Minggu, 03 Maret 2013

Pancasila di Belantara Dunia

Ada banyak pohon besar di dunia ini, ada pohon jati, meranti, ulin, pinus, cemara, oak, dan sebagainya. Setiap pohon punya ciri khas dan habitatnya sendiri. Ada beberapa pohon yang berbagi habitat seperti cemara dan pinus. Tapi tidak berarti kita bisa mengatakan bahwa pinus adalah cemara atau cemara adalah pinus. Karena masing-masing membawa ciri khas yang membuat setiap pohon itu menjadi unik.

Demikian pula dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Di tengah-tengah arus globalisasi, manusia di seluruh dunia seolah sedang digiring menuju pada kesamaan gaya hidup, pola pikir, budaya dan kebiasaan melalui sarana teknologi yang semakin canggih dan beragam; dari mulai telpon genggam, majalah, koran, televisi, film, internet, turisme dan transportasi khususnya penerbangan. Teknologi itu dimaksudkan untuk mendekatkan yang jauh, tapi pada saat yang sama - disadari atau tidak, juga berefek samping menjauhkan yang dekat. Dan karena efek samping teknologi tersebut, maka banyak orang Indonesia akhirnya mulai lupa bahkan malah telah kehilangan sentuhan dengan jati diri mereka sebagai komponen bangsa.

Urgensi Jati Diri Bangsa

Garuda Pancasila
Saya tak tahu apa yang dipikirkan para founding father, para negarawan bangsa Indonesia ketika mereka mengawali penyusunan Pancasila sebagai dasar negara dan pembuatan lambang Garuda Pancasila sebagai lambang negara. Apakah karena wajib ada atau sekedar meniru karena negara lain punya dasar negara dan lambang negara, saya tak tahu. Tapi sebagai komponen bangsa, saya bersyukur bahwa mereka telah memikirkannya, membuatnya dan menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena di era globalisasi saat ini, dasar dan lambang negara tersebut menunjukkan signifikansinya.

Seperti ketika kita membedakan satu pohon dari pohon lainnya. Pancasila sebagai dasar negara merupakan simbolisasi benih dasar berdirinya pohon NKRI yang bersumber dari esensi hidup suku-suku yang berdiam di negeri bernama Indonesia. Garuda Pancasila sebagai lambang negara menjadi identitas pengenal selain bendera Merah Putih. Seperti pohon pinus tak bisa menghasilkan kayu jati dan pohon cemara tak bisa menghasilkan kayu ulin, maka sudah semestinya seluruh komponen bangsa Indonesia yang menyatu dalam NKRI tidak bisa menghasilkan sesuatu yang tidak dijiwai oleh Pancasila. Tidak rakyatnya, tidak wakil rakyatnya, tidak pemerintahannya, dan tidak juga penegak hukumnya. Seluruh komponen bangsa mestinya mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Jika tidak ingin sekelompok individu yang bernama bangsa Indonesia yang meyatukan diri dalam NKRI ini tinggal nama atau menghilang dari percaturan politik dunia tergantikan oleh sesuatu yang lain, karena telah kehilangan jati dirinya.

Karena itu, menjadi kewajiban bangsa Indonesia, seluruh komponen pembentuk NKRI untuk terus menumbuhkan dan mempertahankan jati diri bangsa ini. Menumbuhkannya pada generasi muda penerus kehidupan NKRI dan mempertahankannya agar tetap menjadi jiwa setiap generasi yang menjadi penentu hidup, berkembang dan sinambungnya NKRI. Di kalangan pemangku jabatan legislatif, eksekutif dan yudikatif harusnya ada upaya-upaya untuk menjaga kebanggaan diri sebagai bangsa dengan menghidupkan jiwa Pancasila sebagai jati diri bangsa dalam laku mereka sebagai pelayan rakyat.

Menumbuhkan kesadaran

Ketika kita lahir sebagai bagian dari bangsa Indonesia, jiwa Garuda Pancasila baik langsung maupun tidak langsung telah mengalir pada diri kita. Karena tanah yang kita pijak, air yang kita teguk, udara yang kita hirup berasal dari tempat yang benama Indonesia. Maka karakter umum orang-orang yang tinggal di bumi Indonesia, budaya yang tumbuh dalam interaksi masyarakat dan tata aturan yang berlaku, seluruh aspek kehidupan bangsa berpadu dalam esensi jiwa Pancasila.

Sumber: www.pelauts.com
Maka kepada generasi muda, upaya menumbuhkan kesadaran jati diri bangsa adalah dengan mengenalkan Pancasila dan Garuda Pancasila melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Setelah melalui masa pendidikan era orde baru dan membandingkan dengan era reformasi saat ini, saya sadari adanya nilai-nilai yang baik dalam era pendidikan di masa orde baru dalam hal menumbuhkan jati diri bangsa. Saya ingat dulu  banyak pelajar memandang seebelah mata - karena 'terlalu mudahnya' bagi mereka untuk memberi jawaban standard dan mendapatkan nilai minimal 7 - untuk mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kini di tengah arus globalisasi, saya menyadari pentingnya pelajaran tersebut. Secara obyektif harus saya akui bahwa PMP adalah mata pelajaran yang membantu saya untuk lebih mengenal, menghayati dan memperkuat jati diri saya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Tentu saja perlu ada penjabaran yang lebih kreatif oleh para guru agar PMP bisa benar-benar menumbuhkan kesadaran para siswa tentang perlunya memiliki identitas kebangsaan. Karena esensi yang mestinya dituju oleh pengajar PMP bukan sekedar memberi nilai standard untuk naik kelas/lulus, tetapi yang lebih penting adalah menanamkan dan menumbuhkan kesadaran. Jika di era reformasi kini pelajaran PMP berganti judul pelajaran budi pekerti atau tata negara, ada sesuatu yang kurang dalam pemilihan nama tersebut. Karena terkesan ada upaya menghilangkan dan menghapus identitas bangsa.

Spektrum sila-sila Pancasila yang tersemat dalam lambang Garuda Pancasila sebenarnya cukup luas untuk bisa dijadikan kurikulum pendidikan tanpa harus melakukan pengulangan-pengulangan materi pelajaran. Bukan berarti pengulangan itu tidak perlu. Tetapi mestinya pengulangan itu harus diikuti dengan pendalaman dan perluasan makna demi sebuah penghayatan yang semakin mendalam. Seperti seorang tukang pewarna pakaian, pengajar berulang-ulang mencelupkan warna Pancasila sebagai jati diri bangsa kepada siswa dalam cairan pewarna bernama kurikulum hingga semakin terlihat nyata bekas dari pelajaran yang diberikan. Kalau saat ini kita melihat bekas-bekas itu tidak nampak nyata dan malah berbeda warna, maka itu indikasi kualitas hasil karya pendidikan yang telah dilewati siswa yang kini menjadi bagian dari pelaku sejarah bangsa Indonesia. Hanya karena hasilnya kurang berkualitas bukan berarti kita harus berhenti berusaha lalu menghilangkan upaya menumbuhkan jati diri bangsa dan menggantinya dengan sesuatu yang lain. Karena yang harus diingat, upaya pengajaran tersebut adalah dalam rangka melestarikan hidupnya pohon NKRI, agar NKRI tetap tumbuh berkembang selamanya di tempat yang bernama Indonesia ini. Kita tentunya tidak ingin pohon NKRI menjadi seperti pohon pisang berdaun sirih, yang tidak jelas jati dirinya.

Menumbuhkan kebanggaan

Di kalangan generasi bangsa yang hidup saat ini, ada yang telah kehilangan kebanggaan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia karena melihat para pelayan rakyat dari kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif telah mengabaikan cita-cita luhur bangsa. Bukannya berusaha mensejahterakan rakyat, mereka malah mensejahterakan keluarganya sendiri. Bukannya melindungi kepentingan rakyat, mereka malah melindungi kepentingan sendiri. Ini adalah indikasi kebusukan sel-sel penyusun pohon NKRI dan jelas bertentangan dengan upaya menghidupkan dan melestarikan jati diri bangsa. Sebagai orang-orang yang peduli dan menyadari betapa bahayanya pembiaran atas tindakan itu, kita perlu melakukan segala upaya untuk melindungi kelangsungan bangsa ini dengan cara menyembuhkan (baca: menyiapkan perangkat hukum berupa undang-undang), melokalisir (baca: eksekusi aturan/hukum yang berlaku) agar pembusukan tidak makin meluas, sampai pada mengamputasi (baca: menetapkan hukuman mati) bagian yang busuk itu.

Sumber : arun1st.wordpress.com
Sayangnya orang-orang yang mestinya layak disebut pimpinan negara dari kalangan legislatif dan eksekutif maupun yudikatif saat ini belum punya keberanian untuk secara tegas mengobati penyakit kanker yang telah menyebar kemana-mana ini. Sebagai bangsa yang tangguh, kita tidak boleh putus asa. UUD 1945 sendiri mengakui bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Kemenangan Jokowi dalam pemilihan gubernur DKI dalam pilkada tahun lalu atas partai politik yang berkuasa jelas menunjukkan bahwa rakyat merindukan pemimpin yang berjuang untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang tersebut dalam Pembukaan UUD 1945 di alenia ke empat setelah merdeka dari penjajahan. Adalah sebuah kebodohan dan hal yang tidak masuk akal apabila setelah bebas dari penjajahan bangsa asing, kita malah dijajah oleh bangsa sendiri, karena kita salah dalam memilih pemimpin. Hanya karena pelayan rakyat dan petinggi negara tidak mencerminkan sikap dan jiwa Pancasila, bukan berarti kita harus mengganti dasar negara kita. Yang harus diganti adalah para pelayan dan petinggi negara itu. Mereka tidak pantas atas titel tersebut karena tidak membawa jiwa Pancasila dalam melaksanakan tugasnya.

Garuda Pancasila dalam keseluruhan simbolisasi yang ada padanya telah dengan sempurna merangkum jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Keindahan Garuda Pancasila bukan terlihat dari keindahan fisik para anggota delegasi negara, diplomat maupun petinggi negara yang mewakili bangsa ini di percaturan politik baik lokal maupun internasional. Tanpa harus menjual dengan murah identitas bangsa ini, Indonesia beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya telah memiliki daya tarik tersendiri bagi bangsa-bangsa lain, yang membuat mereka berusaha mempertahankan penjajahan mereka, dan setelah bangsa Indonesia merdeka masih terus datang dan berusaha mengeruk kekayaan negeri ini untuk dibawah ke negeri mereka.

Kita sebagai pemilik negeri bernama Indonesia ini hanya perlu mempertegas jiwa Pancasila kita agar makin indah bersinar. Keindahan sekaligus kegagahan Garuda Pancasila mestinya tersemat dan tertanam dalam jiwa seluruh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; dalam wujud penjiwaan kita sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, yang menjunjung tinggi semangat Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berharap dan berupaya selalu menjaga Persatuan Indonesia, yang menghormati sikap Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan serta mengupayakan seluruh potensi kekayaan bangsa baik materi maupun immateri demi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Agar sebagai komponen bangsa, kita bisa berujar secara tegas dan lugas bahwa "Aku bangga sebagai bangsa Indonesia yang berjiwa Pancasila".

lomba blog pusaka indonesia 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar