Sabtu, 28 November 2009

Doa Anak untuk Negeri

Sore ini saya menonton film lama yang dibintangi Pierce Brosnan berjudul Evelyn. Film dengan latar belakang kisah nyata ini mengisahkan tentang perjuangan seorang single parent ayah yang ingin menyatukan anak-anaknya yang harus tinggal di Panti asuhan karena hukum Irlandia tidak mengijinkannya merawat anak-anaknya. Sangat bagus untuk ditonton.

Yang membuat saya terkesan dari bagian dalam film itu adalah ketika Evelyn salah seorang anak yang sedang diperjuangkan kebebasannya dari panti asuhan itu menyampaikan doanya di pengadilan. Doa itu adalah sebagai berikut:
" Tuhan, Engkau melimpahkan dunia dengan hikmat dan kasih. Dengarlah doa kami untuk negeri kami yang indah, Irlandia. Melalui kejujuran penduduk kami dan hikmat mereka yang memerintah, kiranya kedamaian Kau turunkan, kebenaran dan keadilan bertumbuh."

Mendengar doa ini saya sungguh tersentuh dan menjadi berpikir adakah diantara anak-anak bangsa yang pernah secara khusus berdoa untuk kebijaksanaan para pemimpin bangsa dan pelaku-pelaku politik negeri ini? Karena apabila kita lihat perilaku dan kasus cicak vs buaya yang berkembang di ibu kota RI, sungguh rasanya orang-orang yang mengaku dirinya tua dan dewasa perlu mendapatkan pencerahan dan doa seperti doa Evelyn tersebut, agar negeri yang indah ini, Indonesia menjadi negeri yang memberi kedamaian dan rasa keadilan bagi seluruh rakyat yang tinggal di dalamnya - tidak hanya bagi sekelompok tertentu saja.

Bagaimana kalau doa itu dijadikan doa wajib bagi murid-murid sekolah dari TK sampai SMA saat mengawali pelajaran sekolahnya? Bukankah itu doa yang sangat bijak dari seorang anak?

" Tuhan, Engkau melimpahkan dunia dengan hikmat dan kasih. Dengarlah doa kami untuk negeri kami yang indah, Indonesia. Melalui kejujuran penduduk kami dan hikmat mereka yang memerintah, kiranya kedamaian Kau turunkan, kebenaran dan keadilan bertumbuh."

Kamis, 26 November 2009

Terbenam dan Terbitnya Nasionalisme

Seumur-umur saya belum pernah dengan sungguh-sungguh menghayati makna bela negara atau rasa nasionalisme. Ketika berdialog dengan teman dari luar negeri tentang pemerintah yang korup dan masih banyaknya kemiskinan dan kekumuhan di berbagai sudut begeri, sulit sekali untuk merasakan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.

Juga ketika menjadi bagian dari tim cerdas cermat P4, mengikuti dan mendapatkan pelajaran PMP, semua terjalani tanpa rasa nasionalisme yang kuat dalam dada. Sehingga ketika memasuki dunia kerja dan tidak lagi berinteraksi dengan yang namanya Pancasila dan UUD 45 adalah hal yang biasa saja. Rasa nasionalisme tetap tidak menemukan bentuk nyatanya dalam dunia nyata. Bisa dikata rasa nasionalisme saya sedang terkikis oleh kesibukan kerja dan masalah sehari-hari. Saya rasa banyak rakyat Indonesia juga mengalami hal yang sama. Bahkan pemerintah pun seolah sedang lalai dari menghidupkan semangat nasionalisme dan bela negara di kalangan generasi muda.

Dalam kondisi yang seperti itu, tiba-tiba saya dihadapkan pada situasi yang mendorong saya untuk mempertanyakan nasionalisme saya kembali. Seruan untuk menolak khilafah menjadi pendorong untuk saya meninjau kembali rasa nasionalisme itu. Karena memang untuk bisa dengan tegas mengatakan saya menolak khilafah, saya harus punya landasan yang kuat agar apa yang saya suarakan bukan sekedar membeo ide orang. Apalagi suasana yang tercipta dalam menolak ide itu oleh beberapa teman dinuansakan sebagai perang pemikiran dengan kalangan pendukung pro khilafah. Kalau pakai bahasa mereka ghozwul fikr (perang pemikiran).

Pondasi yang kuat itu harus terbentuk menjadi satu keyakinan, karena di masa kuliah dulu kedekatan dan keterlibatan dengan aktivitas dakwah kampus membuat saya memahami pola pikir orang yang mendukung ide khilafah itu.

Jadi, ketika sebuah pemahaman diajarkan kepada saya tentang nilai-nilai luhur bangsa yang terbentuk dari akar budaya asli bangsa Indonesia, cahaya nasionalisme yang mulai meredup mulai terbit kembali. Ia menemukan kembali energi untuk bersinar kembali melalui pengenalan pada warisan kemuliaan sejarah bangsa, kelemahan yang menyimpan kekuatan yakin, kerendah hatian yang penuh martabat, dan kesakralan hari-hari pilihan yang menandai pergerakan bangsa Indonesia.

Mengenali kemuliaan nilai-nilai itu menerbitkan kembali semangat bela negara. Dan penolakan atas khilafah menandai terbitnya rasa nasionalisme dalam dada. Memberi saya kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, memberi saya kekuatan untuk berkata tidak atas ide penegakan khilafah di Indonesia dengan mengganti dasar negara dan undang-undang dasar negara. Sedang para pahlawan yang tak terhitung junlahnya telah gugur untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini.

Siang ini sempat terbaca pertanyaan menarik melalui yahoo answer 'Perlukah di Indonesia wajib militer?' Kalau saya harus memberi jawaban, maka akan saya jawab YA. Karena dengan itu barangkali jiwa nasionalisme di kalangan pemuda bisa dibina.

Apakah anda setuju juga?

Rabu, 25 November 2009

Menggugat Khulafah (IV)

Semakin dipelajari sistem khilafah yang ada, semakin terlihat bias yang dalam ide utopis tersebut.

Dengan serangkaian dasar hukum yang mengutip ayat-ayat Qur'an memesona orang-orang yang tidak mau menggali lebih dalam pengaruh yang bisa ditimbulkan apabila ide tersebut dibiarkan berkembang atau bahkan diterima sebagai pengganti dasar negara atau bahkan menggantikan kedaulatan NKRI.

Satu hal yang pasti dengan penggantian tersebut dapat dinyatakan dengan kalimat singkat yaitu 'penjajahan model baru'.

Kalo selama ini ide yang mereka lawan dengan getol adalah penjajahan atau hegemoni barat atas mayoritas negara2 Islam atau bangsa Indonesia, maka apa beda ide khilafah dengan hegemoni barat? Karena hingga kini tidak ada kejelasan siapa pemimpin mereka. Yang mereka selalu kedepankan adalah pelaksanaan syariat Islam secara politis.

Tapi bila kita amati dengan cermat seluruh rujukan yang menjelaskan tentang khilafah dan bagaimana penolakan mereka atas Pancasila dan UUD45 maka yang bisa saya simpulkan adalah "kita hendak digiring untuk menjadi bangsa yang kembali terjajah". Hanya kali ini penjajahnya adalah orang Arab bukan Belanda, anak durhaka dari bangsa Indonesia yang dengan gigihnya memperjuangkan ide tersebut telah menjadi antek-antek orang Arab.

Kita semua tahu melalui catatan sejarah seenak-enaknya dijajah lebih enak merdeka. Karena dalam kemerdekaan kita mengenali jati diri bangsa kita, budaya bangsa dan kebiasaan yang telah mengakar dalam jiwa bangsa mendapatkan hak-haknya. Sementara bisa saja segala ide utopia itu menceritakan hal-hal muluk dengan mengacu pada Qur'an dan Hadist. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa ide-ide itu akan diikuti sedang kenyataan di lapangan saat ini saja, ummat Islam yang telah menjalankan syariat Islam seperti dari kalangan NU dianggap belum mengikuti syariat dengan benar!

Orang-orang yang mengaku sebagai pro khilafah adalah orang-orang yang tertipu oleh ide 'arabisasi' ajaran Islam sehingga mereka dibutakan dari melihat nilai-nilai Tauhid, keadilan, kemanusiaan, musyawarah, persatuan yang terdapat dalam akar budaya bangsa (baca: Pancasila) dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Qur'an.

Kalau sila pertama dipermasalahkan hanya karena dihilangkannya ayat syariat... Itu menunjukkan ketidak-bijaksanaan penganut paham pro khilafah. Karena dihilangkannya ayat tersebut menunjukkan pengakuan seutuhnya bahwa memang Tuhan itu Esa dan tiada sekutu bagiNya. Sementara bila dimasukkan ayat tersebut maka pertanyaannya Tuhan tidak lagi Maha Esa karena ada saingannya yaitu yang disembah orang-orang non Muslim. Bukankah itu berarti mereka sudah tidak bertauhid secara benar?!

Jadi singkat kata 'SAY NO to KHILAFAH'

Selasa, 24 November 2009

Tolok Ukur Untung-Rugi

Pagi ini saya disuguhi sarapan nasi urap-urap dengan lauk tahu bumbu bali, tempe bumbu opor dan rempeyek ikan asin. Setelah kenyang makan saya berikan uang pengganti sarapan tadi pada sahabat saya. Dia menolak karena merasa harganya tidak terlalu mahal, hanya Rp.2000,-

Ya, untuk masakan yang begitu enak, mengeyangkan dan lengkap menurut saya harga dua ribu adalah sangat murah. Perkiraan saya antara 4000 sampai 5000 seperti standard makanan yang biasa saya nikmati jika saya menginap di daerah ini.

Hal itu membuat saya berpikir, apa iya ibu penjual nasi itu tidak rugi?! Teman-teman saya yang sedang makan bareng dengan saya menjawab, "Jelas nggak lah! Buktinya sampai sekarang si Ibu masih terus berjualan n malah cukup rame."
Secara ekonomis saya berpikir, 'Ah, mungkin keuntungan yang diambil si Ibu adalah dari jumlah penjualan dengan prinsip biar kecil tapi banyak.' Tapi pikiran saya tetap membuat perbandingan-perbandingan tentang konsep untung rugi.

Banyak orang melihat untung rugi dari sudut pandang ekonomis saja. Prinsip ekonomi menyebutkan dengan biaya sekecil-kecilnya mendapatkan untung sebesar-besarnya. Sehingga kegiatan sosial yang notabene secara ekonomis tidak menguntungkan bahkan malah cenderung defisit karena pelakunya kadang harus mengeluarkan ongkos operasional dari kocek dia sendiri.

Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dijadikan ukuran untung rugi selain pertimbangan ekonomis. Prinsip kemanfaatan dan kepuasan adalah salah satunya. Ketika seseorang merasa dan berpikir bahwa apa yang (akan) dilakukannya memberi manfaat entah pada diri sendiri, orang yang dikasihinya, atau apapun yang akan membawa dia pada pencapaian tujuan maka itu adalah keuntungan yang dia dapat. Biaya akhirnya menjadi prioritas nomor sekian. Begitu juga dalam hal kepuasan.

Boleh jadi si Ibu penjual nasi tadi menimbang bahwa kepuasan bisa melayani banyak pelanggan yang notabene kebanyakan adalah rakyat kecil adalah jauh lebih utama dibanding keuntungan ekonomis. Sehingga dia bertahan untuk memberikan harga yang murah dengan tetap menjaga mutu (cita rasa makanan) dan setia melayani pelanggannya.

Bandingkan dengan mentalitas mayoritas pejabat publik yang cenderung mengutamakan keuntungan ekonomis sehingga memunculkan praktik korupsi dan kolusi.

Nampaknya para pejabat publik juga perlu belajar dan bercermin kepada para pedagang kecil. Jangam cuma menggusur lapak-lapak dagang mereka saat razia PKL!

Senin, 23 November 2009

Menggugat Khilafah (bagian III)

Dua hari terakhir saya mendapat kiriman artikel dari teman-teman saya tentang pemikiran Khilafah. Diantara pemikiran itu adalah berjudul "Hizbut Tahrir adalah Organisasi Terlarang (OT) di Negara Asal Berdirinya" oleh redaksi HARIAN BANGSA yang merupakan hasil wawancara dengan KH Imam Ghazali Said. Pengasuh pesantren mahasiswa An-Nur Wonocolo dan artikel "KHILAFAH MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH" tulisan KH. M. Shiddiq Al-Jawi.


Stlh menyempatkan membaca dua artikel ini kesimpulan sementara saya adalah setuju dgn pendapat KH Imam Ghozali Said, bahwa konsep khilafah isinya adalah ide utopia tentang 100% syariah di suatu negara yang dalam hal ini adalah arab-oriented dengan mencabut dan tidak mengakui nilai-nilai kebijaksanaan maupun pemikiran lokal.

Bila melihat tokoh utama pencetus HT bs jadi pengalaman menjalani kerasnya medan perang di wilayah Arab dengan latar belakang budayanya, itu secara psikologis mempengaruhi pemikirannya dlm memperjuangkan nilai-nilai Islam. Perhatikan kisah-kisah pejuang Mujahidin yang belum menemukan kedamaian batin selama peperangan di Afganistan hingga kini masih harus berperang dgn saudaranya dan dimanfaatkan pihak asing.Maka sudah tentu kita tidak menginginkan negara kita yang telah bersatu ini diporak-porandakan oleh 'kegelisahan' pemikiran' seorang 'veteran perang fisik' :)

Karena latar belakang gelora semangat "reaktif" tersebut maka tak heran target mereka adalah pemuda. Maka sudah sepantasnya para pemuda ataupun yang merasa berjiwa muda :) merespon/ mengkounter pemikiran utopia itu

Satu hal yang sangat jelas adalah di negaranya sendiri HT melalui ide khilafah adalah produk gagal yang ditolak oleh bangsa arab sendiri. Sehingga jika sudah jelas gagal kenapa kita mau membeli produk gagal dengan mempertaruhkan keutuhan, keselamatan dan keamanan bagsa sendiri?

Memang saat ini banyak pejabat pemerintah kita sedang sakit. Ibarat ada jasad ada jiwa. Sakitnya jasad (pemerintah) bisa mempengaruhi jiwa (negara). Namun sebagai bangsa, kesetiaan kita adalah pada negara bukan pada pemerintahnya. Karena pemerintah bisa berganti-ganti tapi negara tetap.

Minggu, 22 November 2009

Menggugat Khilafah (bagian II)

Saya tadinya tidak berencana membuat tulisan ini sebagai serial, namun karena topiknya masih sama tentang gugatan pada khilafah, naka saya anggap ini adalah bagian kedua dari topik ini.

Kali ini tentang konsep kekuasaan di tangan syariah sebagai lawan dari demokrasi dimana kekuasaan di tangan rakyat. Dimana tentu saja ketika berbicara syariah, maka dasar hukum rujukan mereka tentu saja Qur'an dan hadist.

Karena yang saya pahami khilafah lembaga politik yang sedang diperjuangkan, maka tentu saja yang jadi pertanyaan saya adalah syariah politik yang bagaimanakah yang.sedang diperjuangkan? Krn apabila syariah yang digunakan adalah hasil penafsiran atas ayat-ayat Que'an dan Hadist oleh para tokoh+tokoh maupun ulama yang dijadikan panutan, maka sesungguhnya ada faktor yang yang akan mempengaruhi daya tafsir mereka yaitu latar belakang pengalaman hidup mereka, netralitas pemikiran / keberpihakan dan kepentingan pribadi yang terbungkus dalam pemikiran yang tertuang.

Syariah hasik penafsiran ulama dan tokoh-tokoh yang cenderung pada Islam garis keras dan konservatif tentu akan berbeda dengan syariah penafsiran ulama / tokoh Islam yang cenderung moderat apalagi yang liberal. Sedang masing-masing boleh jadi menggunakan ayat yang sama. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran tokoh-tokoh cendikiawan/ulama Muslim yang mendapat gelar sarjananya dari universitas yang berada di negara-negara Arab dibanding dengan yang mendapat gelar sarjana dari negara barat.Yang mendapat gelar dari negara Arab tentu punya keuntungan karena yang berkembang di masyarakat adalah Islam identik dengan dunia arab.

Menggugat kualitas ini hampir bisa dikatakan menggugat dikotomi budaya Timur (baca: arab) dengan budaya Barat. Padahal landasan seperti ini jelas bertentangan dengan Qur'an yang menyebutkan 'Bukanlah mengadapkan wajahmu ke Timur atau Barat wujud keimanan itu tetapi keimanan itu adalah...'

Selain itu, dengan cenderung mengarahkan syariah sbg kekuasaan tertinggi yang cenderung merujuk pada pemikiran yang diwarnai budaya arab adalah pengkerdilan atas universalitas islam dan tujuan utama diutusnya N. Muhammad ke dunia sebaimana termaktub dalam Qur'an yaitu sebagai rahmat seluruh alam (rohmatan lil 'alamiin).

Jumat, 20 November 2009

Menggugat Khilafah

Di fesbuk teman-teman saya sedang berdiskusi kalau tidak mau dibilang berdebat atau berperang melawan ide khilafah. Saya memaklumi dan mendukung ide itu, karena jika tidak ada yang membendung dan mengimbangi akan terjadi penyelewengan paham Islam menuju pemahaman garis keras.

Melihat ke pengalaman masa lalu, saya ingat ide khilafah ini mulai saya kenal saat kuliah dan terlibat dalam diskusi keislaman dengan teman-teman mahasiswa. Yang saya pahami waktu itu khilafah adalah masa-masa pemerintahan keluarga kerajaan Islam dari dinasti muawiyah, abbasiyah, moghul, dan usmaniyah yang berakhir dengan runtuhnya kekuasaan Turki setelah PD I dan bangsa Arab terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil.

Masalahnya kini adalah darimana dan kenapa ide khilafah dimunculkan? Adakah ide khilafah ini memang ide asal orang Indonesia? Adakah ide ini muncul sekedar ingin mendobrak kemapanan sistem kekuasaan yang berlaku di negeri ini?

Kalau ide itu muncul dari orang Indonesia, maka bisa dikatakan orang ini adalah jenis orang yang kurang bersyukur dan berpikiran bijak. Kenapa? Tidakkah dia memahami umat Islam hingga mencapai mayoritas ini diperoleh melalui siapa dan menempuh jalur apa hingga mengakar kuat pada pribadi bangsa. Tidakkah dia pahami bahwa dengan luasnya wilayah Indonesia dengan beragam suku, bahasa dan budaya Indonesia telah dipersatukan dibawa pondasi Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan wujud ketauhidan negeri ini.

Dan jika ide itu bukan dari orang Indonesia, tapi dari bangsa arab sana, maka mestinya sebelum benar-benar mengambil ide tersebut mestinya yang bersangkutan membaca sejarah dan fakta yang ada terlebih dahulu. Bahwa sebegitu luas wilayah jazirah arab dengan hanya satu suku bangsa yaitu bagsa arab, dengan satu bahasa yaiti bahasa arab toh mereka tidak bisa menyatukan hati dan oemikiran mereka untuk membentuk satu negara kesatuan arab. Kenapa ide yang jelas-jelas tidak diterima di negeri tempat Islam berasal akan dibawah ke negara yang justru telah menyatu menjadi negara kesatuan RI?

Jadi atas dasar alasan apakah khilafah pantas untuk diperjuangkan?

Game Magicline (part II)

Agar kecanduan saya pada game ini punya justifikasi, saya memberitahu otak saya untuk mencari-cari sesuatu yang bisa saya jadikan pelajaran :) Paling tidak kalo orang bertanya manfaat apa yang telah anda dapatkan dari aktifitas menyusun bola yang akan meledak itu, saya bisa cukup bangga untuk menyatakan argumen saya :-p

Jadi tulisan ini adalah salah satu yang akan menjadi argumen itu :)

Saat pertama kali bermain tanpa saya sadari saya punya kecenderungan melihat struktur bola secara horizontal dan vertikal saja. Ini menjadi indikator bahwa saya sedang terjebak dalam kemapanan. Karena iti skor tertinggi yang saya raih hanya berhenti di kisaran 200. Semakin mahir saya bermain, semakin saya melihat pola menyilang yang bisa terbentuk. Itupun saya tidak serta merta mencontoh, saya perlu waktu untuk mengambil pola itu dan membuat diri saya mengingat pola menyilang itu. Kondisi ini menunjukkan pada say aspek internal saya yang lain. Bahwa cepat tidaknya saya merespon perubahan itu menunjukkan apakah saya tipe orang yng mudah menerima oerubahan. Pola-pola berpikir seperti inilah yang disebut pola pikir lateral,berpikir diluar kerangka konvensional yang ada.

Hal lain yang juga saya amati selama bermain itu adalah pemain hanya diberi kesempatan mengantisipasi langkap random selanjutnya tapi tidak untuk yang berikutnya. Sekali kita tidak hati-hati dalam memperhatikan peta tata letak bola itu langkap penyelesaian bisa tertutup atau terhalangi oleh lawan (komputer). Hal ini mengingatkan saya pada mata kuliah APK Analisa Pengambilan Keputusan. Kalau di APK kita diajar mengambil keputusan dengan sistem hierarki dan perhitungan matematis, disini otak kita secara praktis menganalisa dan mengambil keputusan tanpa perhitungan matematis. Saya tak tahu apakah para grand master catur mengalami hal yang sama dalam menimbang-nimbang langkah bidak-bidak catur mereka. Tapi inilah yang saya alami selagi membaca pola letak bola-bola.

Satu lagi, ketika saya mulai berada di kondisi kritis dimana peta saya semakin banyal terisi bola dengan pola yang sangat acak sehingga sulit untuk mendapatkan 5 bola dalam satu rangkaian. Di kondisi ini saya menyadari saya kadang harus mengambil langkah mundur dengan menarik satu bola di rangkaian itu dan memindahkannya ke tempat yang lain agar bisa menghasilkan ledakan dan memperluas ruang gerak saya. Hal ini menyadarkan saya, bahwa saya bahwa kadang saya perlu mundur dan merelakan satu hal untuk lepas dari saya agar beban saya lebih ringan dan saya bisa bernapas lebih lega. Seringnya kita hanya menfokus pada satu aspek tujuan bisa membuat kita sampai pada kejenuhan dan mengurangi fleksibilitas gerak.

Dengan ulasan itu, paling tidak di tengah kecanduan, saya masih bisa berusaha menyerap aspek pembelajaran yang tersimpan di balik game itu :)

Bagaimana dengan kecanduan anda? Harapannya tentu ada manfaat yang jauh lebih besar yang bisa diharapkan, untuk memberikan konotasi positif pada kata "kecanduan" :)

Rabu, 18 November 2009

Game magiclines (part I)

Kalo saat ini orang sedang rame-rame kecanduan game Farmville yang ada di Facebook, maka itu sudah lewat buat saya :) sekarang ini saya bisa dianggap sedang kecanduan game yang namanya magicline, dimana kita diminta untuk menyusun bola dengan warna yang sama secara berurutan dengan junlah minimal lima bola. Jika sudah tersusun dalam satu deret yang sama, maka bola-bola itu selanjutnya akan meledak dan meninggalkan ruang kosong untuk diisi oleh bola-bola baru. Skor tertinggi didapat jika kita bisa menjalankan permainan itu selama mungkin dan berhasil menyusun bola sebanyak-banyaknya. Permainan akan mencapai game over jika kita sudah tak mampu lagi menyusun bola-bola yang ada hingga petak-petak yang ada penuh terisi bola.

Kecanduan itu sedemikian rupanya sehingga ketika saya mesti mengosongkan diri untuk menghadap Tuhan dalam bentuk sholat pengaruh dari bola-bola yang meledak lalu lenyap menari-nari di pikiran saya. Pikiran saya juga bergerak-gerak memncari strategi terbaik untuk membuat petak-petak itu sekosong mungkin. Kecanduan itu juga membuat saya rela melek hingga lewat tengah malam hanya untuk bisa mendapatkan skor tertinggi sementara saya tahu besok pagi saya mesti bekerja. Saya juga menjadi sibuk sendiri dan seperti terpotong dari realitas di sekeliling saya ketika bermain game itu, karena bentuk permainan ini tidak interaktif seperti game farmville.

Gejala-gela kecanduan itu mengingatkan saya pada satu seri Oprah talk show yang membahas tentang orang-orang yang kecanduan narkoba. Disana disebutkan pengaruh narkoba terhadap saraf manusia adalah sedemikian rupa sehingga meski orang itu telah bersih (drugfree) jika dihadapannya diputarkan kaleidoskop yang salah satu gambar kaleidoskop itu disisipi gambar narkoba akan memicu saraf mereka untuk bereaksi ingin mencicipi lagi.

Disisi lain saya tahu bahwa kesenangan atau kecanduan yang sifatnya eksternal, punya batasan. Batasannya adalah rasa bosan dan kosong yang ditimbukan setelah berakhirnya 'kenikmatan' yang diberikan oleh benda-benda yang membuat kecanduan itu (addicted agent). Kondisi itu terjadi pada saat korban mencapai titik jenuh kecanduannya. Dan itu tak sama antara orang satu dengan lainnya.

Kemampuan untuk menolong diri sendiri tergantung dari kemampuan orang tersebut untuk mengetahui sejak dini bahwa dirinya sedang berjalan menuju kearah kecanduan lalu menghentikan atau memutus hubungan dengan addicted agent. Saya bersyukur punya sarana yang bisa menjadi indikator untuk mengukur secara relatif level kecanduan saya, yaitu melalui aktivitas pengosongan diri melalui sholat. Dimana saat saya mengosongkan diri ternyat muncul gambar-gambar yang tidak seharusnya, maka gambar itu adalah simbol kecanduan saya.

Bagaimana dengan anda?

Sabtu, 14 November 2009

Menerima tugas sebagai takdir

Kisah penolakan atas jalan hidup bukanlah kisah usang. Catatan sejarah dan kitab suci telah membuktikan hal itu. Salah satunya telah ditulis dalam kitab suci untuk menjadi pelajaran bagi manusia masa kini bahwa orang suci pun juga adalah manusia dengan pilihan dan kemauan bebasnya. Toh itupun tidak menyelamatkannya dari ketetapan dan kuasa Tuhan yang lebih besar yang bernama takdir.

Adalah nabi Yunus berusaha menolak pilihan Tuhan untuk berdakwah di negeri Niniwe. Kehendak Tuhan yang lebih besar menjadikan seluruh alam bekerja untuk menentang kehendak bebas itu. Maka terjadilah badai di tengah lautan, undian yang selalu menetapkan nama dia untuk di lempar ke laut, ikan paus datang menelan, dan 3 hari dalam kegelapan perut si ikan paus hingga doa ampunan mengembalikan dia ke daratan.

Maka kalau kini aku kisahkan ini di sini, itu adalah karena satu sisi batinku menyadari tugas yang dia pilihkan untuk aku ada di alam ini, tidak seberat dan sebesar nabi Yunus tentunya :) dan kehendak bebas diriku sebagai manusia di sisi lain. Konflik itu ada! Dan semakin aku menolak pihan yang Dia tetapkan atas aku, semakin batinku merasa sakit karena yang muncul kemudian adalah rasa kecewa, sedih, marah, terluka dan ketidak-percayaan pada KebijaksanaanNya.

Maka menerima dalam kesabaran di saat diri kita belum bisa sepenuhnya rela menundukkan diri dan kehendak bebas (baca: hawa nafsu) di depan ketetapan Nya merupakan cara terbaik dan paling menyelamatkan. Dalam hal ini musuh kita bukan orang orang lain ataupun makhlukNya tapi musuh kita adalah hawa nafsu kita sendiri.

Dalam situasi seperti ini, langkah nabi Yunus saat berada dalam perut ikan paus yang gulita tentu menjadi teladan kita agar kembali menemukan cahaya (baca: kembali ke daratan) yaitu "Allohumma inni dzolamtu nafsi dzulman katsiro. Laa yaghfirudz dzunuuba illa Anta. Faghfirli. Innahu huwal ghofuurur rohiim"

Aku mohon ampunMu dan teguhnya keyakinan atas KebijaksanaanMu serta kerelaan hati menerima ketetapanMu.

Kamis, 05 November 2009

Menjadi jiwa yang merdeka

Sebuah prophecy rasanya sedang diberikan kepadaku. Tentang apa yang akan terjadi. Kalimat pengingat untuk sesuatu yang akan terjadi agar disaat kejadian berlangsung jangan sampai kita dilalaikan olehnya.

Kalimat itu adalah ketika Tuhan tidak menghendaki tak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang bisa menghalangi, begitu juga sebaliknya. Maka agar halnya terjadi atau mewujud maka satu-satunya jalan adalah memohon pertolongannya. Maka mengharap-harap pertolonganNya adalah tindakan batin agar terbuka jalan menuju terwujudnya harapan kita.

Ketika pertolonganNya telah diberikan dan jalan dibukakanNya, maka yang tak mungkin menjadi mungkin, yang sulit jadi mudah, yang jauh dari dekat, yang berat jadi ringan. Semua pengenalan akan rasa tersebut tentu memberikan efek membebaskan pada jiwa, memunculkan euforia sementara. Kondisi ini jika disikapi secara salah akan membawa efek negatif yang mengjadikan kesuksesan itu tak langgeng.

Maka penyikapan dengan benar perlu dilakukan. Merujuk pada kitab suci cara yang benar adalah dengan mensucikan Dia yang telah menjadikan semua itu terjadi, mensyukuri karuniaNya dan memohon ampun atas ketidak-sempurnaan kita dalam menerima karuniaNya.

Kebebasan jiwa dan penyikapannya tersebut adalah sebagaimana Dia ajarkan pada manusia dalam surah An Nashr yang artinya adalah Pertolongan. Sungguh Dia Maha benar bahwa hanya dengan pertolonganNya saja kemerdekaan jiwa bisa terwujud.