Selasa, 24 November 2009

Tolok Ukur Untung-Rugi

Pagi ini saya disuguhi sarapan nasi urap-urap dengan lauk tahu bumbu bali, tempe bumbu opor dan rempeyek ikan asin. Setelah kenyang makan saya berikan uang pengganti sarapan tadi pada sahabat saya. Dia menolak karena merasa harganya tidak terlalu mahal, hanya Rp.2000,-

Ya, untuk masakan yang begitu enak, mengeyangkan dan lengkap menurut saya harga dua ribu adalah sangat murah. Perkiraan saya antara 4000 sampai 5000 seperti standard makanan yang biasa saya nikmati jika saya menginap di daerah ini.

Hal itu membuat saya berpikir, apa iya ibu penjual nasi itu tidak rugi?! Teman-teman saya yang sedang makan bareng dengan saya menjawab, "Jelas nggak lah! Buktinya sampai sekarang si Ibu masih terus berjualan n malah cukup rame."
Secara ekonomis saya berpikir, 'Ah, mungkin keuntungan yang diambil si Ibu adalah dari jumlah penjualan dengan prinsip biar kecil tapi banyak.' Tapi pikiran saya tetap membuat perbandingan-perbandingan tentang konsep untung rugi.

Banyak orang melihat untung rugi dari sudut pandang ekonomis saja. Prinsip ekonomi menyebutkan dengan biaya sekecil-kecilnya mendapatkan untung sebesar-besarnya. Sehingga kegiatan sosial yang notabene secara ekonomis tidak menguntungkan bahkan malah cenderung defisit karena pelakunya kadang harus mengeluarkan ongkos operasional dari kocek dia sendiri.

Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dijadikan ukuran untung rugi selain pertimbangan ekonomis. Prinsip kemanfaatan dan kepuasan adalah salah satunya. Ketika seseorang merasa dan berpikir bahwa apa yang (akan) dilakukannya memberi manfaat entah pada diri sendiri, orang yang dikasihinya, atau apapun yang akan membawa dia pada pencapaian tujuan maka itu adalah keuntungan yang dia dapat. Biaya akhirnya menjadi prioritas nomor sekian. Begitu juga dalam hal kepuasan.

Boleh jadi si Ibu penjual nasi tadi menimbang bahwa kepuasan bisa melayani banyak pelanggan yang notabene kebanyakan adalah rakyat kecil adalah jauh lebih utama dibanding keuntungan ekonomis. Sehingga dia bertahan untuk memberikan harga yang murah dengan tetap menjaga mutu (cita rasa makanan) dan setia melayani pelanggannya.

Bandingkan dengan mentalitas mayoritas pejabat publik yang cenderung mengutamakan keuntungan ekonomis sehingga memunculkan praktik korupsi dan kolusi.

Nampaknya para pejabat publik juga perlu belajar dan bercermin kepada para pedagang kecil. Jangam cuma menggusur lapak-lapak dagang mereka saat razia PKL!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar