Minggu, 08 Juni 2014

Meraih berkah Rajab melalui Organisasi

Masih seputar kepemimpinan. Melanjutkan topik sebelumnya. Saya akhirnya harus mengubah materi pelatihan yang saya sampaikan dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Jam'iyyah Kautsaran Putri Haajarullah Shiddiqiyyah (JKPHS). Hal itu setelah mendapat masukan dari Ketua Umum saya untuk menyampaikan materi yang merujuk pada sholat berjamaah. Setelah mencari beberapa artikel dan merefleksikan pengalaman pribadi saya dalam berorganisasi, saya buat format PowerPoint. Uji coba presentasi saya sampaikan saat saya diminta mengisi kelas manajemen dan keguruan yang waktu itu pengajarnya berhalangan hadir. Jadilah materi itu sebagai motivasi kepemimpinan.

Latar belakang

Saya sampai pada kesimpulan seperti judul artikel ini setelah menelaah lebih dalam pelajaran yang disampaikan oleh Sang Guru.

Rasulullah SAW mengajari ummat Islam doa khusus yang dibaca ketika memasuki bulan Rajab, yaitu 'Allohumma bariklana fii rojabin wa sya'bana wa ballighna romadhona.'. Yang artinya Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan. Kenapa dari sekian banyak bulan Beliau mengutamakan tiga bulan ini, banyak tulisan telah menyebutkan keutamaan itu. Saya ingin melihatnya dari sudut pandang yang lain.


Rajab menjadi bulan istimewa bagi ummat Islam, karena di dalamnya ada peristiwa Isra Mi'raj. Bagi kita, murid Thariqah Shiddiqiyyah, Rajab menjadi bulan istimewa karena dari peristiwa itulah istilah shiddiq menjadi awal mula keberadaan Shiddiqiyyah. Karena peristiwa itulah yang menjadi sebab musabab Abu Bakr ra mendapat gelar Ash Shiddiq. Kepercayaan dan keimanannya yang teguh dan kuat mampu mengalahkan logika akal yang menjadi dasar kepercayaan akan peristiwa supra natural yang dialami Beliau Rasulullah Muhammad SAW.

Salah satu berita dan 'oleh-oleh' dari peristiwa Isra Mi'roj itu adalah ketetapan kewajiban sholat lima waktu sebagai wujud keimanan. Dan dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, sholat mempunyai keitamaan 27 kali lipat ketika dilakukan secara berjamaah (al Hadist). Maka ketika Sang Guru dalam satu kesempatan menyampaikan kekaguman Beliau kepada gaya kepemimpinan Umar bin Khattab ra yang dalam masa pemerintahannya yang singkat, kurang dari 3 tahun, mampu meletakkan sendi-sendi pemerintahan yang demokratis menggunakan prinsip sholat berjamaah, saya berusaha membaca dan mengambil hikmah dari rangkaian peristiwa tersebut, selanjutnya merefleksikannya pada diri saya, sebagai pengurus organisasi di lingkungan Shiddiqiyyah agar bisa menjadi hamba yang bersyukur.

Syukur alhamdulillahirobbil'alamiin, selain dberi kesempatan agar bisa meraih berkah bulan Rajab melalui sholat lima waktu, kita juga diberi kesempatan untuk meraihnya melalui peran di organisasi khususnya di lingkungan Shiddiqiyyah, dimana seluruh organisasi yang ada mempunyai visi yang sama yaitu manunggalnya keimanan dan kemanusiaan.

Membangun Jamaah

Sholat berjamaah merupakan kumpulan orang dari berbagai latar belakang. Ada laki-laki, perempuan dan juga ada waria (wanita pria). Ada yang pandai, biasa saja dan ada yang bodoh. Ada yang tua, dewasa, remaja bahkan anak-anak. Ada yang sempurna fisiknya, ada yang cacat dan ada yang sakit. Ada yang di depan, di tengah dan ada yang di belakang. Ada yang kaya, menengah dan ada yang miskin. Semua orang yang ikut dalam jamaah itu menjadi bagian penting dengan nama peran berbeda-beda dinamakan imam, muadzin dan makmum.


Karena saat sholat masing-masing (mestinya) sedang menghadap pada Allah Ta'ala, maka masing-masing berusaha melaksanakan perannya dengan tidak saling mengganggu. Dengan harapan, harmonisasi jiwa-jiwa yang berjamaah dalam sholat itu mampu menghasilkan kekuatan ruhani yang mengubah; tidak hanya pribadi yang ikut dalam jamaah sholat namun juga lingkungan sekitarnya dengan limpahan energi positif sebagai perwujudan rohmatan lil alamiin. Masing-masing berusaha khusyu' dalam sholatnya, mengharap bertemu Allah dalam sholatnya. Bagi yang tidak / belum punya ilmunya, mereka akan berusaha belajar dulu sebelumnya. Jika tidak, mereka akan sebentar-sebentar melirik untuk meniru gerakan temannya. Beginilah kita memulai pelajaran kita dalam berorganisasi. Kita ikuti gerak imam dan menyimak bacaannya. Demikianlah pemimpin memberi contoh dan keteladanan.

Di malam hari suara bacaan surah pada sholat berjamaah dikeraskan dan di siang hari dibaca pelan. Prinsip yang tersembunyi di dalam mode suara ini adalah kejelasan komunikasi. Agar seluruh makmum bisa mengetahui secara jelas gerak imam untuk menuju pada kesempurnaan jamaah dan keseragaman pemikiran (baca: visi dan misi organisasi).

Tata pergantian imam saat sholat juga dilakukan atas dasar kesadaran diri karena tahu dirinya batal. Itupun dilakukan tanpa mengubah dan merusak kekhusyu'an sholat berjamaah. Pergantian disikapi secara wajar, karena jabatan adalah amanah dan masa perjuangan lebih panjang dibanding usia seseorang.

Pun saat imam melakukan kesalahan, peringatan dilakukan dengan menggunakan kalimat toyyibah bukan kalimat sayyiat; yaitu Subhanalloh atau dengan menepuk punggung tangan bagi perempuan.  Artinya cara menegur dalam suatu organisasi harus jelas dasar hukumnya, tidak bisa hanya karena alasan ketidakcocokan pribadi. Peringatan diberikan karena melanggar aturan yang menjadi rukun sholat (pada organisasi adalah AD/ART). 

Kalimat toyyibah yang digunakan menunjukkan bahwa cara penyampaian teguran haruslah juga dengan cara yang santun. Dan ketika mendengarkan teguran yg demikian, imam mestinya sadar diri dan mengoreksi dirinya bukannya membantah apalagi menolak peringatan / membangkang dengan memunculkan argumentasinya sendiri. Karena dalam teguran itu yang dituju bukan personal imam atau karena kepentingan pribadi mereka yang menegur namun keridhoan Allah atas jamaah.

Posisi Kepemimpinan

Dalam sholat berjamaah, posisi imam selalu berada di depan. Posisi ini menunjukkan keberadaan seorang pemimpin sebagai teladan (ing ngarso sung tulodho). Namun pada saat yang sama Rasulullah SAW memberikan contoh sebagaimana disebutkan dalam hadist bahwa ketika Beliau memimpin sholat jamaah dan mendengar suara tangis bayi, maka Beliau segera mempercepat sholat. Dan ketika Beliau ditanya kenapa, Beliau memberikan alasan karena Beliau merasakan kekhawatiran si ibu yang menjadi makmum di belakang atas anaknya.

Komunikasi imbal balik menjadi ciri khas
Kepemimpinan empatk
Sikap memperhatikan dan bertenggang rasa ini, Beliau contohkan dalam memerankan fungsi kepemimpinan di tengah (ing madyo mangun karso). Kalau hanya mementingkan diri sendiri hanya karena berada di posisi terdepan tanpa memperhatikan mereka yang berada di belakangnya, cepat atau lambat pemimpin akan ditinggal oleh makmumnya karena merasa kepentingannya tidak diperhatikan. Beliau SAW memposisikan diri di tengah dengan sikap empatik atas kondisi makmum untuk membangun semangat mereka agar tetap menegakkan sholat dan menegakkan hidup berjamaah.

Pada kesempatan yang lain, ketika Rasulullah SAW dalam kondisi sakit, Beliau menunjuk Sahabat Abu Bakr Ash Shiddiq RA untuk memimpin sholat berjamaah dan Beliau mengikuti dengan sholat sambil duduk disamping imam. Abu Bakr Ra memimpin sholat dengan rasa sungkan karena penghormatan yang luar biasa kepada Rasulullah SAW namun pada saat yang sama bersikap sami'na wa atho'na. Teladan ini dicontohkan Beliau SAW dalam memerankan fungsi kepemimpinan di belakang (tut wuri handayani) memberi dorongan. Beliau memberi dorongan akan keutamaan sholat dan keutamaan berjamaah.

Kepemimpinan dalam Pelayanan

Kebanyakan teori kepemimpinan modern yang berasal dari Barat menekankan pada kemampuan mempengaruhi orang lain, saya harus menyatakan ketidak-setujuan saya. Karena menurut saya, teori tersebut bertentangan dengan hadist Nabi yang menyatakan "...setiap kamu adalah pemimpin." Mengacu pada hadist tersebut, kepemimpinan diukur dari kemampuan menjaga amanat.

Siklus inovasi kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan
Sumber: jonrwallace.blogspot.com

Di lingkungan Shiddiqiyyah, pengurus-pengurus organisasi merupakan pelayan kemanusiaan. Dalam berorganisasi diperlukan kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan. Ibadah kepada Allah Ta'ala dengan cara melayani manusia. Maka pertimbangan dasar adalah kebaikan jamaah bukan kebaikan kelompok / diri sendiri, kemanfaatan jamaah bukan kemanfaatan kelompok, memudahkan jamaah bukan mempersulit, menggembirakan bukan menyusahkan, meringankan beban bukan memberatkan, bekerja sama (teamwork) bukan sendiri (individu) apalagi kelompok (grup).

Menimbang kepentingan orang lain (altruisme) dalam setiap keputusan yang diambil seorang pemimpin butuh keterlibatan dalam pelaksanaan layanan-layanan yang diberikan untuk menuju pada kesempurnaan melalui inovasi. Tidak hanya itu, menjaga hubungan baik (silaturahmi) adalah sangat penting untuk diperhatikan demi keutuhan dan lestarinya jamaah.

Sebagai organisasi yang berjiwa tasawuf, sudah semestinya seluruh pengurus organisasi di lingkungan Thariqah Shiddiqiyyah memahami dan menerapkan peran kepemimpinan tersebut secara bijaksana. Jangan sampai malah merusak tatanan organisasi yang dipimpinnya karena kesalahan dalam mengambil kebijaksanaan atau tindakan.

Jiwa Sholat dan Jamaah

Jika ruh yang dituju, sholat tidak bisa menjadi sekedar gerak tubuh untuk memenuhi kewajiban. Demikian juga berjamaah tidak bisa dilihat sebagai sebuah kesatuan gerak dari berbagai unsur penyusunnya. Sebagaimana Jalaluddin Rumi sebutkan dalam bukunya Fihi ma fihi  jiwa sholat itu lebih penting daripada sholat. Jiwa sholat diawali dari keimanan dan diakhiri dengan keikhsanan kepada Allah Ta'ala. Ruh jamaah diawali dari kepercayaan dan diakhiri pada pelayanan.

Maka kepercayaan adalah yang harus kita junjung tinggi dalam menjalankan amanat organisasi. Pemimpin yang dapat dipercaya, pemimpin yang amanat. Pemimpin yang menunjukkan akuntabilitasnya akan mendorong pengikutnya (baca: warga) menaruh kepercayaan pada organisasi yang dipimpinnya. Demikian pula sebaliknya. Selanjutnya semakin meningkat kualitas keimanan pemimpin menuju pada keikhsanan, maka wujud penghambaannya kepada Allah Ta'ala akan dilakukan dengan upaya meningkatkan pelayanannya kepada sesama manusia. Dan organisasi adalah sarana yang paling tepat untuk mengaktualisasikan diri menjadi pelayan kemanusiaan.


Berkah tersembunyi

Banyak berkah tersembunyi dalam organisasi. Sebagian hanya melihat pada aspek fisik dan kasat mata yang harus dijalani dalam melaksanakan tanggung jawab organisasi, ongkos perjuangan yang harus ditanggung, waktu yang harus dikorbankan, tenaga dan kucuran keringat yang harus dikeluarkan, lelah dan amarah yang harus dirasakan. Padahal dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Dibalik kesusahan itu ada berkah yang melimpah.

Dengan berorganisasi, potensi yang terpendam dalam diri manusia sebagai khalifah fil ardli dimunculkan. Potensi untuk mengelola bumi dengan bijaksana melalui hubungan kemanusiaan. Kemuliaan manusia atas makhluk yang lain diuji dan ditunjukkan melalui kemampuan berorganisasi. Potensi yang jika terus diasah akan menjadi karakter yang mendarah daging. Potensi yang jika terus dilatih melalui aktifitas berorganisasi akan menunjukkan kemuliaan akhlak manusia, sebagaimana Rasul SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sikap tawadhu tidak akan bisa teruji dan dibuktikan tanpa berinteraksi dengan orang lain. Demikian pula sikap sabar, syukur, qonaah, ikhlas, dan akhlak-akhlak mulia lainnya.

Maka dalam berorganisasi khususnya di lingkungan Thoriqoh Shiddiqiyyah jika ditemui persinggungan, gesekan, amarah, keras kepala, mau menang sendiri, sulit diatur, sok pintar, bodoh, kasar, bakhil, malas dan lain-lain utamanya saat melihat orang lain, sesungguhnya kita justru harus menengok ke dalam diri kita masing-masing. Karena bisa jadi, itu adalah cerminan bathin kita. Kita belajar dari situasi itu untuk mendorong diri kita menjadi pribadi yang lebih baik dan menyenangkan hati.

Jika orang mengelilingi kita hanya karena kekayaan kita, sesungguhnya kita perlu hati-hati. Bisa jadi yang membuat kita diakui sebagai pemimpin sebenarnya bukan diri kita, tapi kekayaan kita. Jika orang mengikuti kita karena jabatan kita namun di balik itu ada ketidak-puasan atas gaya kepemimpinan yang kita tunjukkan, kita perlu introspeksi. Bisa jadi bukan kita yang memimpin, tapi posisi kita. Kepemimpinan dalam sholat menggunakan asas keikhlasan. Dalam berjamaah khususnya di organisasi yang bersifat tasawuf, keikhlasan itu harus diuji dan dibuktikan. Organisasi-organisasi di lingkungan Shiddiqiyyah, jika ingin mewujudkan upaya melestarikan Shiddiqiyyah, tidak sepatutnya menjadikan dan mengutamakan ikatan materi sebagai penopangnya. Harusnya menggunakan ikatan ruhani yaitu keikhlasan. Karena ikhlas itulah yang akan mendekatkan kita kepada Allahu Ahad. 

Wallohu'alam bis showab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar