Senin, 12 Mei 2014

Kepemimpinan dalam Proses Pembelajaran

Saya belum tahu akan diberi judul apa tulisan ini. Hanya saja, pengalaman yang sedang saya jalani kali ini adalah seputar kepemimpinan. Mungkin inilah pelajaran yang saya terima dua tiga pekan terakhir ini. Pengalaman itu bercampur dengan aspek-aspek lain menyangkut kepedulian pada orang lain, kondisi bangsa dan pembelajaran pada generasi muda. Saya pun sebenarnya telah menulis sebuah artikel tentang kepemimpinan khususnya pada perempuan. Saya belum bisa publikasikan artikel itu disini karena saya kirim ke orang lain. Baiklah! Biarlah judul itu muncul di bagian akhir tulisan ini.

Pelajaran Hidup

Tiga pekan berlalu ada banyak pelajaran saya terima. Tentang ekonomi kerakyatan berbasis koperasi dari Prof. Dr. Sri Edi Swasono. Beliau secara sengaja kami undang untuk memberikan kuliah umum dalam Rapat Anggota Tahunann (RAT) ke-2 Koperasi Khozanah Shiddiqiyyah (KKS), dan kebetulan di koperasi itu saya sebagai salah seorang pengurus (sekretaris). Dalam perjalanan pulang ke Batu, saya merenungkan isi kuliah umum tersebut. Saya tidak tahan untuk berpikir kenapa pemimpin negeri ini bahkan juga begitu banyak orang pintar khususnya dalam bidang ekonomi tidak mampu melihat kebenaran di balik kejadian-kejadian kemanusiaan yang berhubungan dengan kesejahteraan bersama. Kenapa liberalisme yang hanya akan mengedepankan hukum rimba (survival to fit) justru dijunjung tinggi. Bahkan sesadis-sadisnya hewan, mereka masih punya batasan yang disebut dengan kenyang / cukup.

Setiap kita adalah pemimpin atas amanat yang kita terima

Di rumah Batu saya sedang menunggu hari Rabu untuk memberikan kuliah tamu. Namun senin pagi itu, saya membaca kiriman teman saya tentang lomba menulis artikel kepemimpinan perempuan. Saya tidak pernah mengirim tulisan artikel ke surat kabar atau majalah. Gaya penulisan saya adalah seperti ini, seperti menulis catatan harian. Saya pikir kenapa tidak mencobanya. Maka dua atau tiga hari selanjutnya saya sibuk dengan penulisan itu. Dan saya pikir saya akan menggunakan pokok-pokok pikiran dalam tulisan itu untuk materi seminar di acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Jam'iyyah Kautsaran Putri Haajarullah Shiddiqiyyah (JKPHS) yang rencananya akan diadakan tgl 23 Mei. Kebetulan topik yang mereka inginkan adalah tentang kepemimpinan juga. Insha Allah saya akan mengisi materi itu bersama rekan pria saya di DPP Organisasi Shiddiqiyyah.

Hari Rabu saya memberikan kuliah umum untuk mahasiswa tingkat 2 semester 4 di Universitas Ma Chung di Malang. Saya diminta untuk mewakili Organisasi Shiddiqiyyah menyampaikan langkah-langkah Ketahanan Ekonomi yang dilakukan di lingkungan Shiddiqiyyah sebagai komunitas. Tadinya saya akan menyampaikannya berdua dengan perwakilan dari Republik Telo, namun pembicara yang ditunjuk berhalangan hadir. Beruntung di satu jam terakhir, ada Mas Anto yang menggantikan dan membuat materi itu menjadi lebih mengena. Karena saya hanya berbicara satu aspek saja dan saya asumsikan para mahasiswa itu adalah orang-orang yang tidak akan punya masalah dalam hal pembauran seperti saya yang sudah terbiasa berbaur dengan etnis-etnis lain. Lagipula materi yang saya sampaikan mengikat saya untuk tidak berpikir tentang pembauran, karena bagi kami di Shiddiqiyyah membaur atau tidak bukan hal prinsip. Aspek kemanfaatan dan rahmatn lil alamin itulah yang terpenting. Nah, Mas Anto menyampaikan hal penting bagi para mahasiswa bahwa untuk bisa diterima di masyarakat, kita perlu bergaul dan memahami karakter masyarakat tersebut. Karena seperti nama universitasnya yang berbau bahasa mandarin, demikianlah mayoritas mahasiswa yang hadir di perkuliahan umum itu. Saya secara terbuka sampaikan salam hormat kepada pihak universitas melalui rekan-rekan saya di LPPM Ma Chung yang mengundang saya atas program kemasyarakatan dan pembauran yang mereka terapkan pada anak didik sejak dini. Oh ya, materi yang saya sampaikan adalah Ketahanan Ekonomi dari Sudut Pandang Sufistik. Terdengar wah, tapi sebenarnya hanya mengungkap fakta menjadi sebuah telaah.


Setelah itu saya masih beredar di sekitar Jawa Timur karena ada rapat lagi yang harus saya ikuti menyangkut penataan manajemen klinik kesehatan. Lagi-lahi permasalahan ada di seputar kepemimpinan khususnya dalam hal manajerial atau kemampuan mengelola. Saya tidak mengatakan bahwa saya lehih baik atau lebih mampu dibanding pelaksana di lapangan. Tapi paling tidak, mengacu pada apa yang biasa saya lakukan di organisasi manapun saya ditempatkan, kemampuan mengambil keputusan dalam situasi yang sulit dan bertanggung jawab penuh atas keputusan yang diambil adalah salah sayu karakter kepemimpinan yang kurang terlihat dalam permasalahan yang kami bahas saat itu. Jadilah saya mendapat juga pelajaran baru dalam dunia bisnis kesehatan.

Setelah rapat itu, saya masih harus berdiskusi lagi dengan bapak ketua umum saya mengenai persiapan Rapimnas di organisasi. Saya yang ditunjuk menjadi ketua panitia pelaksana (organizing commitee) diminta juga membuat materi rapat pimpinan yang seharusnya menjadi tugas panitia penyelenggara (steering commitee). Dengan segala hormat saya harus menolak permintaannya malam itu. Pekerjaan saya di Jawa Tengah sudah menunggu dan malam itu saya sudah berjanji untuk berangkat bersama putra dari pemilik perusahaan tempat saya bekerja. Paling tidak saya sudah menyampaikan saran dan pemikiran tentang pokok-pokok materi yang harus dimintakan persetujuan dalam Rapimnas tersebut. Hal-hal yang saya pikir penting bagi perkembangan dan kelestarian Shiddiqiyyah. Apakah itu direspon sebagaimana mestinya, saya serahkan kepada masing-masing ketua departemen dan pihak terkait khususnya tim SC untuk menyusun materi tersebut. Di belakang layar, saya akan tetap melakukan apapun yang dianggap perlu bagi susksenya acara tersebut.  Agar mereka yang datang dari jauh bisa ikut memahami dan berpartisipasi mendukung upaya melestarikan Thariqah Shiddiqiyyah dengan kapasitas mereka masing-masing. Karena tema Rapimnas kali ini adalah Bersama kita Menjaga dan Melestarikan Pohon Shiddiqiyyah di Nusantara.

Idealnya rapat pimpinan membahas potensial issues
Setelah diskusi malam itu, saya melakukan perjalanan kembali ke Jawa Tengah. Sepanjang jalan, saya hanya tidur dan kursi belakang. Saya biarkan dua anak laki-laki yang bergantian menjadi sopir itu duduk di depan dan berhenti makan di tengah perjalanan. Kami tiba di rumah sekitar pukul 4 pagi. Kamar saya yang kosong selama 1 minggu lebih, saya dapati disambangi oleh sepasang tikus yang masuk ke kamar melalui lubang-lubang ukiran di dinding pintu kamar yang terbuat dari kayu jati. Jadilah saya membersihkan dulu bekas-bekas yang mereka tinggalkan, membuka pintu dan jendela kamar untuk mengganti udara, sebelum melanjutkan tidur sebentar untuk persiapan kembali bekerja.
Pelajaran kepemimpinan lagi-lagi saya terima. Kali ini masalahnya sederhana, namun membuat saya harus berpikir ulang tentang tulisan yang saya kirimkan ke orang lain itu. Hal itu bermula dengan sebuah undangan dari Dinas Tenaga Kerja setempat. Mereka akan mengadakan pelatihan P3K bagi perusahaan di area itu dan tentu saja berharap agar ada perwakilan perusahaan yang hadir. Melihat kondisi yang ada, saya hanya berpikir logis dan lurus saja bahwa mestinya ada perwakilan perusahaan khususnya yang terlibat dengan operasional di produksi untuk hadir di pelatihan itu. Mereka akan belajar teori dan praktek selama 2 hari untuk menghadapi situasi-situasi darurat saat terjadi kecelakaan. Dan menurut saya itu penting, karena menyangkut keselamatan dan kesejahteraan banyak orang. Kalau pun kita hanya mengirim satu orang, paling tiddak diharapkan dia mampu membantu rekan-rekan kerjanya saat terjadi kecelakaan kerja. Namun, ketika undangan itu disampaikan kepada pemilik perusahaan, mereka berpikir itu tidak perlu. Mereka berpikir bahwa mereka sudah cukup bertanggung jawab dengan mengirim korban ke puskesmas terdekat dan membayar biaya perawatan. Meski pilihan mereka untuk menolak menghadiri undangan tersebut sudah kami perkirakan di muka, tapi pilihan itu membuat saya lagi-lagi berpikir tentang kepemimpinan dalam hubungannya dengan jaminan keselamatan, keamanan dan kesejahteraan yang diberikan oleh pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Hati saya sedih dengan pilihan mereka yang dangkal dan tidak empatik kepada karyawannya khususnya operator di bagian produksi yang harus menanggung resiko kecelakaan kerja lebih besar dibanding saya apalagi mereka.

Amanat dan Tanggung Jawab

Ketika akan mengawali tulisan saya mengenai kepemimpinan perempuan, saya mencari definisi kepemimpinan. Saya agak terkejut mendapati definisi yang menurut saya sangat dangkal, hanya pada aspek kemampuan mempengaruhi. Seolah-olah kepemimpinan adalah sesuatu yang harus diperebutkan seperti layaknya dalam hukum rimba. Dan membaca definisi yang seperti itu, saya semakin terdorong untuk menulis artikel tersebut :) Karena jelas definisi yang demikian itu meletakkan manusia tidak pada posisinya sebagai makhluk yang paling mulia yang ditunjuk sebagai penguasa bumi ( khalifah fil ardli ).

Pada kekuatan besar terdapat tanggung jawab besar

Definisi ulang saya tentang kepemimpinan bukanlah definisi baru. Definisi saya lebih pada merujukkan kata tersebut pada hadist Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan " setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggung-jawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggung-jawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. "

Kepemimpinan berhubungan dengan amanat. Semua yang kita terima di dunia ini adalah amanat. Tentu saja premis awal ini hanya berlaku bagi mereka yang memandang hidup sebagai karunia Ilahi yang bersifat sementara. Premis kepemimpinan ini tidak akan berlaku bagi mereka yang memandang hidup manusia tak jauh berbeda dengan hewan mamalia yang tidak punya akal dan budi pekerti. Pada hewan tidak ada konsekwensi lain atas tindakan yang mereka ambil selain bertahan hidup atau mati. Pada mereka tidak akan berlaku rasa bersalah atau berdosa. Mereka juga tidak mengenal konsep surga neraka, kebijaksanaan tindakan, gaya hidup naturalis, atau pola makan sehat. Konsep mencari dan menjadi pemimpin dilakukan dengan pertarungan menunjukkan siapa di antara para pejantan yang paling tangguh dan tidak terkalahkan.

Kondisi dan situasi ini mengingatkan saya pada ayat Quran tentang amanat, yang menyebutkan " Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, " [QS 33: 72] bahwa kedzaliman dan kebodohan manusia bukan diukur oleh ketiadaan pengetahuan, namun lebih karena pengkhianatan yang mereka lakukan atas amanat yang mereka ambil.

Membaca ayat itu sebagai kalam Ilahi, membuat saya merasa perlu berhati-hati dalam memahami kemudian mengambil pelajaran di setiap  keputusan yang saya buat. Keputusan yang dibuat baik dengan akal jernih ataupun tidak selalu membawa konsekwensi. Konsekwensi inilah yang disebut amanat. Kenapa langit, bumi, gunung tidak mau mengambil amanat itu? Karena mereka tidak melakukan mekanisme berpikir, mengambil keputusan dan menanggung resiko dari pilihan yang mereka buat. Hujan yang dicurahkan langit ke bumi tidak membawa konsekwensi apapun bagi langit. Ia tidak merasa menjadi kekurangan uap air karenanya dan tidak pula berkeinginan untuk menahan uap air di langit sampai bumi menjadi kering kerontang. Pilihan hidup  mereka telah dibuat dalam suatu formulasi baku matematis yang disebut sunnatulloh. Berbeda dengan manusia.

Membaca ini saya tidak bisa berbuat yang lain selain berusaha untuk berhati-hati sebelum menerima amanat atau menjanjikan apapun. Karena janji juga amanat bagi saya. Saya berusaha menjunjung tinggi janji saya sebagai amanat diri yang harus saya laksanakan. Ketika saya menerima amanat, pada saat itu pula saya telah memberikan janji saya kepada siapapun yang memberi saya amanat. Langkah berikutnya adalah berusaha melaksanakan dan menjaga amanat itu sebaik mungkin. Dalam seluruh proses, sejak orang menerima amanat hingga dia melepaskan diri dari amanat menunjukkan kualitas kepemimpinan orang tersebut.

Belajar Kepemimpinan

Saya tidak tahu tentang orang lain, tapi saya tahu diri saya. Saya bisa berkata bahwa saya belajar kepemimpinan dari ayah dan ibu saya. Mereka tidak berteori dan bukan orang berpendidikan tinggi yang tahu teori kepemimpinan. Tapi mereka mengajari saya dalam wujud tindakan nyata. Saya mendengarkan cerita tentang kepemimpinan ayah saya dari cerita Ibu dan kakak serta beberapa orang yang pernah bergaul dengan beliau saat menjadi bendahara masjid An Nuur yang kini menjadi landmark kota Batu. Juga saat beliau ditunjuk untuk mengatur pembagian tanah di daerah Batu kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dari Ibu saya, saya belajar kepemimpinan beliau dalam menjaga amanat atas kami putra-putrinya. Dan  itu sudah cukup bagi saya, untuk bersaksi kepada Tuhan bahwa mereka telah melaksanakan amanat mereka dengan baik.

Belajar dan ajari tanggung jawab kepemimpinan sejak dini

Bagi mereka melaksanakan amanat bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Melaksanakan peran kepemimpinan bukan untuk mewujudkan kepentingan mereka sendiri. Tapi untuk terlaksananya tata kehidupan yang baik dan benar di mata Tuhan. Jika untuk kepentingan pribadi, maka bisa saja mereka melakukan korupsi, manipulasi, memperkaya diri sendiri, mengambil keuntungan ekonomis dari setiap rupiah yang mereka dapatkan, mengabaikan amanat agar bisa disebut sebagai orang kaya, terpandang dengan segala kemewahan yang mereka usahakan agar bisa dilihat banyak orang dalam bentuk perhiasan di setiap penampilan mereka tanpa peduli dari mana sumber yang digunakan untuk mendapatkan itu semua.

Pengalaman hidup kami ttidak  mengajar kami menjadi orang yang suka perhiasan dan penampilan yang extravaganza. Sederhana, menyatu dan mengambil bagian dalam upaya kesejahteraan bersama adalah latihan kepemimpinan yang kami terima. Bagi saya pribadi, belajar Self Knowledge membantu saya untuk mengasah pola kepemimpinan yang seperti itu. Kesadaran bahwa rejeki saya sudah ditetapkan dan bersikap qonaah, membantu saya untuk meenghapus pamrih ekonomis dalam pilihan atas tindakan saya. Dan demikianlah saya belajar untuk melatih diri agar berjiwa besar. Ini mengingatkan saya pada ayat dalam Tao Te Cheng yang saya kutip di artikel saya:
59. Menahan Diri
Mengelola sebuah bangsa besar ibarat memasak ikan yang lunak
Memimpin manusia menurut sifat alaminya,

Jalan yang terbaik adalah dengan menahan diri.

Menahan diri memudahkan terjadinya kesepakatan,
Dan mudahnya kesepakatan menimbulkan hubungan yang harmonis;
Dengan cukupnya keharmonisan maka tidak akan muncul penolakan
Jika tidak muncul penolakan, maka anda menguasai hati bangsa, 
Dan jika anda menguasai hati bangsa, pengaruh anda akan bertahan lama:
Mengakar jauh ke dalam dan tegak kokoh.
Inilah cara hidup yang berpandangan jauh ke depan.


Mengelola bangsa yang besar sama pula dengan memimpin orang-orang agar berjiwa besar. Kuncinya sama, yaitu menahan diri. Jangan sampai karena ketidak-mampuan kita untuk berdiri ddi belakang layar, memberikan pengajaran yang baik dan tepat malah membuat kita menjadi penghalang bagi tumbuh kembangnya benih jiwa-jiwa besar yang kita harapkan. Kemandirian, itulah pelajaran penting yang juga saya terima dari Ibu saya.

Dan tentu saja setelah itu masih ada pelatihan dan praktek kepemimpinan yang saya jalani dari SD sampai sekarang. Di sekolah dasar saya ikut kegiatan pramuka yang dipandu oleh kakak perempuan saya di sekolah islam dekat rumah. Di sekolah menengah saya juga masih terlibat dengan pramuka bersama kakak saya dan mulai juga masuk dalam perkumpulan pemuda pemudi Nahdhatul Ulama. Lagi-lagi saya mendapat kesempatan istimewa ini karena kakak-kakak saya yang telah menjadi pengurus. Ini berlanjut sampai SMA. Ditambah kegiatan OSIS di sekolah, keorganisasian dan kepemimpinan menjadi kegiatan sehari-hari. Beberapa latihan kepemimpinan akhirnya saya ikuti, sampai masuk masa kuliah. Keterlibatan di badan eksekutif mahasiswa dan ketakmiran musholla ulil albaab mengajar saya pentingnya kaderisasi. Masuk dunia kerja, pengalaman berorganisasi banyak membantu saya melakukan tugas supervisi di departemen produksi. Toh, bekerja juga tidak menyurutkan langkah untuk kembali terlibat dengan organisasi. Kali itu saya lebih banyak terlibat di majelis taklim perusahaan dan ketakmiran masjid nurul islam di Batamindo Industrial Park, di Batam. Saat saya memutuskan akan pensiun dari dunia organisasi dan kepemimpinan, malah saya mendapat tanggung jawab yang lebih besar lagi di Organisasi Shiddiqiyyah. Di sana saya belajar lebih banyak lagi aspek organisasi dan kepemimpinan dari sudut pandang sufistik.

Perspektif Sufistik

Berorganisasi dan kepemimpinan adalah dua hal yang saling berdekatan dan berhubungan. Yang satu merupakan alat bagi yang lain. Meski begitu, banyak orang yang belajar thariqah masih juga salah paham menyikapi hal ini. Pemahaman kebanyakan orang adalah berthariqah identik dengan duduk memutar tasbih menghadap kiblat, sholat dan puasa sebanyak-banyaknya, menarik diri dari kehidupan sosial bermasyarakat dan bersiap diri menjemput kematian. Paling tidak pikiran itu pula yang semula saya ada di benak saya, ketika memutuskan untuk 'pensiun' dari organisasi.  Sampai Sang Guru mengingatkan penting hal itu.

Sungai mengukir lembah dengan mengalir di dasarnya,
Karenanya sungai disebut penguasa lembah

Berorganisasi dalam mewujudkan kemaslhatan hukumnya adalah wajib. Beliau mendasarkan fatwa tersebut pada ayat Quran ".... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." [QS 5: 3]. Jika tindakan yang bersosialisasi itu untuk kebaikan banyak orang, kenapa tidak bergabung, didukung dan dikembangkan?! Dalam hadist Nabi Muhammad juga menyebutkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Dengan dua alasan itu, saya yang berniat pensiun akhirnya menjejakkan kembali kaki dengan ketetapan niat untuk beribadah kepada Allah SWT.

Karena kerangka ibadah ini, maka ada hal lain dalam melaksanakan fungsi kepemimpinan. Yaitu tidak mengedepankan ego dan kepentingan pribadi, namun mengutamakan kepentingan bersama yang berlandaskan pada visi manunggalnya keimanan dan kemanusiaan. Peran pengurus dan pemimpin sebagai pelayan menemukan signifikansinya dalam kehidupan berorganisasi. Seorang pemimpin tidak harus berada di depan, namum juga harus bisa berada di tengah dan di belakang. Sebagaimana yang diajarkan oleh Tao berikut ini:

66. Memimpin dengan cara Mengikuti

Sungai mengukir lembah dengan mengalir di dasarnya
Karenanya sungai disebut penguasa lembah

Untuk menguasai orang,
Seseorang harus berbicara sebagai pelayan mereka;

Untuk memimpin orang,
Seseorang harus mengikuti mereka.


Maka ketika orang bijak naik di atas mereka
Mereka tidak merasa tertindas;

Dan ketika orang bijak berdiri di hadapan mereka.
Mereka tidak merasa dihalangi

Karena itu popularitas orang bijak tak pernah pudar

Harmonisasi peran antara pemimpin dan pengikut,  proses saling asah asih dan asuh adalah wujud memanusiakan manusia. Mereka bukan hanya dijadikan sebagai alat mencapai kekuasaan dengan cara mempengaruhi mereka, namun juga diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang memenuhi raison d'etre masing-masing. Dan apa alasan eksistensi kita di bumi ini dalam kaitannya dengan karakter kepemimpinan yang ada pada setiap manusia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar