Rabu, 23 April 2014

Pentingnya Isi

Bulan lalu saya mendapat pelajaran berharga tentang pentingnya isi. Dan pelajaran ini saya terima ketika saya ditunjukkan pada ketelodoran, ketergesa-gesaan dan kebodohan saya dalam menyikapi sesuatu. Meski akhirnya semuanya bisa saya perbaiki, saya harus menerima konsekwensi dari sikap saya tersebut. Saya tidak bisa malu menjalani pelajaran ini, karena bagaimanapun saya tetap mendapatkan apa yang ingin saya tuju.





Latar Belakang

Pelajaran itu dimulai ketika saya berada di Bali bulan lalu. Diantara keputusan untuk kembali ke Jawa Tengah - ke kantor pusat tempat saya bekerja, atau kembali ke Jawa Timur - ke tempat saya mengajar di sebuah pondok pesantren. Pilihan saya condong untuk ke Jawa Timur saat itu. Karena saya punya beberapa agenda yang saya pikir harus saya kerjakan di sana sebelum terbang ke Malaysia untuk menghadiri pertemuan dengan Mr. Prem Rawat, Guru Self Knowledge saya. Satu hal yang saya sadari, pasport saya ada di kamar saya di Jawa Tengah. Disisi yang lain, saya diminta untuk mewakili perusahaan memberikan presentasi produk kepada relasi yang ada di Yogjakarta pada waktu dekat. Saya sudah menyampaikan saya bisa kapan saja setelah saya kembali dari Malaysia.

Saat itu saya memutuskan akan tinggal di Jawa Timur dan minta tolong teman saya untuk mengirim pasport saya ke rumah. Yang saya ingat nomor pasport saya adalah B363... Teman saya mencarinya di lemari kamar dan ketemu. Saya minta dia meminjami uang untuk mengirim pasport itu dan dia bersedia. Keesokan harinya pasport dikirim ke Batu.

Siang hari, saya terima telpon bahwa presentasi produk di Yogyakarta dipastikan hari rabu sebelum saya berangkat ke Malaysia. Saya tidak bisa mengelak. Pada saat yang sama saya harus membuat keputusan karena janji dan pengaturan yang telah saya buat. Akhirnya saya mengubah jadwal saya. Saya putuskan hari sabtu kembali ke Jawa Tengah untuk menyiapkan bahan presentasi. Hari rabu pagi berangkat ke Yogjakarta dan kamis pagi berangkat ke Batu untuk mengambil pasport yang sudah terlanjur dikirim. Saya tidak bisa menarik dokumen tersebut dari agen yang akan mengirimnya. Hari jumat saya harus berangkat ke Malaysia lewat Surabaya.

Saya tiba di rumah jam 7 malam setelah menempuh perjalanan darat selama haampir 10jam. Semua berjalan sesuai rencana, sampai saya membuka paket yang berisi pasport saya. Saya melihat ada guntingan di tepi pasport itu. DEG!!! Pasport ysng dikirim ternyata pasport yang sudah habis masa berlakunya. Betul nomor pasport itu B363... tapi pasport itu sudah tidak bisa digunakan. Saya lupa dengan nomor pasport terbaru saya, saat meminta teman saya untuk mengirimnya.

Saya melihat jam dinding. Saat itu sudah jam 8 malam, sedang besok paling lambat saya harus check in jam 14.20 di bandara Surabaya.  Malam itu saya kembali menelpon teman saya untuk
Kenali yang pokok dalam perjalanan
sekali lagi mencarikan pasport saya dengan memperhatikan tanggal masa berlaku, sambil berusaha mengingat tempat saya menyimpannya. Akhirnya pasport itu ditemukan. Sekali lagi saya harus meminta tolong kepadanya untuk mengirimnya. Tapi kali ini harus dikirim malam itu juga. Dan satu-satunya jalan adalah melalui sopir bis yang menuju ke arah Surabaya malam itu. Saya perkirakan bis akan tiba di Surabaya subuh. Kali ini saya minta keponakan saya yang bekerja di Surabaya untuk mengambilnya di terminal bis. Singkat cerita, pasport itu bisa dikirim ke Surabaya dan diambil keponakan saya untuk siang harinya saya terima di pintu masuk terminal keberangkatan di Juanda.

Untuk ketergesa-gesaan, ketelodoran dan kebodohan saya, saya harus membayar beberapa puluh ribu rupiah untuk ongkos pengiriman, berlelah-lelah di perjalanan antara jawa timur dan jawa tengah serta membuat teman dan keponakan saya repot jntuk mencari, mengantar dan mengambil pasport itu. Padahal, seandainya saya mengecek dsn memastikan terlebih dahulu surat, isi dan validitas dokumen yang akan dikirim itu saya dan mereka yang terlibat tidak harus melalui itu semua.

Karakteristik

Jaman sekarang kita seringkali dihadapkan pada pilihan antara mengutamakan bungkus atau isi. Mereka yang terlibat di bidang marketing sangat menyadari pentingnys hal ini. Pilihan-pilihan untuk mengutamakan yang mana menjadi agian dari strategi marketing untuk menguasai pasar. Maka akan kita temui mereka yang menjual produk mereka dengan kualitas isi dan bungkus yang buruk, ada juga yang menjual dengan kualitas isi baik dan bungkus yang buruk. Atau sebaliknya, ada yang menjual dengan isi buruk dan bungkus yang baik atau isi dan bungkus yang baik.

Masing-masing dijual dengan harga ut5yang sepantasnya. Apabila dijual di kisaran harga  yang tidak semestinya dan kita membelinya, maka kita berada dalam kategori untung atau rugi. Untung jika kita membayar lebih sedikit dari nilai yang mestinya kita bayar. Rugi jika kita membayar lebih banyak dari nilai yang mestinya kita dapatkan. Dan impas jika dalam pertukaran nilai yang kita ambil dan kita bayar sebanding.


Dan orang selalu mengutamakan isi bukan bungkus. Saya belum pernah bertemu dengan stuasi dimana orang menjual bungkus lebih mahal dari isi, bahkan meski yang dijual adalah pembungkus sekalipun seperti kotak hadiah, kertas atau plastik atau kantong pembungkus. Ini karena orang tahu, bahwa isi itulah yang mereka cari bukan bungkus /kulitnya.

Tapi ada sebuah kontradiksi menarik di masyarakat yang menuntut serba instan, termasuk yang saya lakukan. Yaitu ada isi yang bernilai lebih rendah dibanding kulit pembungkus. Pernahkah kita membeli buah-buahan? Entah jeruk, mangga, alpukat, durian, dll. Bagian mana dari buah itu yang kita sebut isi dan mana yang kita sebut kulit?

Jika kita perhatikan dari posisi dan keberadaan lapisan-lapisan yang menyusunnya maka kulit luar adalah bungkus dari daging buah (isi) dan daging buah adalah bungkus dari biji buah (isi). Namun yang sering terjadi adalah kulit dan biji mempunyai nilai lebih rendah dibanding daging buah. Buktinya, orang lebih banyak membuang kulit dan biji buah-buahan itu dibanding daging buah yang terasa lezat. Bagian itu dianggap kurang bernilai dan tidak berarti. Padahal, jika kita mau bicara kemanfaatan, biji buah itulah yang mestinya punya nilai lebih dibanding kulit maupun daging buah. Tanpa biji sebagai bibit, tak akan ada kulit apalagi daging buah. Dengan biji kita punya potenai tidak hanya 1 buah saja tapi puluhan, ratusan dan ribuan buah lain yang bisa kita nikmati seandainya biji iru kita tanam.

Tapi orang jarang berpikir sejauh itu. Mereka lebih sibuk menikmati kelezatan buah yang mereka makan, dibanding berpikir tentang hidup dan potensi hidup yang ada padanya.

Beda Isi dan Bungkus

Semua orang tahu beda antara isi dan bungkus, namun tidak semua orang bertindak sesuai dengan pengetahuan yng dimilikinya tentang beda keduanya. Karena itu, saya ingin mengingatkan kembali beda isi dan bungkus dari sudut pandang realita dan manfaat keduanya sebagai satu kesatuan. Meski kita semua tahu keduanya sama-sama punya maksud dan kemanfaatannya sendiri-sendiri.

Pada hakikatnya adanya bungkus adalah karena adanya isi, bukan sebaliknya. Karena bisa saja seseorang menjual misal barang tanpa bungkus yang sering diistilahkan dengan 'curah'. Seperti contoh di pasaran orang menyebut minyak goreng curah, gula curah, jajanan curah dan sebagainya. Dan nilai bungkus secara ekonomis lebih murah dibanding dengan nilai isi. Karena semua orang tahu yang mereka perdagangkan adalah isi bukan bungkus.

Dan letak isi biasanya tertutup oleh bungkus. Meski alam bisa juga menyajikan contoh isi yang berada di luar bungkus sebagai ketidak-laziman, seperti contoh ginkgo, pakis haji atau melinjo yang masuk kategori tumbuhan berbiji terbuka yang diistilahkan dengam gymnospermae

Nilai sebuah isi,
Tanpa bungkuspun jadi!
Karena letaknya yang berada di dalam namun bernilai, bungkus harus memilik kemampuan untuk melindungi isi. Dan kita dapati sifat bungkus biasanya lebih fleksibel dibandingkan isi. Misal, jika isi bersifat lunak dan lembut maka bungkus bersifat keras dan kaku. Jika isi bersifat cair maka bungkus bersifat padat. Jika isi bersifat mudah meledak atau terbakar, maka bungkus bersifat inert dan stabil, dan seterusnya. Pilihan atas karakteristik bungkus bertujuan untuk menjaga keselamatan seluruh alam.


Tujuan adanya isi dan bungkus jelas sangat berbeda. Tujuan isi bisa bermacam-macam tergantung pada entitas itu sendiri, sedang tujuan bungkus hanya satu yaitu melindungi isi. Bisa jadi bungkus punya fungsi lain diluar fungsi perlindungan terhadap isi. Semisal kertas pembungkus kado bisa saja punya fungsi lain untuk hiasan dinding, kerajinan tangan atau kertas menulis. Tapi itu adalah tujuan pendukung saja. Demikian juga dengan bungkus buatan alam yang diistilahkan dengan kulit.

Ketika tujuan isi telah terpenuhi, maka fungsi bungkus telah selesai. Apakah bungkus akan dibuang atau diolah menjadi sesuatu yang lain adalah terserah pemiliknya. Lebih sering orang membuang bungkus tanpa memikirkan tujuan pelengkap yang ada pada bungkus. Maka perhatikan di sekitar kita, bagaimana bungkus yang tidak diperlukan lagi dibuang dan akhirnya menjadi sampah yang mengotori pemandangan dan menimbulkan pencemaran lingkungan. Program reuse, rework dan recycle adalah upaya-upaya mereka yang berkesadaran untuk mengambil tujuan pendukung yang ada pada bungkus.

Mengisi Isi atau Mengisi Bungkus?

Sub topik ini bagi kebanyakan orang mungkin lebih berkesan filosofi dari pada sebuah realita kehidupan. Karena bagaimana sebuah isi bisa diisi? Tidakkah itu akan menimbulkan kejenuhan/kejumudan?  Dan bagaimana pula sebuah bungkus bisa diisi? Apa pengaruhnya jika keduanya tidak diisi? Atau salah satunya tidak terisi? Atau jika keduanya sama-sama terisi?

Jika berharap pada perkembangan dan pertumbuhan sebagai tanda adanya kehidupan, maka tindakan mengisi merupakan wujud ikhtiar pencapaian tujuan hidup itu. Sebaliknya tidak mengisi, membiarkan atau mengabaikannya adalah wujud ketidakpedulian (ignorance) ketidakmampuan untuk mensyukuri karunia atau hadiah yang telah diberikan. Begitu juga ketika kita salah meletakkan prioritas dan urgensi antara isi dan bungkus.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sunnatullah menunjukkan kita lebih mengutamakan isi daripada bungkus. Karena prioritas yang demikian, maka mestinya perhatian lebih perlu diberikan kepada bagaimana mengisi dengan yang tepat jika mengharapkan perkembangan dan pertumbuhan yang baik. Namun, kenyataannya di masyarakat tidak selalu berkesuaian dengan logika common sense. Berikut ini beberapa contoh kontradiksi yang berlaku di masyarakat.

"Ini termasuk karunia Tuhanku!"
~ An Naml : 40 ~

Di antara akhlak (baca: moral) dan intelijensia (baca: kepandaian akademis) mana yang lebih penting? Anda harus jujur dan berpikir sungguh-sungguh sebelum menentukan jawaban. Karena yang satu akan menjadi bungkus bagi yang lain dengan segala konsekwensinya. Ketika akhlak dibungkus dengan intelijensia maka yang muncul adalah kebijaksanaan. Jika intelijensia dibungkus dengan akhlak maka yang muncul adalah arogansi pemikiran.

Dalam salah satu hadist Nabi Muhammad SAW disebutkan kisah tentang Iblis laknatullah. Disebutkan bahwa nama iblis sebenarnya adalah Izazil, sosok malaikat yang berilmu tinggi dan dekat dengan Allah SWT. Namun, ketika perintah untuk sujud kepada Adam AS diberikan, yang dilakukan bukannya tunduk kepada perintah Allah, tapi membantah dengan memberikan argumentasi. Dan ketika argumentasi ditolak, dia bukannya mengambil sikap tunduk mengakui Maha Berilmu dan Maha Bijaksana-nya Allah SWT dan melaksanakan perintahNya untuk sujud. Demi memperturutkan argumentasinya, Izazil meminta waktu untuk membuktikan bahwa Adam dan anak keturunanya adalah memang seperti yang dia pikirkan. Dan waktu itupun diberi, namun Allah tetap Maha Memgetahui lagi Maha Bijaksana. 

Karena upaya yang sia-sia bagi dirinya Izazil dikelompokkan sebagai golongan yang berputus asa dari rahmat Allah. Berputus asa dari rahmat Allah dalam bahasa arab adalah ablasa, yang merupakan akar kata Iblis. Dalam blognya Ki Laannglang Buana menyebutkan Kata iblis berasal dari ablasa yang berarti: (1) kebaikan dan kebajikannya berkurang; (2) ia sudah melepaskan harapan atau jadi putus asa akan kasih-sayang Allah Swt. (3) telah patah semangat; (4) telah bingung dan tidak mampu melihat jalannya; dan (5) ia tertahan dari mencapai harapannya. Berdasarkan akar-katanya, arti kata iblis itu adalah suatu wujud yang sedikit sekali memiliki kebaikan tapi banyak kejahatan, dan disebabkan oleh rasa putus asa akan kasih-sayang Allah Swt. oleh sikap pembangkangannya sendiri, maka ia dibiarkan dalam kebingungan lagi pula tidak mampu melihat jalannya.

Demikianlah jika ilmu dibungkus dengan akhlak. Ketika akhlak dibuang, yang muncul adalah arogansi sikap. Na'udzubbillahi min dzalik.

Dan bagaimanakah sikap akhlak yng dibungkus ilmu? Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Sulaiman AS dalam kisah Al Quran surat An Naml (Semut):40 " Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". Hadza min fadhli Robbi adalah ungkapan sadar sebagai wujud akhlak seorang hamba kepada Rabb-nya yang mengakui bahwa ilmu itu adalah termasuk karunia Tuhan.

Esensial vs trivial

Bicara tentang isi saja, tidak semua bagian yang ada dalam isi mempunyai manfaat. Akan kita temui bahwa ada bagian tertentu yang harus dipisahkan untuk membedakan antara yang essensial (pokok) dan trivial (remeh). Yang essensial (pokok) adalah yang akan tetap ada dan memberi manfaat pada maksud yang dituju, sedangkan yang trivial (remeh) menjadi pengisi dan pelengkaap penyajian.

Penting bagi kita untuk membedakan dua hal yang ada pada isi ini. Demikian pentingnya sehingga hal tersebut diingatkan kepada manusia dalam al Quran surat Ar Ra'du (Guruh) : 17 " Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan."

Air menetap sedang buih terombamg-ambing sebelum lenyap
~ yang manakah kita? ~

Buih itu ada bersama air dan logam selama proses "hidup" yang mereka jalani. Namun buih itu tidak bersifat pokok, ia bersifat remeh. Jangan sampai kita lupa dengan adanya buih ini. Karena kesalahan dalam mengenali mana yang merupakan air/logam dan mana yang merupakan buih akan menyebabkan kesia-siaan. Waktu hidup yang tersia-siakan karena buih tidak meninggalkan kemanfaatan bagi manusia.

Mengenal isi, bungkus dan buih

Jadi yang mana kah isi, yang manakah bungkus dan manakah buih? 

Kebaikan adalah isi, amal adalah bungkus, hiburan adalah buih. 
Syukur adalah isi, sedekah adalah bungkus, kemewahan adalah buih.
Sabar adalah isi, puasa adalah bungkus, diet adalah buih.
Taqwa adalah isi, ibadah adalah bungkus, treen jilbab adalah buih.

" Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan,
kalau mereka mengetahui."
QS Al-`AnkabÅ«t :64

Isi adalah apa yang hakiki. Bungkus adalah bagaimana hakikat disajikan kepada manusia dan buih adalah hilangkan hakikat dari suatu tindakan.

Seperti contoh acara-acara televisi baik yang dikemas dalam bentuk berita maupun hiburan. Berita-berita yang disajikan lehih banyak berisi kisah kriminal, demonstrasi menuntut ini dan itu, tindakan asusila dan melawan hukum. Hiburan yang disajikan jika tidak berisi kekerasan, maka berisi lelucon dengan orang lain sebagai korban, atau penderitaan atau kemewahan yang berlebihan. Jika dipikir dan diamati lebih dalam kemanfaatan apa yaang didapat bagi para penonton? Rasa simpati kah? Mengalihkan pikiran dari realita hidup? Mencetak pribadi menjadi buih? Percayalah di akhir kehidupan kita, semua drama yang menjadi berita dan hiburan di televisi akan terlupakan demi untuk sebuah nafas agar diri ini tetap hidup.

Saya tidak berkata bahwa kita harus melepaskan semua hiburan.  Saya adalah juga penikmat hiburan dari musik, film maupun beberapa jenis permainan. Namun ada hal yang perlu kita lakukan disaat menjalani itu semua, yaitu ketersambungan batin kita dalam tafakur dan dzikir kepada Dzat yang memberi kita kemampuan untuk menikmatinya. Karena itulah isi yang perlu kita ambil. Bukan hanya berpuas diri dengan buih.

Maka carilah isi! Bukan bungkus apalagi buih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar