Minggu, 18 Desember 2011

Sami'na wa atho'na dalam berorganisasi

Bisa dibilang ada dua gaya kepemimpinan yang berkembang saat ini. Yaitu gaya memimpin demokratis yang saat ini banyak diagung-agungkan oleh mayoritas masyarakat sebagai bentuk mereka mengekspresikan pendapat dan berseberangan suara dengan pemimpin mereka. Dan yang lain adalah gaya kepemimpinan otoriter yang banyak digunakan oleh para 'tiran' untuk membungkam suara rakyat dan mengukuhkan kedudukan mereka. Yang menggunakan pola ini dengan modifikasi adalah gaya kepemimpinan militer; yang memang banyak digunakan oleh para tiran karena garis komando mereka yang tegas dari atas ke bawah.
Bagi mereka yang terbiasa dengan gaya demokratis, mendapatkan gaya kepemimpinan otoriter / militer sangatlah tidak mengenakkan hati. Seringkali hal itu menimbulkan penolakan keras dengan alasan bertentangan dengan hak asasi manusia dalam menyuarakan pendapat.

Pendapat seperti itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Karena kenyataan yang terjadi di masyarakat dan dunia memang menunjukkan bahwa kekuasaan yang bersifat otoriter dan menggunakan kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaannya cenderung bersifat semena-mena dan menekan berkembangnya komunikasi yang bersifat natural antar anggota masyarakat.

Pada negara-negara yang menganut gaya kepemimpinan demokratis sendiri keberadaan militer jelas diperlukan dalam batas tertentu sebagai penjaga keamanan. Namun untuk menjaga agar tidak terjadi penyalah-gunaan kekuataan, ada aturan yang meletakkan loyalitas para anggotanya pada negara bukan pada individu tertentu. Toh yang seperti itu masih ada kemungkinan terjadi penyimpangan, karena tidak ada / kurangnya kontrol pada para petinggi militer dalam membedakan kepentingan negara dengan kepentingan pribadi kepala negaranya. Ambil contoh Suriah, Libya, Irak era Saddam Husein, Pakistan dan banyak negara di Afrika. Ini menjadikan pola kepemimpinan militer menjadi kurang populer di masyarakat sipil.
Dua gaya kepemimpinan yang saya sebutkan adalah dalam dalam kekuasaan negara yang bermuatan politik. Bagaimana dengan gaya kepemimpinan dalam suatu organisasi sosial keagamaan?


Kepemimpinan dalam Ormas Sosial Keagamaan

Dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bergerak dalam bidang sosial keagamaan yg alami, dua gaya kepemimpinan tersebut juga ada. Namun dalam penampilan yang sedikit berbeda. Ini tentu disebabkan oleh dasar hukum yang memberikan otoritas dalam pelaksanaan kepemimpinan tersebut.
Dalam lingkup organisasi yang saat ini saya sedang terlibat di dalamnya, gaya kepemimpinan yang banyak digunakan adalah gaya demokratis, dimana setiap masalah penting yang muncul diselesaikan secara bersama dan musyawarah. Praktis, hampir tiap bulan sekali kita ada rapat koordinasi untuk membahas agenda2 yang perlu disikapi dan diselesaikan melalui musyawarah pengurus.

Gaya kepemimpinan ini ada untung dan ruginya. Keuntungannya solusi terbaik bisa didapat dengan mengkombinasikan berbagai usulan dan ide dari para peserta musyawarah. Dan karena mendapat dukungan dari mayoritas peserta, maka kekuatan hukumnya menjadi jauh lebih kuat. Namun kelemahan dari gaya kepemimpinan ini, terutama apabila komponen organisasinya memiliki karakter yang kurang menjunjung tinggi etika berorganisasi adalah konflik antara pihak yang 'merasa' dikalahkan dengan pihak yang 'menganggap dirinya' dimenangkan. Seringkali ketika hawa telah menunggangi individu-individu yang terlibat, konflik ini berkembang menjadi perpecahan dan lebih jauh lagi menjadi kekerasan.

Kasus ini pernah terjadi pada organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdhatul Ulama (NU) di era tahun 90an. Ketika itu kepentingan politik sangat kental mewarnai Muktamar NU yang dilaksanakan di Jawa Barat. Sehingga memunculkan dua kubu NU blok Cipayung dan NU blok Jombang. Hingga kemudian dilakukan ishlah yang menghasilkan keputusan NU kembali ke Khittah tahun 1926 dimana NU menarik diri dalam percaturan politik nasional dan lebih fokus pada
pembinaan umat.
Yang memimpin dan yang dipimpin


Ala militer dalam Ormas

Gaya kepemimpinan ala militer dalan suatu ormas adalah sesuatu yang mungkin agak janggal diterima. Karena ormas sendiri sebagai organisasi massa lebih banyak mengusung prinsip musyawarah dibanding sistem komando ala militer. Tapi itu tidak berarti bahwa tidak ada organisasi yang menerapkan pola kepemimpinan seperti itu. Dan saya menjumpai satu organisasi yang menggunakan gaya kepemimpinan itu dan mendengar beberapa keluhan terkait dengan tata cara yang diterapkan di dalamnya. Bukan seauatu yang tabu untuk menyebutkan namanya, tapi untuk kebaikan semua pihak, saya tidak akan menyebutkan nama organisasi itu. Hanya mari kita belajar dari keberadaannya. Kebetulan ormas ini adalah ormas dengan latar belakang sosial keagamaan.

Di ormas ini instruksi pimpinan pusat sangat dijunjung tinggi. Apabila ada tindakan atau kebijaksanaan dari bawah yang tidak sesuai dan berbeda dengan pusat, maka tindakan tegas akan diambil untuk memutus mata rantai ketidak-disiplinan anggota. Secara internal, karena loyalitas anggotanya, organisasi ini menjadi kuat dan punya tingkat kedisiplinan paling baik dibanding ormas lainnya. Program-program kerja dilaksanakan secara serempak dan mengagumkan. Militansi anggotanya juga sungguh mengagumkan.

Namun bukan berarti tidak ada nada minor. Adanya biasanya muncul dari mereka yang merasa dirugikan dengan 'kewajiban' taat yang mesti dilakukan oleh para anggota. Karena itu mengurangi keluasan anggota untuk bergerak maupun berpartisipasi di ranah-ranah perjuangan di luar ormas tersebut.

 
Jalan Tengah itu namanya Bijaksana

Menghadapi dua gaya kepemimpinan tersebut, pilihannya bukanlah pada mana salah satu yang harus saya gunakan. Saya lebih suka memilih jalan tengah. Dimana kedua gaya pimpinan itu bisa saya terapkan dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang.

Gaya demokratis akan saya gunakan apabila situasinya menuntut pilihan terbaik, kurun waktu yang relatif lebih longgar, partisipasi anggota berjalan secara aktif dan dinamis serta SDM yang ada memiliki motivasi dan emosi yang positif bagi perkembangan organisasi. Sedangkan gaya militer akan saya gunakan apabila kurun waktu relatif pendek, biasanya punya tingkat urgensi tinggi dan partisipasi SDM yang ada cenderung pasif.

Dalam Qur'an dua gaya kepemimpinan itu juga disebutkan terkait dengan kepemimpinan Rasulullah. Di satu sisi Beliau diperintahkan untuk bermusyawarah sebagai ciri demokrasi sebagaimana disebutkan dalam QS
  " Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya ” [Ali-Imran : 159]

Di sisi lain para sahabat diperintah untuk taat sebagai ciri militer sebagaimana disebutkan dalam QS
“Apabila orang-orang mukmin diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan perkara diantara mereka, mereka berkata “Kami Mendengar dan Kami Taat” dan mereka orang-orang yang beruntung.” [An Nuur :51] Karena dua-duanya memang ada dan diakui serta diperintahkan, maka keindahan kita para pelaku organisasi adalah apabila mampu menerapkan kedua ayat tersebut sedemikian rupa sehingga diri kita bisa tumbuh dengan bijaksana.

آمِّينَ يَ رَ بَّلْ عَلَمِيّنْ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar