Kamis, 25 Februari 2010

Kemunafikan atau Kekhawatiran?

Minggu ini saya membaca artikel tentang ditutupnya akun twitter Mario Teguh, seorang motivator yang banyak dikenal melalui acara di Metro Mario Teguh Golden Ways (MTGW). Alasan penutupannya karena salah satu dari kalimat yang dia rilis di situs pertemanan twitter menjadi bahan perdebatan banyak orang. Kalimat yang menimbulkan perdebatan itu menyebutkan tentang wanita yang suka keluar malam, clubbing, mabuk, perokok bukanlah wanita yang dapat direncanakan untuk menjadi istri.

Beberapa orang menanggapi dari sudut pandang feminisme karena penyebutan wanita atau istri yang menimbulkan bias gender. Disisi lain, ada yang menanggapi dari aspek ekonomi. Pertimbangan besaran biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan oleh mereka yang melakukan aktivitas tersebut jelas bisa berpengaruh pada aspek ekonomi keluarga. Disisi lain ada juga yang menanggapi dari aspek etika perilaku. Tipikal mereka yang suka melakukan aktivitas seperti yang disebutkan itu jelas adalah jenis orang yang cenderung pada gaya hidup hedonis dan mempunyai perilaku yang cenderung individualis dan mencari kesenangan pribadi.

Yang agak menarik untuk diamati adalah penolakan yang muncul atas pernyataan yang disampaikan itu, utamanya dari mereka yang memang sebagai pelaku dan mendapat atribut seperti yang dimaksud.

Bagi saya pribadi, penerimaan dan pengakuan bahwa memang demikianlah adanya dirinya yang sementara ini belum bisa menjadi yang sebaliknya, adalah jauh lebih baik daripada menolak dengan berbagai alasan. Karena menurut saya fitrah manusia baik yang agamis maupun non agamis, menyadari ukuran-ukuran yang disampaikan adalah memang tidak pantas ada pada mereka yang akan menjadi ibu, yang akan menjadi pendidik generasi penerus dan yang akan menjadi pengayom bagi putra-putrinya.

Bagaimana seorang wanita bisa diminta bertanggungjawab atas pendidikan anak yang dilahirkan atau dalam asuhannya, jika dia lebih sibuk mengurusi kesenangannya sendiri?

Sehingga penolakan atas pernyataan tersebut dalam pandangan saya sebenarnya adalah wujud kekhawatiran dan rasa bersalah atas pilihan gaya hidup yang mereka ambil. Ketakutan karena menyadari gaya hidup 'tak sehat' itu baik langsung maupun tak langsung berdampak pada pola keluarga yang akan mereka bina nantinya.

Jika nurani sudah menyuarakan itu dalam bentuknya yang lain, kenapa harus ditutupi dengan berbagai alasan mengatas-namakan demokrasi dan feminisme? Apa itu bukan wajah lain kemunafikan?

Admit it and improve from it! Jauh lebih elegan dan terhormat :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar