Kamis, 06 Juni 2013

Membaca Musium

Dalam kunjungan saya ke Makasar akhir pekan lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Musium La Galigo di dalam kompleks Fort Rotterdam setelah sebelumnya ziarah ke makam Pangeran Ontowiryo yang kebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro.





Makam Pangeran Diponegoro dan istri
Dari kunjungan awal ziatah ke makam Pangeran Diponegoro dan mendapat cerita dari juru kunci makam, yang juga keturunan ke-5 Beliau, saya mendapat informasi bahwa benteng Rotterdam dulu merupakan benteng yang dibangun oleh Sultan Alaudin, raja Goa sebelum Sultan Hasanudin. Dan sebelumnya bernama benteng Penyua?! Karena terletak di bibir pantai dan penyu2 sering naik ke darat dan menempel di dinding benteng. Setelah pendudukan Belanda, benteng itu akhirnya dikuasai Belanda sedang kerajaan Goa mundur ke Benteng Sombaopu.

Pada masa pengasingannya Pangeran Diponegoro bersama keluarganya ditahan di benteng Rotterdam sampai Beliau wafat disana. Dari makam keluarga yang ada di Makasar, saya mengetahui bahwa istri dan anak-anak Beliau tetap setia menemani sampai akhir mereka. Pangeran Diponegoro dan keluarga praktis kehilangan kontak dengan keluarga di Jawa dan ibarat orang yang telah terlucuti kekuasannya, tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat Makasar dan sekitarnya secara bebas. secara lahiriah ibarat macan kehilangan aumannya atau gajah kehilangan gadingnya. Namun nurani kemanusiaan, perbawa sejati seorang manusia, kobaran semangat anti penjajahan tidak akan bisa dihancurkan. Pahlawan tulen tidak akan pernah berubah meski situasi, keadaan dan jaman tidak lagi mendukungnya.

Dalam pengasingan, Pangeran Diponegoro memilih menjadikan khalwat sebagai wujud perjuangan Beliau untuk mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia. Mengusir penjajahan dari bumi nusantara itulah doa dan harapan yang Beliau pendam dan mohonkan dalam doa dan khalwat Beliau selama dalam pengasingan..

Fort Rotterdam
Maka ketika saya menuju ke benteng Rotterdam, saya berpikir akan menemukan hal-hal itu. Sebagai tempat yang menjadi simbol sebagai tanah bekas jajahan, saya berpikir saya akan menemukan isi musium yang akan menunjukkan jati diri bangsa: bahwa kita punya kebanggaan pada nilai-nilai budaya bangsa khususnya budaya lokal yang tinggi, kita sungguh bisa belajar dari sejarah bangsa ini, kita menghargai jasa para pahlawan perjuangan kemerdekaan bangsa ini dan kita menjunjung tinggi kemerdekaan yang telah diupayakan oleh seluruh bangsa dan para pahlawan kemerdekaan bangsa.
Namun sayang saya tidak melihat upaya itu disana. Yang membuat saya berpikir untuk apa benteng itu diubah menjadi musium? Apakah sekedar tempat koleksi barang kuno tanpa makna?

Dan yang lebih memalukan bukannya melihat foto Pangeran Dipengoro atau Sultan Hasanadun sebagai pahlawan bangsa, pertama kali memasuki bagian ruangan musium La Galigo, justru saya disodori foto besar penjajah Cornelius Spellman berbentuk lukisan dilanjutkan foto-foto pemimpin pemerintah di era kemerdekaan yang ada di ruang berikutnya.

Dalam hati saya bertanya-tanya, apa maksud semua ini? Nilai apa yang ingin disampaikan oleh pengelola musium dengan ini semua? Karena tidak ada informasi yang mendukung relevansi antara satu barang dengan barang lain yang ada di musium itu, sah-sah saja kalau saya menafsirkan bahwa foto-foto itu adalah foto para penjajah lokal yang pernah berkuasa di Sulawesi.

Dan ketika saya berharap akan ada sesuatu yang bisa mengajarkan kepada saya tentang sejarah Sulawesi Selatan sesuai namanya musium La Galigo, yang saya dapatkan justru barang-barang yang kebanyakan adalah pusaka peninggalan orang lain yang tidak ada relevansinya dengan Sulawesi Selatan. Itupun dengan informasi yang tidak cukup menarik dan mengesankan untuk dibaca. Menunjukkan pihak musium kurang / tidak melakukan riset yang mendalam untuk melengkapi keterangan tentang barang-barang pusaka tersebut.

Ketika saya ingin mencari lokasi tempat Pangeran Diponegoro dan keluarga ditahan, saya tidak menemukan arah lokasi maupun tanda yang menunjukkan tempat itu. Saya berusaha melakukan visualisasi tentang kehidupan Beliau selama di pengasingan dan tahanan untuk menumbukan rasa syukur yang lebih mendalam atas kemerdekaan bangsa ini. Namun sayang, keterangan tempat dan tanda yang menunjukkan itupun juga tidak ada.

Naskah asli karya sastra Sulawesi Selatan
I La Galigo
Saya keluar dari ruangan musium dengan rasa sangat kecewa. Karena tidak banyak yang saya bisa pelajari dari sana. Membuat saya berpikir lebih luas lagi. Beginikah pemerintah berusaha menumbuhkan kebanggaan diri sebagai bangsa? Beginikah pemerintah berusaha mendidik anak bangsa untuk menghargai jasa-jasa pahlawan? Beginikah pemeringah berusaha mengajarkan rasa cinta tanah air kepada generasi penerus? Lalu akan dibawa kemana bangsa ini? Jika akar saja justru berusaha dimatikan dalam tindakan dan keputusan yang sangat tidak bijaksana dalam mendidik anak bangsa melalui upaya melestarikan / mengawetkan peninggalan bangsa di tempat yang bernama musium.

Saya sebenarnya berharap dapat menemukan informasi lebih banyak dan lebih detil tentang La Galigo itu sendiri. Namun saya, itupun juga tidak banyak saya dapatkan dalam musium. Justru info itu adanya di kios soevenir yang menjual buku dan beberapa jenis soevenis. Namun buku-buku yang tersedia juga hanya satu set saja. Bisa jadi budaya membaca dan menghargai karya sastra lokal kurang berkembang di lingkungan masyarakat setempat.

Untuk menutup rasa kecewa saya beli buku lebih tepatnya foto kopi buku berjudul Siri' Na Pacce untuk mendapatkan informasi lebih jauh tentang akar budaya bangsa Indonesia khususnya orang-orang Bugis Makassar. Semoga saya bisa mendapatkan sesuatu dari sana untuk meniupkan nafas pada akar bangsa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar