Minggu, 23 Februari 2014

Mengukur kesholihan

Baru-baru ini saya menerima komentar yang berbeda tentang diri saya dari dua teman. Berbeda dari sisi ukuran yang mereka gunakan. Berbeda karena latar belakang mereka juga berbeda. Berbeda dari sudut pandang mereka yang mereka gunakan. Berbeda, seperti perbedaan dua sisi koin.


Latar Belakang

Saya akan awali dengan menceritakan perbedaan latar belakang dua teman saya itu. Katakanlah nama teman saya yang pertama Eka dan nama teman saya yamg kedua adalah Dwi. Eka dan Dwi adalah teman satu kantor di tempat kerja saya dulu. Eka adalah muslimah yang waktu itu masih belum berjilbab dan Dwi waktu iru adalah seorang nasrani. Kini keduanya sama-sama muslimah yang sudah menikah dan mengenakan jilbab ketika keluar rumah. Eka dulunya seorang yang tomboy dan Dwi adalah seorang yang feminin dan tetap feminin setelah masuk Islam dan menikah. Sementara saya waktu itu sudah mengenakan jilbab jika keluar rumah dan cenderung berpakaian feminin jika ke kantor, maksudnya saya lebih sering mengenakan rok daripada celana panjang.

Di kantor saya lebih mereka kenal sebagai seorang yang tidak terlalu suka ngerumpi atau ngobrol panjang lebar tentang masalah pribadi atau kehidupan sosial saya. Bisa dibilang saya lebih banyak berbicara urusan pekerjaan dengan mereka. Kecuali saat tertentu, di luar kantor saya pernah berbicara dari hati ke hati dengan Dwi. Saya tidak ingat kapan itu, tapi Dwi bilang dia ingat kata-kata saya. Saat itu saya berbicara tentang Self Knowledge dengannya untuk membantu mengurai kegalauan yang dia alami. Sementara dengan Eka saya tidak pernah berbicara dari hati ke hati.

Dalam pertemuan dengan mereka beberapa tahun setelah saya keluar dari perusahaan, mereka melihat saya yang berbeda. Saya bertemu mereka saat ada kesempatan berkunjung ke kota mereka untuk urusan organisasi. Mereka tahu saya masih lajang dan sibuk dengan melakukan perjalanan untuk tugas organisasi di Shiddiqiyyah. Obrolan saya dengan Eka adalah tentang status saya yang masih lajang sementara usia sudah semakin tua. Obrolan saya dengan Dwi adalah tentang perubahan dia menjadi muslimah. Dia bercerita bagaimana dia belajar tentang kehidupan seorang muslim dari seorang teman saya. Dari teman saya itu, dia mendapatkan nomor telpon saya. Dwi juga melihat bagaimana interaksi saya dengan rekan organisasi saya yang kebanyakan adalah laki-laki. Eka terhubung dengan saya dalam jejaring sosial di facebook sedang Dwi tidak. Saya pernah singgah di rumah Dwi namun saya belum pernah singgah di rumah Eka. Mereka belum pernah berkunjung atau menginap di tempat saya sama sekali. Saya mengenal suami-suami mereka yang dahulu juga teman satu kantor saya. Keduanya kini adalah ibu rumah tangga.

Melihat foto-foto saya di facebook menurut Eka saya lebih sholihah dulu dibanding sekarang. Ini dilontarkan setelah saya beritahu kemalasan saya mengenakan dalaman jilbab (ciput) yang membuat di beberapa foto saya nampak rambut di bagian dahi mengintip keluar dari jilbab yang saya kenakan. Sementara Dwi setelah melihat interaksi saya dengan teman-teman saya maupun saat mengobrol dari hati ke hati memyampaikan bahwa kini saya secar batin jauh lebih berisi dibanding dulu saat kami masih bekerja di tempat yang sama.

Dua sudut pandang yang berbeda ini membuat saya berpikir tentang kesholihan dan ukurannya. Karena sungguh, saya melihat cara pandang mereka mewakili cara pandangan masyarakat dalam melihat dan mengukur kesholihan orang.

Arti Sholih

Apa atti sholih untuk laki-laki atau sholihah untuk perempuan?
Yang saya tahu, kata sholih atau sholeh berasal dari bahasa arab. Maka untuk memastikan arti yang sebenarnya, saya gunakan mesin mbah google dan saya dapatkan beberapa artikel. Tapi saya akan gunakan salah satunya. Berikut ini kutipan tulisan dari blog Kang Wahono tentang arti sholeh.

Istilah    صَالِحٌ ( kata sifat ) dan صَلاَحٌ ( kata benda ) dalam bahasa Arab mengandung arti sebagai berikut:

- Baik (orang, laki-laki, perempuan, anak)

- Betul (layak, pantas, tepat, sesuai)

- Beres, rapi (tidak kacau, sesuai aturan)

- Jujur, lurus
- Patuh, taat mengikuti dan menjalani aturan
- Berguna, bermanfaat
- Praktis (bisa diterapkan)

Orang disebut sholeh bila padanya terdapat sifat-sifat sholah, yakni : kebaikan, kepantasan, keteraturan, kerapian, kejujuran, kelurusan, kepatuhan, ketaatan, kemudahan, kecocokan dan kesesuaian. Semua ini pada lingkup pribadi, diri sendiri. Menurut kapasitas atau potensi, posisi atau status, fungsi atau profesi masing-masing. Sebagai anak, orang tua (ayah/ibu), suami atau istri, sebagai anggota masyarakat, warganegara, pejabat publik, sebagai karyawan, majikan, pelajar, guru, tenaga ahli atau profesional dsb.

Namun konsep “sholeh/sholehah“ ini tidak cukup berhenti di situ. Ia harus mekar, mengembang dan memancar kepada orang lain kepada lingkungan sosial di sekeliling. Inilah yang disebut: مُصْلِحٌ (kata sifat) dan إِصْلاَحْ(kata benda) yang mengandung arti:

- Memperbaiki, melakukan perbaikan,

- Menata, mengatur, merapikan, membereskan

- Membangun, membina,

- Menegakkan (hukum, aturan)
- Membetulkan, meluruskan
- Menumbuhkan, menyuburkan
- Memajukan, memakmurkan
- Membawa kebaikan dan keberuntungan
- Mempersatukan, mempertemukan (49:9)
- Mendamaikan, membuat rukun (49:10)


Firman Allah SWT yang artinya “ Aku tidak menginginkan apapun selain kebaikan “ (QS Hud 88). Seperti dinyatakan dalam QS as-SyuÝarÁ 151-152: “ Dan janganlah kamu menuruti perintah orang-orang yang melampaui batas. Yaitu mereka yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan“ Namun seperti kata Rasulullah, SAW, semua harus bermula dari diri sendiri.



Ciri-ciri Kesholihan Wanita

Kemudian saya ingat artikel-artikel di internet yang berisi tentang ciri-ciri seorang wanita sholihah. Kebanyakan artikel-artikel tersebut menyebutkan ciri-ciri kesholihan muslimah sebagai seorang (calon) istri yang didambakan seorang suami (laki-laki).

Berikut ini rangkuman ciri-ciri wanita sholihah dari beberapa artikel yang saya baca:
- taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma'ruf lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya.
- penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.
- melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
- menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya.
- Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. 
- Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah.
- Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya.
- Menundukkan pandangan (ghadhdul bashar)  kepada yang bukan mahramnya, nescaya hati dan jiwa akan semakin bening dan jernih.
- Sentiasa bersikap jujur, nescaya akan menjadi  semakin manis.
- Rasa malu yang lahir daripada Iman.
- Sentiasa beristighfar yang menghilangkan semua dosa dan kesalahan yang di lakukan.
- Sentiasa menjaga kehormatan diri dan menutup aurat.
- Sentiasa bersifat tawaduk dan membina rasa ukhwah.
- Mengelakkan fitnah untuk menjaga kesucian diri.
- Sentiasa berwuduk nescaya akan bercahaya wajahnya di hari akhirat.
- Sentiasa menimba ilmu yang bermanfaat.


Saya tidak berkata artikel itu salah, karena artikel-artikel itu merujuk pada Al Quran dan Hadist Nabi Mihammad SAW. Dari sana saya bisa melihat diri saya masih belum bisa dianggap sholihah. Karena saya belum bersuami, bergaul dengan laki-laki yang bukan muhrim, belum menundukkan pandangan, belum sepenuhnya menutup aurat dan belum senantiasa bersikap jujur, beristighfar, berwuduk apalagi menimba ilmu yang bermanfaat. Dengan kata lain saya belum sepenuhnya taat kepada Allah dan RasulNya. 

Disparitas Kesholihan

Ketika membaca definisi kata sholih tersebut dan ciri-ciri wanita sholihah, saya menyadari adanya disparitas dalam mengukur kesholihan seorang wanita. Saya melihat sepertinya ada sebuah tahapan yang terputus dalam mentransendenkan makna kata sholihah ke dalam ukuran yang digunakan Allah dan RasulNya. Dan disini saya sedang tidak bermaksud melakukan pembenaran atas keadaan saya yang belum bisa dianggap sholihah. Saya hanya akan menunjukkan fakta dalam pilihan-pilihan atas tindakan yang saya lakukan. Karena bagi saya sudah jelas lebih mudah untuk merujuk kepada makna awal dari kata sholih kemudian menyandarkannya kepada Allah dibanding dengan merujuk pada ciri-ciri yang tersebut di atas. Apalagi dengan status lajang saya.

Dalam kondisi dimana saya dituntut untuk memyampaikan kemanfaatan diri kepada masyarakat melalui organisasi, posisi saya sebagai sekretaris jenderal mengharuskan saya untuk berinteraksi dengan banyak laki-laki, karena memang jumlah pengurus yang berjenis laki-laki jauh lebih banyak dibanding dengan yang berjenis wanita. Maka tidak ada pilihan lain selain saya harus bertindak seperti dan atau sebagai laki-laki untuk memenuhi syarat sholih (baca kembali definisi di atas). Apakah itu salah? Apakah itu benar? Saya serahkan penilaian itu kepada Tuhan.

Apakah saya tidak bisa menundukkan pandangan? Bagi saya lebih baik bersikap lugas dan tegas sambil menjaga batin saya daripada membesar-besarkan kondisi saya sebagai wanita lajang dan bertindak 'kemayu' yang justru membuat orang berpikir dan bertindak negatif dan 'nakal' dengan keberadaan saya di tengah mereka. Apakah saya tidak bisa menutup aurat?  Bagi saya lebih baik berpakaian dan bersikap wajar di tengah masyarakat maupun tontonan televisi yang lebih permisif dalam hal berpakaian. Apakah saya tidak bisa tinggal di rumah dan melepas tanggung jawab organisasi yang membuat saya harus banyak berinteraksi dengan lawan jenis ? Bagi saya lebih baik bermanfaat bagi orang banyak daripada hanya bermanfaat bagi diri sendiri. Apalagi kemanfaatan itu adalah untuk mengagungkan kebenaran syiar agama Allah. Alhamdulillah, dengan berkat dan rohmat Allah sejauh ini saya dijaga dan dilindungi dari fitnah maupun hal-hal negatif yang dapat merusak kehormatan diri saya sebagai seorang muslimah.

Kesholihan lahir vs kesholihan batin

Kebanyakan orang masih mengukur kesholihan seseorang dari sisi lahiriah dibanding sisi batiniah. Mereka melihatnya dari cara pakaian, ibadah sholat, puasa, zakat maupun haji yang telah mereka lakukan. Ketika melihat wanita berpakaian tertutup, mereka berpikir wanita itu adalah wanita sholihah. Ketika melihat laki-laki bersurban atau kopiah, mengenakan gamis panjang atau bersarung, mereka berpikir laki-laki itu sholih. Ketika mereka melihat orang rajin sholat atau puasa atau pergi haji, mereka berpikir mereka orang sholih. Stereotipe ini banyak melekat di masyarakat.

Namun ketika dihadapkan pada realita bermasyarakat, seringkali ditemui hal yang berbeda. Karena ada orang-orang yang seperti itu ternyata keras dan kaku dalam menerima perbedaan. Mereka suka menghujat orang lain yang tidak sepaham dengan mereka, menganggap diri paling benar, mudah mengkafirkan orang lain, pelit dalam bersedekah dan mengumbar dalil-dalil agama untuk menghakimi orang lain. Batin mereka dikotori oleh buruk sangka yang membuat cara berpikir mereka juga ikut kotor dan kurang tepat saat menjalani kehidupan bermasyarakat yang plural seperti Indonesia ini.

Berawal dari kesholihan batin menuju kepada kesholihan lahir

Sedangkan dari awal Rasulullah SAW telah menjelaskan "Aku diutus menyempurnakan akhlak." Kesempurnaan akhlak tidak bisa dimulai dari sisi lahiriah. Ia harus dimulai dari batin yang bersih. Rukun Islam yang pertama adalah untuk kebersihan batin. Rukun Islam yang berikutnya harus dimulai dari yang pertama. Jika tidak maka semua wujud lahiriah dari pelaksanaan rukun Islam yang lain tidak akan sempurna. Dan realisasi rukun Islam yang pertama merupakan penyempurnaan akhlak. Tidak akan sempurna keikhlasan, ketawadhu'an, kesabaran, kekhusyu'an, kesyukuran dan ketaatan seorang muslim jika tidak disandarkam pada rukun Islam yang pertama. Karena itulah aspek batin harusnya lebih diperhatikan.

Ada beberapa hadist Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan pentingnya hal itu. Beberapa diantaranya adalah 
- "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk badan dan rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati mu" (HR MUSLIM).

- "Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia" [HR. Tirmidzi dan Abu Daud dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/194]

- "Sesungguhnya seorang hamba benar-benar bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan sholat dengan baik hanya dengan akhlaq yang baik" [ HR. Abu Daud (4798), Ibnu Hibban 1927, Hakim (I/60), Al-Baghawi (13/81)]

Kisah tentang Kesholihan

Suatu hari Khalifah Umar Radhiyallahu ‘Anhu diberitahu tentang seseorang yang amalan lahiriyahnya sangat mengagumkan. Ia berkata : Alangkah sholeh orang itu, wudhu’nya sempurna dan sholatnya sedemikian khusuk. Mendengar itu Umar bertanya : Apakah engkau tinggal /hidup bersama dengan dia? Orang itu menjawab : Tidak! Umar bertanya lagi: apakah engkau pernah menguji dengan harta? Orang itu berkata: Tidak pernah? Lalu berkata: betapakah engkau mengatakan sesuatu bahwa dia orang sholeh padahal engkau tidak hidup bersamanya dan bermu’amalah dengannya?

Cerita di atas mestinya menjadi pelajaran bagi kita untuk berhati-hati menilai kesholihan seseorang.

Beberapa kisah tentang kontradiksi keshalihan bisa dibaca di link berikut ini:

Kesimpulan

Memahami hal tersebut di atas, pilihan sikap saya adalah menerima penilaian mereka atas keshalihan diri saya.

Jangan pernah berhenti memperbaiki kualitas diri di hadapan Ilahi

Penilaian Eka saya terima sebagai pendorong agar terus belajar dan berusaha meningkatkan kualitas kesholihan agar lebih baik lagi khususnya dalam tata pergaulan dan menampilkan diri sebagai seorang muslimah. Penilaian Dwi saya terima agar saya terus menjaga dan meningkatkan kualitas batin dan tidak sampai terkena penyakit sum'ah (membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya), riya (ibadah untuk mencari perhatian manusia), ujub (bangga dengan diri sendiri), sombong dan apalagi takabur (merasa dirinya besar) hingga merusak amal ibadah dan lebih buruk lagi bertindak seperti Bal'am bin Ba'ura. Saya menyadari sepenuhnya bahwa hanya karena taufik dan hidayah Allah semata-lah saya bisa menjalani apapun yang harus saya jalani dalam hidup ini.

Semoga Allah menolong kita semua untuk senantiasa membersihkan dan menjaga kebersihan batin dan amal ibadah kita. Amiien Ya Robbal'alamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar