Rabu, 05 Februari 2014

Masalah Kepercayaan

Alam semesta ini dibangun oleh kepercayaan. Keperayaan antara Sang Pencipta dengan apa yang diciptakanNya. Dan kepercayaan adalah yang membuat alam semesta tertata dengan rapi dan teratur meski bagi sebagian orang terlihat acak (random) dan tidak teratur (chaos).  Keteraturan muncul karena ada kepercayaan; bahwa setiap makhluk bekerja mengikuti perintahNya yang disebut sunnatullah. Karena percaya itulah,  maka sumber dari segala sumber Yang Paling Terpercaya adalah Sang Pencipta, Al Mu'min. Dan hamba-hambaNya yang terpercaya disebut mukminiin.

Kenapa saya menulis masalah kepercayaan kali ini? Karena inilah pelajaran yang Gusti Allah sedang berikan kepada saya dalam tiga minggu terakhir ini.

Kisah tentang Kepercayaan
Pelajaran pertama: teman saya yang warga negara Malaysia minta tolong untuk dicarikan orang yang bisa melihat yang batin. Istrinya yang tinggal di suatu kota di Jawa Timur sedang bermasalah, dan menurutnya istrinya sedang diguna-guna orang. Ketika saya sudah mengatur agar teman saya yang tinggal satu kota dengan istrinya bisa bertemu dan mengantarkan kepada orang yang kami percaya bisa membantu, dia bertanya apakah orang yang saya maksud bisa melihat yang batin. Karena dia belum tahu orang itu, saya hanya bisa menjawab "Dengan pertolongan Allah, orang itu akan bisa melihat!"

Pelajaran kedua: teman Irlandia saya merekomendasikan saya kepada temannya yang lain yang juga tinggal di Malaysia untuk berkomunikasi dengan agen TKI di suatu kota di Jawa Barat. Wanita itu perlu baby sitter untuk bayi kembarnya. Karena dia pernah ditipu oleh seseorang yang ternyata agen ilegal, dia kini ragu-ragu. Saya berusaha menghubungi agen tersebut untuk menyampaikan maksudnya. Namun, karena saya tidak tinggal di kota yang dimaksud, saya minta teman saya yang lain untuk membantu dan jika memungkinkan bertemu langsung dengan agen tersebut. Setelah komunikasi beberapa waktu, tidak terjadi kata sepakat. Karena masih ada bagian-bagian meragukan yang dirasakan oleh wanita itu, akhirnya upaya itu terhenti di tengah jalan. Dan saya menyarankan agar dia menggunakan agen legal saja.

Pelajaran ketiga dari drama TV Prince of Lan Ling: terlalu banyak kisah kepercayaan dalam cerita yang berlatar sejarah Cina di seputar tokoh utamanya Gao Chang Gong yang hidup di era pergolakan tiga kerajaan. Tentang suami istri yang berjanji setia seumur hidupnya, tentang orang ketiga yang berusaha masuk diantara mereka dan kemudian menjadi duri dalam daging yang berujung pada kematian si suami. Tentang kepercayaan prajurit pada jenderalnya. Tentang kepercayaan orang Cina pada ramalan dan bintang (astrologi). Tentang kepercayaan dalam keluarga. Dan tentang kepercayaan pada dewa-dewa disamping kepercayaan kepada Sang Budha.

Pelajaran keempat: dari laporan yang saya terima tentang seorang pengurus yang 'sepertinya' memanfaatkan kepercayaan orang dengan menggunakan nama tokoh-tokoh tertentu untuk kepentingan pribadi. Dan saya harus memberikan saran agar tindakan itu tidak merugikan yang bersangkutan dan orang lain. Agar nama baik organisasi dan kepercayaan warga juga tidak sampai ternodai hanya karena pembiaran atas tindakan yang dilakukannya.

Ragam Kepercayaan

Ada banyak kata diberikan pada derajat kepercayaan manusia terhadap sesuatu atau seseorang. Mulai dari tidak percaya sepenuhnya sampai percaya sepenuhnya. Kita punya istilah yang berbeda-beda untuk menyatakan derajat kepercayaan kita. Dari tidak percaya, kurang percaya, ragu-ragu, skeptis, berharap percaya, agak percaya, lebih percaya, percaya penuh. Lalu ada istilah kepercayaan, terpercaya, dapat dipertanggungjawabkan (accountable),  handal (reliable), keyakinan, keimanan.

Ibarat benih pohon, kepercayaan perlu dirawat dan dipupuk
Agar berbunga dan berbuah kebenaran

Dari semua istilah itu, ada definisi karakter dan situasi untuk menjelaskan perbedaan satu kata dengan kata yang lain. Kata kepercayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia  (KBBI) diartikan:
1. Mengakui atau yakin bahwa sesuatu itu benar atau nyata
2. Menganggap atau yakin bahwa sesuatu itu benar-benar ada
3. Menganggap atau yakin bahwa seseorang itu jujur (tidak jahat dan lain sebagainya)
4. Yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang.

Sementara istilah yakin diartikan:
1. Percaya (mengerti,  tahu) sungguh-sungguh
2. (merasa) pasti (tentu, tdak salah lagi)

Dan keimanan diartikan:
1. Kepercayaan (berhubungan dengan agama), keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, rasul
2. Keteguhan hati, keteguhan batin, keseimbangan batin.

Dan kata ragu-ragu dijelaskan:
1. Keadaan tidak tetap hati (dalam mengambil keputusan); bimbang; kurang percaya
2. Sangsi; syak wasangka

Dan skeptis diartikan:
1. Kurang percaya, ragu-ragu:

Seringkali lebih mudah bagi kita untuk memahami kata-kata itu ketika sudah terangkai dalam kalimat daripada saat berdiri sendiri.

Elemen Kepercayaan

Seperti disebutkan dalam definisi di atas, ada dua hal yang menyusun suatu kepercayaan. Pertama adalah benar dan kedua adalah nyata. Sesuatu dikatakan benar ketika keadaannya saat nampak dan tersembunyi adalah sama. Sesuatu dinyatakan nyata ketika keadaannya jelas adanya baik secara kongkrit (dapat dilihat dengan mata atau diraba) maupun abstrak bagi akal dan batin kita.

Benar seringkali dikonotasikan dengan baik. Padahal yang benar belum tentu baik dan yang baik belum tentu benar. Dalam hal kepercayaan, bisa jadi satu pihak merasa benar, namun tidak diterima sebagai baik oleh pihak lain. Atau pihak yang satu merasa baik, namun tidak dibenarkan oleh pihak yang lain. Dalam situasi ini, kepercayaan akan sulit terbangun. Dan akan semakin rumit apabila ada pihak ketiga masuk diantara keduanya. Seperti dalam kasus kesalah-pahaman antara suami istri dalam pelajaran ketiga di atas. Maka benar harus diterima oleh kedua belah pihak sebagaimana adanya, meski itu 'dianggap atau dirasa' buruk saat itu. Karena itulah ada istilah kebenaran yang (berwajah) buruk (the ugly truth).


Dan nyata juga sangat penting bagi adanya kepercayaan. Apa yang tak nyata seringkali dikonotasikan palsu, tipuan dan kebohongan. Dan bagi manusia, sudah menjadi fitrah kita untuk tidak suka pada apapun yang palsu, tipuan dan kebohongan. Akan mudah menerima itu jika hanya sebagai tontonan atau hiburan. Tapi akan sangat berbeda jika sudah berhubungan dengan menjalani hidup kita. Orang bisa saja hidup dengan kebohongan dalam rentang waktu tertentu hidup mereka. Namum dalam jangka panjang, kebohongan, kepalsuan dan penipuan itu akan memberatkan akal dan hati mereka. Dan akhirnya justru mendzalimi diri sendiri.  Kita berlindung kepada Yang Maha Nyata dari segala kepalsuan hidup.

Proses Kepercayaan

Dalam kisah-kisah di atas, ada beberapa proses yang mendukung untuk kepercayaan itu bisa terjadi dan mendorong agar terlaksana langkah selanjutnya. Dan kepercayaan harus berlaku dua pihak. Tidak bisa hanya satu pihak. Ketika satu pihak percaya sedang pihak lain tidak, tak akan ada kesepahaman. Ibarat jurang yang memisahkan dua entitas yang berseberangan. Jembatan penghubung sisi yang berseberangan dan tidak pernah bertemu ujung-ujungnya itu dinamakan kepercayaan. Tidak akan bisa dibangun komunikasi apalagi pertukaran apapun diantara keduanya (baik kepentingan ekonomi, sosial, pendidikan atau aspek kehidupan lainnya) tanpa ada kepercayaan.

Tahapan proses yang mengukuhkan kepercayaan adalah:
1. Harapan
Ketika manusia menginginkan sesuatu, terbitlah harapan. Dan ada dorongan dari dalam dirinya untuk mewujudkan harapan itu. Dorongan itu kemudian memunculkan sebuah kepercayaan, entah pada sesuatu atau pada seseorang. Dan harapan itu bersifat netral. Jika manusia mengharap suatu kebaikan, maka harapan itu berisi kebaikan. Sebaliknya jika manusia mengharap suatu kejahatan - dan ini biasanya ditujukan pada orang lain, bukan secara sadar pada dirinya sendiri - maka harapan itu berisi kejahatan.


2. Interaksi
Kepercayaan tidak akan terjadi tanpa interaksi. Ketika harapan telah ada, maka untuk mewujudkan harapan itu, perlu ada interaksi antara orang yang berharap dengan yang entitas yang dianggap mampu mewujudkan harapan itu. Interaksi itu bermacam-macam, bisa dalam bentuk permintaan tolong, permohonan doa, atau penyampaian harapan itu. Karena itulah disebutkan bahwa ketika seseorang berdoa kepada Kekuatan yamg mampu memgabulkan doanya (yang disebut Tuhan), pada dasarnya dia sedang berusaha mempercayai kemampuan Tuhan dalam mewujudkan harapannya. Tanpa ada kepercayaan bagaimana akan ada pengabulan?


3. Prasangka
Kepercayaan membutuhkan prasangka baik. Ketidak-percayaan butuh prasangka buruk. Karena kepercayaan itu menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan masa depan. Untuk membangun masa depan orang butuh pondasi agar apapun yang sedang dibangunnya dalam bemtuk harapan itu dapat terwujud menjadi kenyataan dan tetap kokoh dan kekal sepanjang waktu.

Kepercayaan, perlu bertahun-tahun untuk membangunnya
dan beberapa detik saja untuk merusaknya.
4. Pembuktian
Sebuah kepercayaan tidak bisa dianggap benar dan nyata tanpa ada pembuktian. Maka dua pihak yang saling berinteraksi perlu menunjukkan dirinya benar dan nyata adanya. Pihak yang punya harapan harus menunjukkan dirinya bisa dipercaya dan pihak yang padanya harapan itu disandarkan harus juga menunjukkan dirinya bisa dipercaya. Dan masing-masing mestinya telah membuktikan diri sebagai yang dapat dipercaya agar bisa disebut terpercaya. 


Jika empat proses itu telah dipenuhi,  maka urusan apapun yang perlu terjadi antara dua pihak bisa dipastikan akan berjalan dengan baik dan benar. Jika tidak ada, jangan berharap untuk terwujudnya harapan.

Kepercayaan vs Ilmu

Ada aspek lain dari kepercayaan yang itu berhubungsn dengan ilmu. Kenapa bagian ini saya pisahkan dari elemen kepercayaan? Karena sebagian orang ada yang memilih untuk mempercayai sesuatu tanpa ilmu yang disebut dengan percaya buta (blind faith) atau dalam bahasa arab menggunakan istilah taqlid. Dan seringkali kepercayaan tanpa ilmu ini justru menimbulkan kesengsaraan dan kerugian bagi orang yang berpengharapan itu.


Dalam Alquran bahkan secara jelas diterangkan bahwa kebanyakan dari para penghuni neraka adalah orang-orang yang mengikut-ikut kepercayaan orang lain tanpa ilmu. Seperti dijelaskan pada surah Al-Baqarah 165 - 167 " Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami". Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. "

Karenanya kepercayaan yang benar haruslah didasarkan pada pengetahuan / ilmu. Karena kepercayaan itu akan menggerakkan kita untuk melakukan tindakan-tindakan hidup yang berkonsekwensi dengan masa depan kita. Dari ilmu derajat kepercayaan kita pada sesuatu bisa ditingkatkan.  Jika tadinya hanya setengah percaya atau ragu-ragu, tapi dengan pengetahuan bisa dinaikkan atau diturunkan menjadi tidak percaya atau makin percaya. Bahkan dari percaya untuk sampai pada tingkat yakin, orang butuh ilmu yang lebih tinggi dari yang sebelumnya dia miliki. Karena yakin adalah sebuah kepastian sedang percaya adalah sebuah harapan. Yakin berhubungan dengan kebenaran sedang percaya berhubungan dengan cita-cita (visi).

Dalam wacana sufistik tingkat yakin itu dibagi menjadi tiga tingkatan:
1. Ilmul yaqin (keyakinan secara ilmiah)
2. Ainal yaqin (keyakinan secara penglihatan)
3. Haqqul yaqin (keyakinan secara hakiki)




Bagaimana menjelaskan perbedaan keduanya? Cukup sederhana. Yang pertama seperti kita membaca ensiklopedia yang menerangkan tentang gula dan berbagai informasi tentangnya. Yang kedua kita melihat dengan mata kepala sendiri wujud gula itu sendiri, termasuk menyentuh atau merabanya dengan tangan kita dan membaunya. Yang ketiga kita menelannya dan merasakan secara langsung efek yang ditimbulkan dari menelan gula itu pada diri kita.

Dalam hubungannya dengan kepercayaan, tingkat keyakinan itu berpengaruh terhadap cara kita menyikapi hidup dan berinteraksi dengan apapun yang terjadi dalam hidup ini.

Membangun Kepercayaan

Meski kepercayaan butuh dua pihak yang saling dapat percaya dan dipercaya, ini bukan tentang orang lain. Membangun kepercayaan haruslah dimulai dari diri sendiri. Ini tentang bagaimana kita berinteraksi dengan diri kita, dengan Tuhan kemudian berinteraksi dengan sekeliling kita. Dan kepercayaan ini adalah integritas kita sebagai pribadi dengan apapun yang ada pada diri kita.

Sebagaimana disebutkan di atas tentang dua unsur yang menyusun kepercayaan, dua hal itulah yang perlu kita kumpulkan untuk membangun kepercayaan. Seperti kutipan Tao Te Ching:

Orang bijak percaya pada orang yang amanah (terpercaya)
Dan percaya pada orang yang tidak amanah
Karena itulah dia disebut sebagai orang yang amanah.

Orang bijak bersikap baik kepada orang yang baik
Dan bersikap baik pada orang yang tidak baik
Karena itu dia disebut sebagai orang yang baik.

Jadi bersifat terpercaya tidak bisa bersifat situasional atau pilih-pilih. Bersifat terpercaya harus menyeluruh, karena kita tidak bisa hidup dengan kepalsuan. Seluruh diri kita harus menunjukkan fungsi terpercaya itu, jika tidak ingin disebut munafik. Saya ingat dalam pelajaran agama waktu masih kecil, kita diajar tentang ciri-ciri orang munafik. Yaitu:
1. Jika berkata dusta
2. Jika berjanji tidak ditepati
3. Jika diberi amanah khianat

Sayangnya,  pelajaran itu masih bersifat teori. Karena sistem pendidikan dan sistem yang berkembang di masyarakst masih cenderung mengutamakan kepalsuan dan kemunafikan, bukan kejujuran.  Dan saya sedang tidak ingin membahas detil bentuk-bentuk kepalsuan dan kemunafikan itu. Silakan diamati dan disimpulkan sendiri!


Membangun kepercayaan yang saya maksud disini tidak sama dengan membangun kepercayaan diri (self confidence). Karena bisa jadi mereka yang memiliki ciri-ciri munafik justru memiliki kepercayaan diri yang lebih besar dibanding orang yang memiliki kepercayaan. Karena kepercayaan diri itu mereka perlukan agar bisa melaksanakan fungsi kemunafikannya. Membangun kepercayaan yang saya maksud disini adalah membangun karakter kejujuran. Orang sulit menaruh kepercayaan pada orang lain sampai orang tersebut menunjukkan sifat jujur. Dan kita tidak bisa disebut menerima kepercayaan orang, ketika kita terbukti tidak jujur. Karena kejujuran dekat dengan kebenaran. Dua hal itu adalah kekayaan yang tiada ternilai harganya bagi orang-orang yang terpercaya.

Kata jujur dalam bahasa arab adalah shiddiq. Dan shiddiq dalam pendidikan agama Islam disebut sebagai salah satu sifat wajib seorang nabi dan rasul. Disamping sifat amanah (dapat dipercaya), tabliq (menyampaikan) dan fathonah (cerdas). Dan sahabat utama Nabi Muhammad SAW adalah Abu Bakr RA yang diberi gelar Ash Shiddiq. Dan Thariqah Shiddiqiyyah adalah metode pengajaran membangun karakter berkepercayaan dan berikhsan kepada Allah yang disandarkan pada pendidikan yang diajarkan Rasulullah SAW kepada sahabat beliau Abu Bakr Ash Shiddiq RA.  Bagi murid-murid Shiddiqiyyah yang tidak mengamalkan karakter shiddiq ilmu yang diterimanya akan menjadi hujjah atas dirinya. Kita berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.

Membangun Keimanan

Ketika Sang Mursyid menyampaikan tentang iman fithroti dan iman mutasyabih,  pertanyaan yang saya simpan dalam benak saya menemukan jawaban. Dan hati saya membenarkan. Kepercayaan pada Tuhan dan apapun yang berkaitan dengan ketuhanan dinamakan iman dan keimanan.

Ada banyak jenis manusia yang percaya tentang adanya Tuhan.  Ada yang percaya (theis), ada yang tidak (atheis). Ada yang percaya dengan dewa-dewi atau Tuhan berwujud manusia sebagai bentuk lain (sekutu) Tuhan. Bagi mereka yang atheis, maka aspirasi kepercayaan mereka pada kekuatan atau daya yang memiliki kemampuan mencipta diarahkan kepada materi, alam atau ketiadaan. Pengakuan pada daya yang memiliki kemampuan mencipta itulah yang disebut iman fithroti. Dengan kata lain semua manusia sejak kelahirannya telah diberi sifat dasar untuk percaya pada Dzat yang membuat mereka dari tiada menjadi ada. Dan Alquran menegaskan tentang iman fithroti ini dalam ayat " Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS Al-'A`rāf: 172).

Dan iman fithroti itu tetap melekat pada mereka sejak memasuki dunia ini sampai kembalinya mereka kepada Sang Pencipta. Dan iman fithroti inilah yang akan menjadi hujjah bagi mereka saat kembali kepada Sang Pencipta. Karena kemudian ada iman yang lain yang membutuhkan upaya sadar bagi manusia yang telah diberi akal. Upaya sadar ini karena keistimewaan manusia di atas semua makhluk ciptaan yang lain. Kita adalah satu-satunya makhlukNya yang diberi kebebasan untuk memilih. Memilih jalan yang baik atau jalan yang buruk. Memilih jalan yang sulit atau jalan yang mudah. Memilih apapun yang kita ingin pilih.



Dan memilih merupakan fungsi akal. Ada orang memilih secara secara sadar. Ada yang memilih secara tidak sadar. Ada yang memilih dengan pengetahuan. Ada yang memilih tanpa pengetahuan. Ada yang memilih dengan sukarela. Ada yang memilih dengan terpaksa dan seterusnya.  Apapun pilihan yang dibuat manusia selalu ada konsekuensi. Dan upaya sadar manusia untuk memilih yang sesuai dengan kehendakNya adalah yang dimaksud dengan iman mutasyabih. Dan iman inilah yang perlu kita bangun pada diri kita. Dan iman inilah yang menumbuhkan keilmuan dari sisiNya.

Kenapa kita perlu membangun keimanan?

Karena di tengah semua ketidakpastian, kita butuh kepastian. Di tengah banyaknya kepalsuan, kita butuh kesejatian. Di tengah semua kekacauan, kita butuh berpegang pada prinsip. Di tengah keputusasaan, kita butuh harapan. Di tengah kegelapan, kita butuh pelita penerang. Di tengah semua kelemahan kita sebagai manusia, kita butuh pelindung yang kuat. Di tengah semua hal yang datang dan pergi dalam hidup kita, kita butuh teman yang selalu setia bersama kita selamanya. Itulah sebabnya! Sebuah tali yang tak akan pernah putus, meski melewati semua cobaan dan ujian hidup. Sebuah sumber ketenteraman dan kedamaian hidup yang hakiki disisiNya.

Maka, masalah kepercayaan adalah perkara yang tidak semestinya disikapi dengan ringan!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar