Kamis, 30 Januari 2014

Menafsir Kisah Nabi Nuh

Sawah depan tempat tinggal saya dan beberapa rumah di sekitarnya sedang terendam banjir dua minggu ini. Hujan yang mengguyur kota Pati  dan sekitarnya meninggalkan genangan air. Sejak musim hujan datang disusul dengan kabar banjir di beberapa daerah mulai Manado, Jakarta, Jalur Pantura termasuk daerah tempat saya tinggal saat ini, pikiran saya mengenang kisah Nabi Nuh. Juga mengingat pesan Sang Mursyid kepada murid-murid Shiddiqiyyah yang berkaitan dengan program 2000 Jaamiatul Mudzakkirin (2000JM) yaitu agar murid-murid Shiddiqiyyah cepat-cepat masuk ke dalam kapal Nabi Nuh agar selamat.


Sebagai murid tasawuf, saya menyadari pesan itu tidak bisa diterima letterlijk. Pasti ada makna tersirat di balik pesan yang Beliau sampaikan. Dan sebagai murid saya perlu memahami dengan benar pesan tersebut untuk memunculkan kesadaran dalam diri saya, membaca yang tersirat dan mengambil langkah yang tepat dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena resikonya sudah jelas masuk kapal agar selamat atau binasa ditelan banjir bah yang telah menenggelamkan umat manusia, seperti pada jaman itu. Dan akal batin saya belajar membaca ayat-ayatNya yang nampak di alam dan dalam diri untuk mengambil hikmah di balik pesan dari peristiwa maupun gejala alam yang sedang terpampang jelas di depan mata.

KISAH NABI NUH

Dalam Kitab Perjanjian Lama dan Alquran kisah Nabi Nuh diceritakan. Yaitu kaum yang durhaka kepada Allah dan RasulNya. Mereka hidup dalam tradisi dan budaya yang berlaku pada masanya. Dan Nabi Nuh diutus untuk mengingatkan mereka tentang kedurhakaan mereka. Masa yang ditempuh tidaklah pendek, kurang lebih 800 tahun. Bukan waktu yang singkat dalam ukuran kita! Tapi demikianlah, sedikit sekali orang yang mau menerima dan mengikuti ajakan Nabi Nuh. Sampai ketetapan Allah tiba, bagi Nabi Nuh untuk membuat kapal.

Sami'na wa atho'na. Demikianlah perilaku seorang hamba ketika perintah datang. Mungkin belum diterima petunjuk selain itu. Hanya buatlah kapal! Di tengah kecaman dan cemooh masyarakat, Nabi Nuh membuat kapal. Dan bukan hanya sebuah kapal kecil, tapi sebuah kapal besar! barangkali sebesar atau lebih besar lagi dari kapal pesiar yang ada saat ini.

Setelah kapal selesai dibuat, perintah berikutnya datang: untuk menyiapkan bekal sambil mengumpulkan golongan tumbuhan dan binatang sepasang demi sepasang. Yang menjadikan kapal besar yang berada di tengah daratan itu bak taman safari mini. Bagaimana Nabi Nuh membawa hewan-hewan liar yang beberapa diantaranya buas itu masuk dalam kapal? Pada ayat "Salamun alaa Nuuhin fil alamiin" terdapat rahasia penaklukan.

Tanda bekas kapal Nabi Nuh di Bukit Juudi
- Gunung Ararat, Turki -
Maka terakhir adalah manusa dari golongan orang-orang yang beriman kepada Nabi Nuh. Karena sudah jelas, dengan kesombongan dan penolakan orang-orang yang ingkar, mereka tinggi hati untuk menjadi bagian dari skenario 'gila' seorang Nuh. Mereka merasa aman dengan apa yang ada pada mereka, berupa harta benda dan sanak keluarga serta kelompok masyarakat yang mendukung mereka.

Dan tibalah saatnya. Ketika hujan yang datang diterima sebagaimana adanya. Hujan yang datang dianggap sebagai hujan biasa yang datang di setiap musim. Dan mereka berlindung di dalam rumah mereka dari terpaan air hujan yang mengguyur. Sehari lewat. Hujan tidak reda. Dua hari lewat. Hujan tidak juga reda. Tiga hari. Empat hari. Dan airpun merambat naik. Meeka yang berlindung dalam rumah bahkan tidak menyadari dengan telah dibukamya tannnur. Dalam ketidak tahuan mereka, keran pintu langit dan bumi pun dibuka. Membuat gerakan air yang semula merambat pelan berubah menjadi gelora dalam sekejap.

Mulailah kegelisahan dan kesibukan mengambil alih ingatan mereka yang berlindung di dalam rumah. Mereka sibuk menyelamatkan harta benda mereka. Namun air tidak mengenal kompromi. Ia hanya mengikuti sunnatullah. Maka bergerak ketika ada daya yaang mendorong adalah sunnatullah. Melarutkan apaapun yang bisa ia larutkan adalah sunnatullah. Melibas apapun yang menghalangi jalannya aliran adalah  sunnatullah.  Dan menenggelamkan apapun yang tidak mau mengapung di atas dirinya adalah sunnatullah.

Maka tenggelamlah mereka yang diliputi oleh kesombongan aku-nya. Larutnya semua harta yangmmereka kumpulkan. Tersapu habislah berhala tradisi yang menjadi urat peradaban mereka. Sementara kapal Nabi Nuh, sebagaimana sunnatullah adanya, berlayar dengan tenang di atas air bah yang mengepungnya. Dan selamatlah Nabi Nuh beserta orang-orang yang beriman dalam taman safari mini mereka.

Penghuni kapal Nuh yang kebanyakan terdiri dari kelompok hewan

KETIKA BERKAH MENJADI MUSIBAH

Hujan sebagaimana Alquran menyebutkan adalah berkah dari langit. Sebagaimana disebut dalam surat Qāf (50):9 - " Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, ".  Namun dalam kisah Nabi Nuh, berkah itu telah berubah menjadi musibah.

Hujan dalam jumlah cukup merupakan karunia bagi kita, karena kita merasa punya kapasitas untuk menampungnya,  mengalirkannya, dan mengendalikannya untuk memenuhi kebutuhan kita akan air yang diturunkan dari langit itu. Kita merasa sudah bisa menguasai dengan teknologi yang kita miliki. Ada teknologi irigasi, tanggul, bendungan, kincir air, pompa air, PLTA dan lain sebagainya.  Tapi semua teknologi itu tidak berarti banyak ketika berhadapan dengan kekuatan alam. Saat itulah ketika berkah bisa berubah menjadi musibah.


Air yang semula menjadi teman kini bisa berubah menjadi musuh. Yang semula dicari-cari sebagai penghilang dahaga kini dijauhi karena kotor bercampur sampah dan membuat basah semua yang disentuhnya. Yang semula dicari sebagai penyejuk udara di kala panas, kini dijauhi karena membawa hawa dingin dan membuat tubuh rentan dengan penyakit.  Yang semula mengalir tenang, kini deras mengalir dan bergolak seolah saling berebut agar segera sampai ke tujuan.  Yang semula lemah tak berdaya bahkan untuk mengangkat dirinya, kini tembok rumah pun diterjang tanpa peduli. Menyapu apapun yang menghalangi jalannya. Yang semula membawa kehidupan kini membawa kematian.

MIMPI JADI NYATA

Dihadapkan pada situasi seperti saat ini, benak saya tidak bisa tidak, jadi teringat dengan mimpi yang saya terima sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Ketika saya menyaksikan air yang menutupi daratan setinggi batas kamar saya yang berada di lantai dua. Ya, saya bermimpi tentang banjir besar di tempat saya tinggal saat ini. Dan ketika menyadari itu sebuah pertanda, saya memohon kepada Allah untuk mengubah dan menggantinya. Alhamdulillah, tahun itu tidak sampai banjir meski hujan cukup besar.

Namun tahun ini, meski hujan di sini tidak terlalu besar, namun kiriman air dari daerah hulu sungai di bagian atas. Air naik sedikit demi sedikit, hingga masuk ke dalam rumah sampai setinggi 20 cm di atas lantai dasar. Dan mengalami itu, saya seperti menyaksikan perwujudan mimpi itu. Dalam hati saya hanya bisa mengingat Allah yang Maha Suci dan membenarkan isyarahNya seraya berdoa mohon keselamatan agar air tidak semakin naik. Di satu sisi saya bersyukur tempat saya berpijak masih kering, di sisi lain saya merasa kasihan dengan masyarakat sekitar yang rumahnya terendam sampai batas paha atau dada orang dewasa sedang rumah mereka hanya satu lantai.

Mengikuti petunjuk Alquran, dengan berwasilah kepada Nabiyulloh Nuh Alaihissalam, saya gunakan kalimatNya "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan dan perintah telah dilaksanakan.,..."

Salaamun alaa Nuihin fil aalamiin.

MENYIMPAN BERKAH

Seperti di atas disebutkan bahwa hujan mestinya adalah berkah. Namun berubah menjadi musibah ketika hujan itu kemudian menjadi banjir yang menelan rumah-rumah yang dilewati air hujan itu. Seperti ibukota Jakarta yang setiap tahun selalu mendapatkan kiriman banjir saat kota Bogor hujan deras selama beberapa waktu. Dan memang dari dulu Bogor dikenal dengan kota hujan.

Menurut ilmu pengetahuan alam dalam siklus air, ketika air hujan turun di daerah pegunungan, sebelum sampai ke laut sebagian air itu akan melewati lapisan bumi. Air itu akan diserap oleh lapisan bumi sebagian disimpan oleh akar pohon-pohon yang menjadi hutan lindung, yang tidak tertahan akan terus mencari jalan menuju tempat yang lebih rendah sampai akhirnya bertemu dengan sungai bawah tanah yang menjadi sumber air sumur artesis. Dan air itu akan terus mengalir terus sampai menjadi sumber air di suatu tempat. Dan masih terus mengalir menuju ke tempat yang lebih rendah. Dan baru akan berhenti ketika bertemu dengan lautan. Meski di laut terdapat arus, namun arus ini tidak dihitung sebagai siklus karena mereka dianggap sebagai satu kesatuan.

Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya

Dalam siklus air itu terdapat pelajaran dari Yang Maha Kuasa tentang cara menyimpan berkah bagi mereka yang mau bepikir. Bagaimana berkah yang berlimpah itu tidak sampai menjadi bencana. Ada proses mengalir,  menyimpan untuk kemudian dialirkan kembali. Berhenti bukanlah pilihan bagi air. Karena berhenti berarti membiarkan diri menjadi busuk.

Dalam proses mengalirkan, alam telah memberi contoh dengan memberi ruang alir yang bernama selokan, parit, sungai kecil sampai sungai besar agar air itu bertemu dengan induknya yaitu lautan. Demikian pula dalam hidup ini. Semua berkah yang kita terima haruslah dialirkan. Ketika berkah itu berhenti pada diri sendiri menjadi sebuah tumpukan maka yakinlah sunnatullah pasti akan berlaku. Karena tumpukan itu tidak mengalir ke sekitarnya. Cepat atau lambat musibah akan datang menghampiri. Entah dalam bentuk penyakit, kerugian, pembusukan, kebakaran, kekeringan, pencurian, perampokan yang semua berakhir pada kerusakan.

Selain mengalirkan, ada proses lain yang juga perlu dilakukan yaitu menyimpan untuk kemudian dialirkan kembali.  Apa yang membedakan menyimpan yang ini dengan menyimpan yang sebelumnya? Jelas berbeda. Menyimpan yang pertama adalah menumpuk untuk diri sendiri. Sedang menyimpan yang kedua ada proses mengalir yang tidak terlihat oleh mata. Dan kalaupun ada penggunaan oleh diri sendiri, namun tidak dalam jumlah yang berlebihan. Cukup sekedar untuk menghidupi apa-apa yang menjadi tanggungannya. Sungai tidak pelit untuk berbagi air dengan vegetasi maupun hewan-hewan maupun manusia yang tinggal di sekitarnya.

Dalam proses menyimpan untuk kemudian mengalirkannya kembali, ada proses penyerapan yang berarti memperlambat kecepatan air agar tidak secepatnya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dan dalam proses itu ada proses penjernihan pula. Air hujan yang jatuh ke  permukaan bumi apabila diminum manusia bisa menimbulkan penyakit. Namun setelah turun dan bertemu lapisan bumi yang lebih dalam yang berfungsi sebagai saringan, berubah menjadi air yang jernih, segar,  sejuk dan menyehatkan. Dan daerah yang dilewati oleh aliran air yang telah melalui proses penyimpanan itu, merupakan daerah yang subur, menenangkan hati dengan pemandangan yang indah dan menyejukkan mata.

Kenapa saya menceritakan ini? Karena ada pelajaran disana bagi mereka yang mau berpikir.

MEMBACA BANJIR

Membaca peristiwa-peristiwa alam itu, lagi-lagi benak saya berusaha menafsir makna himbauan Sang Mursyid Bapak Kyai Muhammad Muchtar Mu'thi agar murid-murid Shiddiqiyyah segera naik kapal Nabi Nuh agar selamat sentausa ketika air bah menyapu ummat manusia.

Saya bertanya dalam hati air bah apakah itu? Kapal seperti apa yang harus saya naiki? Bagaimanakah keadaan dunia saat air bah menyapu ummat manusia? Membaca alam, membaca zaman, membaca ummat manusia, dan memaknai kenyaatan yang saya hadapi saat banjir terjadi, saya sedikit bisa memahami himbauan Beliau tersebut.


Karena perhatikanlah! Bukankah kita saat ini diliputi oleh begitu banyak berkah. Sebegitu banyaknya sampai kita tidak menyadari dan tak akan bisa menghitung limpahan berkah itu. Sampai-sampai wujud diri kita yang berasal dari tanah, tidak akan mampu menampung dan menerima berkah dari langit. Masing-masing orang dalam kebodohannya bahkan telah menolak dan menyalah-gunakan curahan berkah dari langit itu. Ego manusia telah menutup jalan bagi bumi jasad ini untuk menyerapnya. Seperti aspal-aspal hitam dan beton-beton kaku yang menutup muka bumi dan menyisakan ruang sempit bagi bumi untuk menyerap air. Maka jadilah ketidak-seimbangan ekosistem bumi ini dan secara akumulatif ekosistem alam.

Kita saksikan manusia berkutat dengan masalah mereka. Masing-masing berusaha menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Menumpuknya dalam bentuk kertas yamg mereka sebut berharga seperti uang, obligasi, saham, barang perhiasan dari emas, permata dan batu mulia lainnya, rumah, mainan bernama kendaraan bermotor dari sepeda, motor, mobil, pesawat dan lain sebagainya. Semua tumpukan ini menjadi benda mati yang hanya menumpuk di lemari besi atau rumah mereka dan sekali waktu dikeluarkan untuk dilihat dan dipakai. Bukankah demikian perilaku manusia yang menumpuk-numpuk kekayaan?

Membaca yang demikian, kita perlu membangun kapal sebagaimana Nabi Nuh, agar selamat di tengah limpahan berkah yang apabila kita salah menyikapinya akan berubah menjadi musibah.

Dan apakah yang dimaksud dengan kapal itu?

MEMBACA KAPAL

Dalam sebuah pelajaran Self Knowledge, Guru saya menceritakan tentang sebuah kapal. Membuat perbandingan antara kapal yang hanya bersandar di dermaga - dan akhirnya terbalik ketika diterjang ombak - dengan kapal yang berlayar dengan tenang di atas samudra yang berombak. Kedua kapal tersebut sama jenisnya, yang berbeda hanyalah situasi yang menimpa kapal itu. Situasi pertama adalah saat ada masalah hingga kehilangan kendali dan situasi kedua saat ada masalah namun tetap terkendali. Dan kapal itu adalah diri batin kita.


Kapal batin ini perlu dibangun dengan kesadaran mengikuti perintah Ilahi. Karena di zaman ini, kita benar-benar sedang di tengah-tengah guyuran berkah yang datang bertubi-tubi dari atas, bawah, kiri, kanan, depan dan belakang. Dengan teknologi yang sangat maju dibandingkan jaman dahulu, jarak dan waktu menjadi semakin pendek. Apa yang dulu sulit kini menjadi mudah, yang lama menjadi sebentar, yang berat menjadi ringan, yang besar menjadi kecil, yang jauh menjadi dekat.  Namun seringkali manusia lupa dengan berkah itu hingga akhirnya melampaui batas. Mereka lupa dengan Pemberi berkah dan terbutakan oleh keadaan yang terang benderang. Sehingga yang mestinya mudah dibuat menjadi sulit, yang mestinys sebentar dibuat lama, yang mestinya ringan dibuat berat,  yang kecil dibuat besar, yang dekat malah dijauhkan.

Kapal batin ini mestinya merangkul semuanya. Karena kapal batin ini adalah kapal kehidupan kita. Bukan hanya manusia yang mestinya mendapatkan kemanfaatan, bangsa hewan pun juga perlu mendapatkan kemanfaaatan. Karena anjing itu bukan untuk dibunuh, babi itu bukan untuk dibunuh, sapi itu bukan untuk dibunuh, ular itu bukan untuk dibunuh. Dalam kapal Nabi Nuh, bangsa hewan pun diselamatkan sebagai wujud kasih sayang Allah kepada makhlukNya. Dalam kapal Nabi Nuh, mereka aman sentosa mensyukuri nikmat hidup yang diberikan Allah kepada mereka. Dalam kapal Nani Nuh, mereka selamat dari kebinasaan akibat air bah.

Maka jika memang ada anjing maka anjing itu adalah untuk mengikuti perintahNya. Jika memang ada babi maka babi itu adalah untuk mengikuti perintahNya. Jika memang ada ular maka ular itu adalah untuk mengikuti perintahNya. Jika memang ada gajah maka gajah itu adalah untuk mengikuti perintahNya. Bisakah kita melatih, memelihara dan menguasai binatang buas yang berada dalam kapal batin kita. Agar selamat kita sampai berlabuh di Gunung Juudi di akhir hidup kita ini.

Ketika seluruh penghuni kapal telah diterima dan disambut dengan baik dan masing-masing terlah berbekal dengan bekal takwa, maka dengan mengharap berkah keselamatan sepanjang perjalanan, berangkatlah kapal berlayar di tengah ombak setinggi gunung sekalipun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar