masing-masing individu, demikian pula yang dilakukan oleh teman ini.

Namun karena si istri tidak atau belum menyadari hal tersebut, dia melihat apa yang dilakukan oleh suaminya adalah langkah menarik diri atas dirinya. Ketidak-mampuan membaca dan mengikuti apa yang dilakukan suami justru memunculkan energi negative yang diterima oleh si suami tersebut. Penolakannya untuk menerima penjelasan tentang apa yang dipelajari si suami jugat memperparah hal tersebut. Pertentangan dua energi inilah yang akhirnya menimbulkan konflik dan memicu permasalahan diantara keduanya. Bahkan telah berpengaruh secara psikis kepada suami dan mungkin juga istrinya dalam bentuk rasa sakit kepala dan pertengkaran yang terjadi diantara keduanya.

Karena saya bukan psikolog ataupun konsultan perkawinan, hanya sebagai teman curhat yang mendampingi dalam proses menuju pada pengembangan diri spiritual tersebut, saya hanya bisa menyarankan agar dia lebih focus pada dirinya sendiri. Tidak perlu khawatir dengan orang tua (mereka masih tinggal di rumah orangtuanya) maupun istrinya. Bukan bersifat egois, tapi lebih pada menggali lebih dalam potensi damai yang ada pada dirinya. Karena semakin banyak energi positif yang bisa dia tumbuh dan kembangkan baik langsung maupun tidak langsung akhirnya akan berpengaruh kepada orang-orang di sekelilingnya. Jangan memusat pada energi negative istrinya yang justru akan cenderung bersifat menguras energi.

Semakin dia tenang dan mampu mengatasi konflik internalnya juga pergolakan yang terjadi dalam rumah tangganya, akan terlihat efek itu pada dirinya yaitu keseimbangan batinnya tidak terpengaruh oleh konflik itu. Yang berikutnya memberi efek menenangkan pada orangtuanya. Dan harapannya istrinya akan semakin sadar dan paham tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan suaminya.

Dari yang terjadi selama ini, sayang sekali saya tidak pernah ada kesempatan ngobrol lama dari hati ke hati dengan istrinya dari hati ke hati. Karena saya ingin mengatakan padanya betapa beruntungnya dia punya pasangan yang baik. Bagi saya, kejadian itu mengingatkan akan satu hal yang perlu untuk dipertimbangkan sebelum melangkah menuju pernikahan: tujuan apakah yang ingin kita raih dalam pernikahan. Karena kalimat itu akan bisa menjadi tombol reset manakala sebuah kehidupan rumah
tangga mencapai titik jenuhnya dan hang karena suatu permasalahan.

Boleh jadi orang punya paham yang berbeda namun jika dari yang berbeda itu dilakukan kata sepakat untuk mendapatkan kesepahaman dalam tujuan pernikahan yang akan diraih, maka harmonisasi akan terjadi diantara keduanya. Mungkin mudah diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Karena diperlukan kesadaran terus menerus dalam melihat berkah dan karunia yang tercurah pada kita.

Paradigma Jihad

Mendengar kata jihad yang sering didengungkan ummat islam, pikiran kebanyakan orang mungkin secara otomatis membayangkan peperangan yang terjadi antara ummat islam dan orang-orang yang dicap dengan label kafir. Saya tidak tahu dari mana penafsiran ini bermula. Tapi yang jelas, setelah menengok dalam kamus bahasa arab, jihad artinya adalah bersungguh-sungguh, sedangkan perang yang dalam bahasa arab adalah qitaal. Sehingga kita perlu melihat pada makna bersungguh-sungguh itu.

Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mengamati jihad ini dari karakter yang ditunjukkan oleh pelaku. Mereka yang bersungguh-sungguh adalah yang tidak setengah-setengah dalam menjalankan tugas dan amanat yang diembannya. Karena kata jihad tidak melulu melekat pada sesuatu yang bernilai ibadah, bisa saja secara kita katakan bahwa para atlet olimpiade ataupun pembalap F1 adalah orang-orang yang berjihad dalam menjalankan tugasnya. Karena untuk mencapai apa yang mereka cita-citakan yaitu menjadi yang terbaik di ajang olahraga yang mereka tekuni, mereka telah mencurahkan daya dan upaya yang luar biasa melebihi rekan-rekannya yang lain. Bahkan bisa jadi, kehidupan mereka sehari-hari dipenuhi dengan disiplin dan latihan-latihan berat untuk menjaga stamina dan mempertahankan prestasi yang telah mereka raih. Lewis Hamilton yang baru-baru ini menjadi juara dunai F1 termuda di usianya yang 23 tahun 10 bulan mengisi hari-harinya dengan kerja keras. Tak banyak waktu bagi dia untuk bersenang-senang. Kehidupan sehari-harinya penuh disiplin dan jauh dari hura-hura.

Bagaimanakah kita menerapkan jihad dalam ranah ibadah? Apakah jihad kita harus kita batasi dalam ajang peperangan melawan kaum kafir? Padahal kita punya waktu 24 jam sehari semalam untuk menjadikan itu sarana kita beribadah mengabdi kepada Alloh. Kalau seorang Lewis Hamilton bisa mendedikasikan dirinya pada Formula-1 dan mencurahkan pikirannya pada dunia F1, dimana hari-harinya dipadati dengan rapat tim, uji coba mobil dan kegiatan sponsor, maka sudah semestinya kita juga bisa melakukan hal yang sama untuk sesuatu yang lebih mulia dari itu.

Bersungguh-sungguh (jihad) menuntut kita untuk menghadapkan seluruh hati dan pikiran kita kepada sesuatu yang menjadi tujuan. Jika dalam Qur’an QS Ar Ruum 30 ada perintah “maka hadapkanlah dirimu pada diin yang hanif” untuk melaksanakan perintah itu tentulah diperlukan kesungguhan. Kesungguhan ini melahirkan sebuah perilaku batin dalam bentuk niat dan adab kemudian tercermin dalam perilaku lahir.

Dalam ilmu manajemen motivasi dan pemberdayaan manusia kita mendengar istilah kebulatan tekad (wholeness) dan keteguhan (perseverance). Dua istilah itu adalah nama lain dari jihad. Apabila niat telah disungguhkan, ia menuntut adanya kebulatan tekad dan keteguhan dalam mencapai tujuan.

Sementara diin yang hanif – yang Alloh telah ciptakan sesuai dengan fitroh manusia – membuat kita dalam mencapai tujuan mestilah menggunakan cara-cara atau adab yang baik. Karena akan kita temui pula di kehidupan sehari-hari orang-orang yang dalam kesungguhannya mencapai tujuan, menggunakan cara-cara yang tidak baik. Seperti seorang Lewis Hamilton, gaya mengemudinya yang agresif dan memboroskan ban mendapat kritikan sesame pembalap. Dia disebut kerap menyalip secara berlebihan sehingga lawan harus keluar dari trek. Sebuah ciri yang melekat padanya sebagai seorang yang agresif dan terkadang kejam terhadap lawan yang menghalangi pencapaian tujuannya.

Islam sebagai agama yang hanif menuntut kita untuk bertindak secara beradab sesuai fitroh manusia. Tentu saja agar itu semua bisa terlaksana, ada hal penting yang tidak boleh dilupakan yaitu terkait dengan ilmu. Segala tindakan untuk kita bisa melakukan dengan sungguh-sungguh, membutuhkan suatu pemahaman yang mendalam (ilmu) sehingga dalam perjalanan menuju satu tujuan kita tidak mudah goyah dan berubah pikiran karena adanya tantangan yang ada dihadapan. Dari ilmu tumbuh keyakinan yang meneguhkan dan semangat untuk tetap tegak menuju tujuan yang dimaksud. Adalah menarik bahwa dalam ayat tersebut kata yang dipilih adalah ‘fa aqim’ yang arti lainnya adalah tegakkan.

Terkait dengan tujuan yang hendak diraih dalam melaksanakan jihad, ajaran Thoriqoh Shiddiqiyyah mengajarkan murid-muridnya untuk mempunyai cita-cita yang tinggi dan mulia. Cita-cita yang disandarkan pada jati diri muslim sejati yaitu menuju takwalloh – sebuah posisi yang mendekatkan insan di sisi Alloh SWT tanpa memandang label apapun yang menyertainya selama di dunia ini. Tujuan takwalloh juga membebaskan kita dari berbagai kepentingan jangka pendek yang bersifat egois apalagi duniawi. Sehingga seorang murid mestilah berjihad dalam menuntut ilmu, menjadikan ilmunya bermanfaat dan mendukung pada pencapaian takwalloh. Seorang pekerja mestilah berjihad dalam menjalankan tanggung jawab kerjanya, menjadikan pekerjaannya sebagai sarana menuju pada pencapaian takwalloh. Seorang pengangguran juga mestilah berjihad, mengisi hari-harinya dengan sesuatu yang bermanfaat dan mendukungnya pada takwalloh. Dan seterusnya.

Pendeknya, tidak ada orang yang tidak berjihad dalam menjalani hidupnya kecuali orang itu telah berputus asa dari rahmat Alloh. Namun, sudahkah kita berjihad secara benar dalam mengisi waktu hidup kita yang sangat pendek ini?

Rabu, 08 Juli 2009

Mengatur bangsa seperti memasak ikan

Ketika saya membaca potongan ayat dalam Tao Te Ching tentang pemerintahan, terus terang saya dibuat bingung karena kalimat yang digunakan sangat 'tidak cerdas' tapi menyimpan kebijaksanaan yang saya yakin mendalam sebagaimana ayat-ayat lain dalam kitab tersebut. Bagian yang menjadi teka-teki bagi saya tersebut adalah ayat berikut ini:

59 Restraint

Manage a great nation as you would cook a delicate fish.

To govern men in accord with nature

It is best to be restrained;
Restraint makes agreement easy to attain,
And easy agreement builds harmonious relationships;
With sufficient harmony no resistance will arise;
When no resistance arises, then you possess the heart of the nation,
And when you possess the nation's heart, your influence will long endure:
Deeply rooted and firmly established.
This is the method of far sight and long life.

[An Interpolation of Tao Te Ching by Peter Merel]


Menurut pemahaman akal bodoh saya, kalimat tersebut saya artikan sebagai berikut:


59 Menahan Diri

Kelolalah negara besar seperti anda akan memasak ikan lunak.

Untuk mengatur manusia menurut sifat dasarnya
Yang terbaik adalah menahan diri;
Dengan menahan diri membuat kesepakatan lebih mudah dicapai
Dengan mudahnya kesepakatan akan terbangun hubungan yang harmonis.
Dengan cukup harmonisnya situasi, penolakan tidak akan muncul
Jika tidak muncul penolakan, maka anda telah menguasai hati / jiwa bangsa
Jika anda telah menguasai hati / jiwa bangsa, pengaruh anda akan tahan lama:
Mengakar kuat dan kokoh terbentuk
Inilah cara melihat jauh ke depan dan panjang umur (dalam memerintah)

Ketika melihat hasil pilpres hari ini dari hasil quick count dan analisis tentang para capres di koran pada masa kampanye lalu, saya mulai sedikit mengerti tentang yang dimaksud. Paling tidak saya melihat penerapan kebijaksanaan tersebut di sosok SBY yang memang secara penampilan sangat terlihat seperti 'tidak nyaman' dan ada kecenderungan menahan diri (restraint).

Kecenderungan SBY yang menahan diri dan mengedepankan keharmonisan (Kompas, 30 Juni 2009) terasa lebih kuat dan dekat dengan karakter kebanyakan rakyat Indonesia yang cenderung 'pasif' terhadap pergolakan politik tingkat tinggi di negeri ini. Kebanyakan rakyat Indonesia punya kemiripan dalam pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin negeri ini: 'Terserah siapa saja pemimpinnya! Yang penting negara aman dan kesejahteraan kami terpenuhi!'

Mungkin SBY tidak menyadari hal tersebut. Bahkan mungkin selama dia memasak ikan, tidak pernah terpikir atau membayangkan ikan sebagai rakyat Indonesia :-) Dia hanya sekedar menjalankan bagian yang menjadi bawaan karakternya. Sehingga dengan kondisi pemerintahan yang ada sekarang, didukung karisma dan gaya kepemimpinannya yang cenderung menahan diri (bandingkan dengan JK yang cenderung lebih agresif atau Megawati yang cenderung keras kepala) membuat dia secara mayoritas lebih bisa diterima oleh masyarakat (easy agreement) meskipun secara program JK lebih cenderung progresif.

Dari sini saya belajar satu hal tentang cara mengelola organisasi yang berbasis massa baik ormas maupun parpol, bahwa kemampuan menahan diri (disamping kualitas karakter lainnya) menjadi salah satu aspek penting dalam memperkuat akar pengaruh baik ke dalam maupun keluar. Menahan diri membawa implikasi lain yaitu kemauan untuk mendengarkan lawan bicara, kemampuan mengolah informasi dan menemukan win-win solution, menjaga keseimbangan dan keharmonisan suasana dan berempati terhadap lawan bicara.

Dan seperti akan memasak ikan, orang harus mengetahui jenis ikan apa yang akan dimasak untuk memberikan bumbu yang tepat, mengolahnya dengan benar agar menjadi hidangan yang lezat dan tepat di lidah kita. Sebagai contoh, saya tahu kalau saya akan memasak ikan asin saya tentu harus rendam dulu agak lama untuk mengurangi rasa asin yang menempel pada ikan itu karena proses pengasinan yang telah dilakukan sebelumnya, akan beda jika saya akan mengolah ikan tawar yang harus saya rendam dulu dalam bumbu selama beberapa waktu agar bumbunya meresap. Tidak terlalu lama yang akan membuatnya terlalu asin dan tidak terlalu cepat yang akan membuat rasanya seperti hambar. Saya juga tahu bahwa untuk membuat otak-otak bandeng saya harus hati-hati mengeluarkan tulangnya agar kulit yang akan membungkus olahan daging ikan tersebut tidak sampai robek karena ketergesaan saya. Saya juga harus menahan diri ketika membersihkan duri dan kotoran bagian dalam ikan (jeroan) agar empedu yang membuat pahit tidak sampai mencemari daging bagian dalam, duri yang tajam tidak sampai melukai tangan.

Satu hal yang saya masih terpikir sekarang adalah, banyak ibu-ibu yang bisa dibilang hampir tiap hari kerjanya memasak ikan di dapur mulai dari menggorengnya jadi lauk sampai dibuat gulai kepala ikan... Apakah pernah terlintas pemikiran seperti itu di benak mereka? Bahwa pada ikan yang mereka olah ada cerminan rakyat yang menjadi penduduk suatu negeri. Bahwa pada proses pengolahan ikan mereka dapat belajar menjadi pemimpin bangsa. Bahwa dengan belajar memasak atau praktik memasak yang mereka lakukan, ternyata jika dihayati dan diambil hikmah bisa menjadikan para ibu ini sebagai pemimpin-pemimpin yang sangat handal dan bijaksana paling tidak dalam lingkungan negara kecilnya (baca: keluarga). Bahkan jika mungkin menularkan kebijaksanaan tersebut kepada anak-anaknya sebagai generasi penerus bangsa. Semoga!

Selasa, 07 Juli 2009

Nafsu makan yang sederhana

Saya tidak tahu apakah yang saya alami dengan nafsu makan saya juga dialami orang lain atau tidak. Tapi inilah yang ingin saya ceritakan.

Ketika kecil saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga besar dengan pola hidup yang tidak bisa digolongkan mewah. Satu hal yang saya ingat, dan akhirnya menjadi pelipur saya disaat nafsu makan tidak ada adalah jenis makanan yang akan saya pilih. Yaitu saya suka makan nasi hangat yang diberi kecap manis dengan lauk kerupuk. Kalau sedang ada rejeki lebih maka kerupuk itu mungkin akan diganti dengan telur dadar atau daging bumbu yang biasa kami sebut empal. Tapi yang lebih sering adalah pakai kerupuk.

Kondisi itu ternyata berulang ketika saya sudah dewasa. Disaat nafsu makan saya sedang tidak muncul sementara kebutuhan untuk mengisi perut agar tidak masuk angin atau kena maag membuat saya harus memilih jenis makanan apa yang enak dimakan... pilihan ternyata kembali kepada menu sederhana yang menjadi favorit saya dimasa kecil dulu yaitu nasi hangat dengan kecap manis dan kerupuk.

Ini membuat saya berpikir bahwa ditengah semua modernisasi, kemakmuran maupun pendidikan tinggi yang telah saya tempuh, ada hal yang tidak atau mungkin akan sulit diubah pada diri seseorang atau paling tidak pada diri saya. Yaitu kebutuhan akan kesederhanaan.

Saya sadari ini bukan perkara image yang kita bangun ataupun segala kemunafikan yang hendak kita tampilkan dengan etiket ala Barat melalui pelajaran table manner. Karena dalam proses saya menjadi dewasa latihan table manner juga pernah saya lakukan. Rasa lapar dan nafsu makan adalah pasangan natural yang tidak mengenal hal itu. Saya tidak bermaksud menyinggung mereka yang membangun hidup mereka dari penilaian orang atau image tentang diri mereka. Tapi mari kita lihat salah satu kesederhanaan yang merupakan kombinasi paling mengesankan atas keberadaan kita di dunia ini.

Tidakkah kita amati, bahwa di tengah beragam menu makanan yang disajikan di berbagai arena makan dari mulai restoran bintang lima sampai warung kaki lima, dari restoran putar di puncak gedung sampai penjual makanan dikolong jembatan semua itu hanya bisa kita nikmati kelezatannya manakala ada rasa lapar yang mendorong anggota tubuh kita untuk menuju pada sumber pemuas rasa lapar itu?

Ada cukup banyak resep-resep makanan yang disajikan baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk artikel yang bisa diunduh di internet. Tadi siang bahkan saya membaca artikel tentang seorang ibu yang demi menyenangkan buah hatinya membuat hidangan makan pagi dari cetakan-cetakan makanan yang secara khusus didatangkan dari Jepang. Yang menurut pemikiran dan kesimpulannya telah menarik minat anak-anaknya untuk makan hidangan yang telah dibuat dengan susah payah oleh sang Ibu.

Kalau ditelaah bisa dilihat bahwa berbagai cara telah ditempuh manusia untuk meningkatkan daya tarik makanan terhadap tubuhnya (baca: perut). Mulai dari cara memilih bahan makanan, cara meraciknya, cara pengolahan, cara penyajian, bahkan hingga pada cara memasukkan makanan ke dalam mulut pun ada tata aturannya yang dikenal dengan table manner.

Tentu saja tulisan ini tidak untuk menyinggung apalagi mengkritik mereka yang telah bersusah payah menyajikan makanan dengan sedemikian rupa hingga sampai ke hadapan anda. Yang ingin saya ingatkan lewat tulisan ini hanyalah dengan semua kerumitan yang telah dan harus dilalui jangan pernah lupa apa yang membuat tubuh mau menerima semua jenis makanan tersebut. Rasa laparlah yang mendorong saraf otak kita untuk bekerja menggerakkan tangan, kaki, otot pencernaan dan seluruh anggota tubuh kita untuk bereaksi terhadap semua makanan yang terhidang.

Jadi kalau olahan itu tidak memberikan hasil yang memuaskan, maka jangan malu-malu untuk kembali ke selera asal. Kalau cara penyajian tetap belum menarik perhatian si kecil, kembalikanlah pada jenis makanan favorit mereka waktu bayi. Dan jika semua tata cara makan ala table manner itu menyiksa anda untuk merasakan kenikmatan makan, gunakanlah jemari anda untuk memegang dan membawanya ke mulut anda.

Apakah pendapat ini menabrak tatanan yang ada?! :-) Saya harap tidak demikian adanya. Saya pribadi merasa lebih nikmat menikmati ayam bakar atau goreng dengan menggenggamnya daripada menggunakan sendok, garpu dan pisau. Lagipula, kalau kesederhanaan adalah yang kita cari, entah disadari atau tidak, mengapakah kita harus mempersulit diri hanya demi image dan pendapat orang?!

Balik ke menu favorit saya, maka begitulah. Disaat teman-teman saya memilih menu lain yang enak-enak di penglihatan dan nafsu makan mereka memang sedang 'on', maka saya yang sedang tidak nafsu makan memilih menu yang sederhana agar tubuh saya yang sedang malas makan ini berkenan menerima asupan energi untuk beraktivitas.