Senin, 30 Juni 2014

Kampanye pilpres dalam perspektif tasawuf

Satu atau dua bulan terakhir ini, negeri ini sedang diramaikan oleh kampanye pemilihan presiden masa bakti 2014-2019 yang akan digelar pemilu-nya pada tanggal 9 juli nanti. Saya merasa perlu menuliskan sudut pandang saya sebagai pembelajaran dari Gusti Allah. Apalagi belakangan saya juga sedang kembali tertarik dengan kisah Mahabharata yang serialnya sedang tayang di ANTV.


Calon presiden kali ini hanya 2 saja; yang nomor urut pertama dari kalangan militer yaitu Bpk. Prabowo Subianto yang setelah berhenti dari karir militernya sekarang menjadi pengusaha dan yang nomor urut kedua adalah dari kalangan sipil pengusaha yaitu Bpk. Joko Widodo yang setelah menjabat jadi Bupati Solo sekarang sedang cuti kampanye dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.


Kebanggaan atas pribadi

Bagi saya masing-masing capres tersebut adalah orang yang baik dan pemimpin yang baik. Saya ingat kesan saya tentang Pak Prabowo setelah dihentikan dari karir militernya kemudian diminta menjadi konsultan militer di Yordania. Saat membaca artikel itu saya merasa bangga juga sedih, karena seringkali pemerintah negeri ini 'kurang menghargai' putra-putra bangsa yang mempunyai nilai lebih di bidang mereka masing-masing. Dan kurangnya penghargaan itu kemudian menyebabkan mereka pergi ke luar negeri dan  membangun hidupnya di tempat yang baru. Maka ketika Pak Prabowo kembali ke Indonesia dan mencalonkan diri menjadi wakil presiden bersama Ibu Megawati di pemilu 2009, ada harapan baginya untuk mengabdikan diri bagi negeri ini. Namun bersaing dengan putra-putra terbaik bangsa dalam pemilu waktu itu, menunjukkan orang masih lebih banyak memilih Pak SBY untuk memegang tampuk jabatan untuk kedua kalinya.

Pada Pak Jokowi, saya juga merasakan kebanggaan. Dan itu dimulai ketika namanya mulai dikenal di tingkat nasional karena keberaniannya untuk berseberangan dengan Gubernur Jawa Tengah waktu itu, Bpk Bibit Waluyo dalam membela kepentingan rakyat kecil di wilayah kerjanya - Kota Solo dari gilasan perekonomian kapitalis yang dikemas dalam bentuk rencana pembangunan mall. Kebanggaan itu juga muncul karena gaya kepemimpinannya, untuk turun dan berinteraksi dengan masyarakat mencari penyelesaian bersama atas permasalahan yang ada. Jika kalian perhatikan artikel kepemimpinan yang saya tulis sebelumnya, saya yakin anda akan memahami persetujuan saya akan gaya kepemimpinan tersebut.

Gaya kepemimpinan militer vs sipil

Membandingkan kedua calon prediden berdasarkan gaya kepemimpinan mereka, tentu juga sulit. Karena latar belakang karir yang mereka lalui berbeda. Dunia militer yang bersifat komando dari atasan kepada bawahan menempatkan Pak Prabowo berada pada posisi sulit terutama ketika dikaitkan dengan isu pelanggaran HAM. Dan saya pikir, kode etik seorang prajurit untuk menjunjung tinggi keselamatan bangsa dan negara telah berusaha dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh Pak Prabowo. Bahwa kemudian DKP mengeluarkan surat pemberhentian atas dirinya, bisa saja orang menafsiri macam-macam. Katakan saya percaya dengan logika berpikir para pendukung Pak Prabowo bahwa pemberhentian itu adalah sebagaimana adanya, dan kita tidak perlu menfokuskan diri kesana, saya bisa menerima alasan itu. Saya cuma butuh satu alasan untuk menerima argumentasi itu, yaitu sistem komando dalam militer membuat perilaku kepemimpinan Pak Prabowo kurang bisa terekspos dengan baik. Kita mungkin bisa membandingkan gaya kepemimpinannya dengan Pak Jokowi setelah terjun di dunia bisnis.


Mari kita sekarang melihat gaya kepemimpinan Pak Jokowi sebagai kepala daerah baik saat menjadi walikota Solo maupun gubernur DKI Jakarta. Pada diri Pak Jokowi, gaya kepemimpinan yang digunakan adalah gaya kepemimpinan warga sipil yang cenderung merakyat dan terbuka untuk sebuah perbedaan / kritikan dan penolakan. Dan selama menjadi kepala daerah Pak Jokowi telah menunjukkan prestasi kerja yang bagus dengan berbagai penghargaan yang diterima kota Solo selama dirinya menjabat.

Bicara soal prestasi sesuai karir yang mempengaruhi gaya kepemimpinan kedua tokoh tersebut, mereka berdua sama-sama orang yang berprestasi dengan pengakuan atas prestasi Pak Jokowi lebih banyak dibanding dengan Pak Prabowo. Bagian inilah, apabila saya membuka lowongan kerja untuk sebuah jabatan penting, akan menjadi poin yang mestinya menjadi pertimbangan penting sebelum membuat keputusan. Di sebuah negara demokratis, pilpres memang bisa saja subyektif. Namun, saya harus bisa membuat keputusan yang bersifat objektif.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah pengalaman. Karena kedua tokoh ini belum pernah menjabat sebagai presiden,  maka pengalaman yang perlu dibandingkan adalah pengalaman dalam tata kelola pemerintahan. Disini Pak Jokowi punya nilai plus dibandingkan dengan Pak Prabowo. Pak Jokowi telah menunjukkan dan mendapatkan pengakuan atas kemampuannya sebagai kepala daerah, sedang Pak Prabowo belum pernah memimpin suatu pemerintahan sipil, yang tentunya sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan ala militer atau ala pengusaha. Saya tahu alasan ini bisa diserang oleh para pendukung Pak Prabowo dan dianggap tidak penting. Tidak mengapa! Kembali saya garis bawahi, saya sedang menimbang untuk menyerahkan jabatan penting kepresidenan kepada salah satu dari dua kandidat yang ada.


Perspektif Black Campaign

Lepas dari semua black campaign yang dilakukan oleh masing-masing kubu, saya menemukan kebaikan-kebaikan di setiap sisi negatif yang dimunculkan oleh lawan. Semakin banyak black campaign yang dilakukan atas lawan politiknya, semakin terlihat jelas sisi baik dari lawan yang dijelek-jelekkan. Sebagai orang tasawuf saya melihat upaya menutupi kebenaran itu seperti tindakan penyihir menutupi sinar matahari yang terang benderang. Hanya yang hati nuraninya tertutup sajalah yamg akan menerima dan membenarkan bahwa ya, matahari sedang tidak bersinar. Namun,  bagi mereka yang tidak tertipu akan berkata,  tidak matahari masih terus bersinar namun tindakanmu telah menghalangi sebagian orang dari melihat terangnya sinar matahari.

Mungkin black campaign berhasil membawa beberapa presiden di Amerika Serikat ke tampuk pimpinan tertinggi dengam cara menjatuhkan lawan politiknya. Tapi di negara yang didirikan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa ini dengan mayoritas penduduk beragama Islam, hal itu sangat tidak pantas dilakukan. Keyakinan kita sebagai orang beragama terusik dan nurani kita tidak rela ambisi jabatan yang bersamanya melekat tanggung jawab kekuasaan untuk mengayomi rakyat  dan pengelolaan harta kekayaan negara untuk kesejahteraan rakyat harus diberikan kepada orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Demi Allah tak akan berkah dan selamat siapapun yang menggunakan cara keji itu, apalagi negara yang dipimpinnya. Bahkan Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan kita untuk tidak pernah memberikan jabatan kepada orang yang mengejar dan menuntut jabatan.

Betul secara mekanisme tata negara, seorang presiden harus mendaftarkan dirinya sebagai calon presiden. Dari sini kita bisa melihat bahwa keduanya mungkin sama-sama menginginkan jabatan itu. Namun, mari kita perhatikan lebih jauh lagi motif yang mendorong masing-masing untuk sampai kesana. Prabowo sejak dari tahun 2009-2014 telah berusaha menduduki kursi kepresidenan berpasangan dengan Ibu Megawati sebagai calon wakil presiden. Ketika gagal, terus memupuk harapan sebagai satu-satunya calon presiden yang diusung partai yang dibentuknya yaitu Gerindra. Sementara Jokowi tidak pernah kepada publik mengutarakan ambisi pribadinya maupun upaya memupuk harapan menjadi RI1. Bahkan dalam wawancara saat dirinya baru menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, menolak memberi komentar ketika ditanya tentang kemungkinan menuju RI1. Sampai kemudian PDIP yang diketuai oleh Megawati mengusung dirinya sebagai calon presiden. Dari sini bisa dilihat siapa yang berambisi dan siapa yang tidak.

Namun toh, orang masih melihat celah kelemahan dalam mekanisme yang seperti itu. Dia dianggap sebagai capres boneka. Orang tidak melihat prestasi kerjanya, namun melihat siapa dan partai apa yang mengusungnya. Orang tidak melihat itu sebagai upaya promosi menurut persetujuan rakyat tapi  orang melihatnya sebagai orang yang menyalahi janji. Orang tidak melihat sisi tawadzu'nya namun melihatnya sebagai pribadi yang tidak tegas. Orang tidak melihat bersihnya tangan dari tindak kekerasan, namun melihatnya sebagai sosok yang ndeso. Orang tidak melihat kepedulian dan kebersamaannya pada rakyat, namun melihatnya sebagai upaya pencitraan.

Pihak Prabowo mungkin berpikir juga mendapat bagian dari black campaign, khususnya menyangkut keterlibatan Prabowo dalam pelanggaran HAM 1998. Seperti saya sebutkan di atas, bagian itu telah saya tolak. Sementara kenyataannya kampanye hitam justru terjadi secara masif kepada Jokowi sebagai pribadi. Preferensi dan kampaye hitam telah membolak-balikkan kejernihan nalar dan hati nurani sebagian rakyat Indonesia dalam mengambil keputusan penting yang akan menentukan arah bangsa ini lima tahun ke depan.


Restu Sang Guru

Dua hari yang lalu tgl 29 Juni 2014, kabar nasional memyampaikan bahwa Jokowi ke Pesantren Majmaal Bahrain Shiddiqiyyah di Losari - Ploso, Jombang dan bertemu langsung dengan Bapak Kyai Moch. Muchtar Mu'thi - pimpinan Pesantren sekaligus Mursyid Thoriqoh Shiddiqiyyah. Foto-foto pertemuan itu beredar dengan cepat di dinding facebook teman-teman saya. Dan tentu saja menjadi perbincangan hangat, khususnya teman-teman dari Shiddiqiyyah yang mendukung Probowo sebagai RI1. Bagi saya pribadi, terus terang saya turut senang dengan kejadian ini. Karena paling tidak saya tahu justifikasi saya sebelum menentukan pilihan mendapat dukungan dan mana yang akan menang di hadapan Sang Kebenaran.

Selain itu ada yang menarik dan perlu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang belajar tasawuf menyangkut sebuah pilihan. Jika sebelumnya saya telah mengalami dalam lingkup pribadi saya sendiri. Maka kini seluruh warga dan bangsa akan melihat perwujudan pelajaran tasawuf dalam lingkup yang lebih luas. Dan ini mengingatkan saya pada potongan kisah Mahabharata yang saya baca baru-baru ini. Bagian ini akan saya tulis di bagian yang lain.

Bagi seorang murid tasawuf, restu Sang Guru adalah penting. Karena restu itulah yang akan menjadi peneguh hatinya dalam menapaki jalan hidup yang akan dia lalui. Sulitnya jalan hidup itu akan menjadi ringan di pikiran dan hati sang murid, karena keyakinannya bahwa restu Sang Guru menjadi penguat yang meneguhkan batinnya saat menghadapi kesulitan dan kegagalan di tengah jalan. Gusti Allah ada, justru karena itulah restu Sang Guru penting. Restu Sang Guru juga menunjukkan keberpihakan. Karena Sang Guru adalah seorang yang secara ruhani dekat dengan Allah yang Maha Benar, maka restu Sang Guru dipercaya sebagai sabda pandito ratu, seorang yang doanya diijabah dan kebenarannya akan dan pasti terjadi.


Maka bertemunya Jokowi dengan Sang Guru menjadi sebuah tanda kemenangan bagi orang-orang yang mengerti. Dan saya bersyukur. Saya senang. Bukan karena pilihan saya didukung. Tapi karena harapan untuk Indonesia yang lebih baik, yang lebih berkeadilan sosial bagi rakyatnya semakin dekat. Karena presiden yang tumbuh bersama rakyat, datang dari rakyat dan mendengarkan suara rakyat adalah presiden yang bisa melayani rakyat. Bukan presiden yang tinggal dalam lingkungan istana dengan segala kemudahannya dan hanya mendengarkan suara rakyatnya dari balik dinding istana melalui orang-oramg yang entah nomor ke berapa dan berapa penghilangan pesan di sana sini. Bukan presiden yamg tinggal di atas menara gading.

Kalian mungkin mempertanyakan keyakinan saya ini. Bagaimana bisa demikian? Itu bisa dipahami. Tapi marilah kita perhatikan dan saksikan bersama. Bagaimana pun ini adalah alam musyahadah, jadi sudah sepantasnya yang Maha Wujud dipersaksikan. Tapi ijinkan saya menyampaikan sebuah cerita yang saya baca di buku Opening The Dragon Gate.

Diceritakan bahwa saat Wang Liping mengembara di China bersama guru-gurunya, mereka bertemu salah seorang Immortalist Tao. Dalam obrolannya tentang kondisi Cina masa itu, beliau menceritakan pertemuan yang dialaminya dengan dua tokoh yang kelak akan menjadi pemimpin di daratan Cina. Masing-masing menanyakan tentang situasi yang mereka hadapi dan meminta petunjuk apa yang mesti dilakukan. Tokoh pertama yang bertemu dengannya kelak menjadi pemimpin di Republik Rakyat China dan tokoh kedua yang bertemu dengannya tak lama setelah yang pertama pergi kelak menjadi pemimpin di Taiwan. Masing-masing pulang dengan membawa kesan mereka. Mereka memang bukan muridnya. Tapi Masing-masing mengambil dan mendapatkan yang menjadi hak mereka dalam hal kepemimpinan.

Kutipan Kisah Mahabharata

Saya perlu menggarisbawahi dulu bahwa ketika saya menggunakan kisah ini bukan berarti saya anggap Prabowo orang jahat. SAMA SEKALI TIDAK. Ini penting dipahami. Karena sudut pandang saya ketika membaca kisah Mahabharata adalah menggunakan pendekatan yamg diajarkan oleh guru Knowledge saya, yaitu kisah Mahabharata adalah kisah hidup kita. Kisah pertentangan antara keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa adalah kisah pertentangan batin yang sedang terjadi dalam diri saya sendiri sebagai satu tubuh. Seperti kegundahan untuk menentukan pilihan yang harus dibuat oleh rakyat Indonesia dalam memilih antara Jokowi dan Prabowo sebagai putra terbaik bangsa Indonesia.

Dikisahkan pada bab 34 bahwa ketika mendengar Arjuna sedang mencari dukungan mewakili keluarga Pandawa kepada Khrisna menjelang perang Bharatayuda, Duryodana tidak rela. Maka dia bergegas untuk juga menemui Khrisna. Keduanya tiba di istana Dwaraka pada saat yang sama. Namun mereka mendapati Khrisna sedang tidur. Karena Duryodana masuk lebih dahulu dia mengambil posisi dekat kepala Khrisna sedang Arjuna yang masuk kemudian berdiri di dekat kaki Khrisna. Saat bangun membuka matanya, Arjuna adalah yang dilihat terlebih dulu oleh Khrisna setelah itu Duryodana.

Keduanya kemudian menyampaikan maksud mereka untuk mendapat dukungan. Karena tak ingin dianggap memihak maka Khrisna memberi 2 pilihan untuk dipilih salah satunya oleh mereka. Pilihan itu adalah:
1. Seluruh bala tentara Narayana (Khrisna berasal dari bangsa Narayana) yang perkasa ikut dalam peperangan.
2. Seorang Khrisna yang tak akan ikut berperang menggunakan senjatanya, hanya akan menjadi kusir.


Arjuna mengambil pilihan kedua sedang Duryodana senang dengan pilihan pertama. Masing-masing mendapat sesuai yamg dikehendakinya. Demikianlah, dengan pilihan yang dibuat oleh masing-masing utusan, akhir kisah Mahabharata memberikan hasilnya. Kemenangan ada di pihak Pandawa.

Kekuatam Doa Ulama Warostatul Anbiya'

Jika ada yang berpikiran tulisan ini sangat berbau Hindu dan tidak islami, saya bisa memaklumi kepicikan mereka dalam berpikir sehingga tanpa disadari telah mempersekutukan-Nya. Tapi tidak mengapa, saya akan berikan contoh lain tentang pentingnya doa dan restu dalam tradisi Islam di jaman Rasulullah SAW. Dan jika masih tidak menerima, maka segalanya terserah kepada Allah SWT.

Di jaman Islam masih belum kuat, Rasulullah Muhammad SAW telah berdoa agar dikuatkan ummat Islam masa itu dengan diberikan hidayah kepada Umar bin Khattab atau Amr bin Hisyam (Abu Jahal). Pada saat itu keduanya sama-sama belum masuk Islam dan masih menentang Islam. Doa diijabah; Umar datang sedang Abu Jahal tidak. Demikianlah sejarah kemudian mencatat kebesaran dan kemuliaan Umar bin Khattab ra.

Tradisi meminta restu kepada para ulama menjadi suatu yang umum berlaku di Indonesia karena mereka mewakili harapan akan berkah Allah atas jabatan yang akan diembannya. Dan ini berlaku sejak jaman dulu. Namun ada hal yang tak kalah pentingnya untuk dilakukan sebelum memilih ulama mana yang akan dimintai restu. Karena ada dua jenis ulama yaitu ulama suu' yang dekat dengan kekuasaan dan cinta dunia. Sedang satunya adalah yang jauh dari kekuasaan / pemerintah dan tidak hubbud dunya. Mereka inilah yang disebut ulama warotsatul anbiya' yang mewarisi ilmu para nabi. Dan mereka inilah yang lebih pantas diminta doa restunya. 

Membaca perlambang

Menerjemahkan fenomena yang terjadi dengan kunjungan Jokowi ke Pesantren kami bagi saya cukup jelas. Saya tahu Beliau Sang Mursyid tidak akan datang ke Tempat Pemilihan Suara (TPS) untuk ikut mencoblos kartu suara. Dan dari awal Beliau juga telah membebaskan murid-murid Shiddiqiyyah untuk menentukan pilihan mereka. Tapi kemampuan murid untuk membaca dan menafsir gerak laku dan ucapan Sang Guru menjadi tugas menarik untuk kita mengukur dan menganalisa kesesuaian hati kita dengan kehendakNya.

Bagi saya belajar dari pengalaman masa lalu ketika harapan pribadi saya berbeda dengan jalan hidup yang ditetapkan Sang Maha Kuasa, saya mengambil hikmah yang besar tentang nilai keikhlasan dan keislaman (berserah diri). Sang Guru mengingatkan saya pada kalimat Ilahi dan inilah yang ingin saya sampaikan kepada diri saya khususnya dan siapapun yang merasa kecewa saat harapannya tidak mewujud "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS 2: 216)

Menjawab kegundahan hati teman-teman yang mendukung Prabowo, saya menyarankan pada mereka untuk mengusulkan pada timses Prabowo agar juga berusaha mempertemukan Prabowo dengan Sang Guru untuk mendapatkan restu. Masih ada waktu sampai tanggal 9 Juli 2014. Dalam pilpres ini, harapan kebanyakan para pendukung digantungkan pada kemampuan tim sukses dan dukungan partai politik kepada calon presiden yang dipilihnya. Sebagai murid Shiddiqiyyah, saya sandarkan harapan itu pada Kebesaran dan Kekuasaan Allah SWT untuk meninggikan dan merendahkan kekuasaan seseorang lewat doa. Kita berdoa agar pilihan yang terbaiklah yang dimenangkan bagi bangsa Indonesia, yang setelah 69 tahun lebih merdeka masih ketinggalan dalam usaha-usaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Wallohu'alam bis showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar