Rabu, 18 November 2009

Game magiclines (part I)

Kalo saat ini orang sedang rame-rame kecanduan game Farmville yang ada di Facebook, maka itu sudah lewat buat saya :) sekarang ini saya bisa dianggap sedang kecanduan game yang namanya magicline, dimana kita diminta untuk menyusun bola dengan warna yang sama secara berurutan dengan junlah minimal lima bola. Jika sudah tersusun dalam satu deret yang sama, maka bola-bola itu selanjutnya akan meledak dan meninggalkan ruang kosong untuk diisi oleh bola-bola baru. Skor tertinggi didapat jika kita bisa menjalankan permainan itu selama mungkin dan berhasil menyusun bola sebanyak-banyaknya. Permainan akan mencapai game over jika kita sudah tak mampu lagi menyusun bola-bola yang ada hingga petak-petak yang ada penuh terisi bola.

Kecanduan itu sedemikian rupanya sehingga ketika saya mesti mengosongkan diri untuk menghadap Tuhan dalam bentuk sholat pengaruh dari bola-bola yang meledak lalu lenyap menari-nari di pikiran saya. Pikiran saya juga bergerak-gerak memncari strategi terbaik untuk membuat petak-petak itu sekosong mungkin. Kecanduan itu juga membuat saya rela melek hingga lewat tengah malam hanya untuk bisa mendapatkan skor tertinggi sementara saya tahu besok pagi saya mesti bekerja. Saya juga menjadi sibuk sendiri dan seperti terpotong dari realitas di sekeliling saya ketika bermain game itu, karena bentuk permainan ini tidak interaktif seperti game farmville.

Gejala-gela kecanduan itu mengingatkan saya pada satu seri Oprah talk show yang membahas tentang orang-orang yang kecanduan narkoba. Disana disebutkan pengaruh narkoba terhadap saraf manusia adalah sedemikian rupa sehingga meski orang itu telah bersih (drugfree) jika dihadapannya diputarkan kaleidoskop yang salah satu gambar kaleidoskop itu disisipi gambar narkoba akan memicu saraf mereka untuk bereaksi ingin mencicipi lagi.

Disisi lain saya tahu bahwa kesenangan atau kecanduan yang sifatnya eksternal, punya batasan. Batasannya adalah rasa bosan dan kosong yang ditimbukan setelah berakhirnya 'kenikmatan' yang diberikan oleh benda-benda yang membuat kecanduan itu (addicted agent). Kondisi itu terjadi pada saat korban mencapai titik jenuh kecanduannya. Dan itu tak sama antara orang satu dengan lainnya.

Kemampuan untuk menolong diri sendiri tergantung dari kemampuan orang tersebut untuk mengetahui sejak dini bahwa dirinya sedang berjalan menuju kearah kecanduan lalu menghentikan atau memutus hubungan dengan addicted agent. Saya bersyukur punya sarana yang bisa menjadi indikator untuk mengukur secara relatif level kecanduan saya, yaitu melalui aktivitas pengosongan diri melalui sholat. Dimana saat saya mengosongkan diri ternyat muncul gambar-gambar yang tidak seharusnya, maka gambar itu adalah simbol kecanduan saya.

Bagaimana dengan anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar