Rabu, 08 Juli 2009

Mengatur bangsa seperti memasak ikan

Ketika saya membaca potongan ayat dalam Tao Te Ching tentang pemerintahan, terus terang saya dibuat bingung karena kalimat yang digunakan sangat 'tidak cerdas' tapi menyimpan kebijaksanaan yang saya yakin mendalam sebagaimana ayat-ayat lain dalam kitab tersebut. Bagian yang menjadi teka-teki bagi saya tersebut adalah ayat berikut ini:

59 Restraint

Manage a great nation as you would cook a delicate fish.

To govern men in accord with nature

It is best to be restrained;
Restraint makes agreement easy to attain,
And easy agreement builds harmonious relationships;
With sufficient harmony no resistance will arise;
When no resistance arises, then you possess the heart of the nation,
And when you possess the nation's heart, your influence will long endure:
Deeply rooted and firmly established.
This is the method of far sight and long life.

[An Interpolation of Tao Te Ching by Peter Merel]


Menurut pemahaman akal bodoh saya, kalimat tersebut saya artikan sebagai berikut:


59 Menahan Diri

Kelolalah negara besar seperti anda akan memasak ikan lunak.

Untuk mengatur manusia menurut sifat dasarnya
Yang terbaik adalah menahan diri;
Dengan menahan diri membuat kesepakatan lebih mudah dicapai
Dengan mudahnya kesepakatan akan terbangun hubungan yang harmonis.
Dengan cukup harmonisnya situasi, penolakan tidak akan muncul
Jika tidak muncul penolakan, maka anda telah menguasai hati / jiwa bangsa
Jika anda telah menguasai hati / jiwa bangsa, pengaruh anda akan tahan lama:
Mengakar kuat dan kokoh terbentuk
Inilah cara melihat jauh ke depan dan panjang umur (dalam memerintah)

Ketika melihat hasil pilpres hari ini dari hasil quick count dan analisis tentang para capres di koran pada masa kampanye lalu, saya mulai sedikit mengerti tentang yang dimaksud. Paling tidak saya melihat penerapan kebijaksanaan tersebut di sosok SBY yang memang secara penampilan sangat terlihat seperti 'tidak nyaman' dan ada kecenderungan menahan diri (restraint).

Kecenderungan SBY yang menahan diri dan mengedepankan keharmonisan (Kompas, 30 Juni 2009) terasa lebih kuat dan dekat dengan karakter kebanyakan rakyat Indonesia yang cenderung 'pasif' terhadap pergolakan politik tingkat tinggi di negeri ini. Kebanyakan rakyat Indonesia punya kemiripan dalam pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin negeri ini: 'Terserah siapa saja pemimpinnya! Yang penting negara aman dan kesejahteraan kami terpenuhi!'

Mungkin SBY tidak menyadari hal tersebut. Bahkan mungkin selama dia memasak ikan, tidak pernah terpikir atau membayangkan ikan sebagai rakyat Indonesia :-) Dia hanya sekedar menjalankan bagian yang menjadi bawaan karakternya. Sehingga dengan kondisi pemerintahan yang ada sekarang, didukung karisma dan gaya kepemimpinannya yang cenderung menahan diri (bandingkan dengan JK yang cenderung lebih agresif atau Megawati yang cenderung keras kepala) membuat dia secara mayoritas lebih bisa diterima oleh masyarakat (easy agreement) meskipun secara program JK lebih cenderung progresif.

Dari sini saya belajar satu hal tentang cara mengelola organisasi yang berbasis massa baik ormas maupun parpol, bahwa kemampuan menahan diri (disamping kualitas karakter lainnya) menjadi salah satu aspek penting dalam memperkuat akar pengaruh baik ke dalam maupun keluar. Menahan diri membawa implikasi lain yaitu kemauan untuk mendengarkan lawan bicara, kemampuan mengolah informasi dan menemukan win-win solution, menjaga keseimbangan dan keharmonisan suasana dan berempati terhadap lawan bicara.

Dan seperti akan memasak ikan, orang harus mengetahui jenis ikan apa yang akan dimasak untuk memberikan bumbu yang tepat, mengolahnya dengan benar agar menjadi hidangan yang lezat dan tepat di lidah kita. Sebagai contoh, saya tahu kalau saya akan memasak ikan asin saya tentu harus rendam dulu agak lama untuk mengurangi rasa asin yang menempel pada ikan itu karena proses pengasinan yang telah dilakukan sebelumnya, akan beda jika saya akan mengolah ikan tawar yang harus saya rendam dulu dalam bumbu selama beberapa waktu agar bumbunya meresap. Tidak terlalu lama yang akan membuatnya terlalu asin dan tidak terlalu cepat yang akan membuat rasanya seperti hambar. Saya juga tahu bahwa untuk membuat otak-otak bandeng saya harus hati-hati mengeluarkan tulangnya agar kulit yang akan membungkus olahan daging ikan tersebut tidak sampai robek karena ketergesaan saya. Saya juga harus menahan diri ketika membersihkan duri dan kotoran bagian dalam ikan (jeroan) agar empedu yang membuat pahit tidak sampai mencemari daging bagian dalam, duri yang tajam tidak sampai melukai tangan.

Satu hal yang saya masih terpikir sekarang adalah, banyak ibu-ibu yang bisa dibilang hampir tiap hari kerjanya memasak ikan di dapur mulai dari menggorengnya jadi lauk sampai dibuat gulai kepala ikan... Apakah pernah terlintas pemikiran seperti itu di benak mereka? Bahwa pada ikan yang mereka olah ada cerminan rakyat yang menjadi penduduk suatu negeri. Bahwa pada proses pengolahan ikan mereka dapat belajar menjadi pemimpin bangsa. Bahwa dengan belajar memasak atau praktik memasak yang mereka lakukan, ternyata jika dihayati dan diambil hikmah bisa menjadikan para ibu ini sebagai pemimpin-pemimpin yang sangat handal dan bijaksana paling tidak dalam lingkungan negara kecilnya (baca: keluarga). Bahkan jika mungkin menularkan kebijaksanaan tersebut kepada anak-anaknya sebagai generasi penerus bangsa. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar