Sabtu, 25 Juli 2009

Paradigma Jihad

Mendengar kata jihad yang sering didengungkan ummat islam, pikiran kebanyakan orang mungkin secara otomatis membayangkan peperangan yang terjadi antara ummat islam dan orang-orang yang dicap dengan label kafir. Saya tidak tahu dari mana penafsiran ini bermula. Tapi yang jelas, setelah menengok dalam kamus bahasa arab, jihad artinya adalah bersungguh-sungguh, sedangkan perang yang dalam bahasa arab adalah qitaal. Sehingga kita perlu melihat pada makna bersungguh-sungguh itu.

Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mengamati jihad ini dari karakter yang ditunjukkan oleh pelaku. Mereka yang bersungguh-sungguh adalah yang tidak setengah-setengah dalam menjalankan tugas dan amanat yang diembannya. Karena kata jihad tidak melulu melekat pada sesuatu yang bernilai ibadah, bisa saja secara kita katakan bahwa para atlet olimpiade ataupun pembalap F1 adalah orang-orang yang berjihad dalam menjalankan tugasnya. Karena untuk mencapai apa yang mereka cita-citakan yaitu menjadi yang terbaik di ajang olahraga yang mereka tekuni, mereka telah mencurahkan daya dan upaya yang luar biasa melebihi rekan-rekannya yang lain. Bahkan bisa jadi, kehidupan mereka sehari-hari dipenuhi dengan disiplin dan latihan-latihan berat untuk menjaga stamina dan mempertahankan prestasi yang telah mereka raih. Lewis Hamilton yang baru-baru ini menjadi juara dunai F1 termuda di usianya yang 23 tahun 10 bulan mengisi hari-harinya dengan kerja keras. Tak banyak waktu bagi dia untuk bersenang-senang. Kehidupan sehari-harinya penuh disiplin dan jauh dari hura-hura.

Bagaimanakah kita menerapkan jihad dalam ranah ibadah? Apakah jihad kita harus kita batasi dalam ajang peperangan melawan kaum kafir? Padahal kita punya waktu 24 jam sehari semalam untuk menjadikan itu sarana kita beribadah mengabdi kepada Alloh. Kalau seorang Lewis Hamilton bisa mendedikasikan dirinya pada Formula-1 dan mencurahkan pikirannya pada dunia F1, dimana hari-harinya dipadati dengan rapat tim, uji coba mobil dan kegiatan sponsor, maka sudah semestinya kita juga bisa melakukan hal yang sama untuk sesuatu yang lebih mulia dari itu.

Bersungguh-sungguh (jihad) menuntut kita untuk menghadapkan seluruh hati dan pikiran kita kepada sesuatu yang menjadi tujuan. Jika dalam Qur’an QS Ar Ruum 30 ada perintah “maka hadapkanlah dirimu pada diin yang hanif” untuk melaksanakan perintah itu tentulah diperlukan kesungguhan. Kesungguhan ini melahirkan sebuah perilaku batin dalam bentuk niat dan adab kemudian tercermin dalam perilaku lahir.

Dalam ilmu manajemen motivasi dan pemberdayaan manusia kita mendengar istilah kebulatan tekad (wholeness) dan keteguhan (perseverance). Dua istilah itu adalah nama lain dari jihad. Apabila niat telah disungguhkan, ia menuntut adanya kebulatan tekad dan keteguhan dalam mencapai tujuan.

Sementara diin yang hanif – yang Alloh telah ciptakan sesuai dengan fitroh manusia – membuat kita dalam mencapai tujuan mestilah menggunakan cara-cara atau adab yang baik. Karena akan kita temui pula di kehidupan sehari-hari orang-orang yang dalam kesungguhannya mencapai tujuan, menggunakan cara-cara yang tidak baik. Seperti seorang Lewis Hamilton, gaya mengemudinya yang agresif dan memboroskan ban mendapat kritikan sesame pembalap. Dia disebut kerap menyalip secara berlebihan sehingga lawan harus keluar dari trek. Sebuah ciri yang melekat padanya sebagai seorang yang agresif dan terkadang kejam terhadap lawan yang menghalangi pencapaian tujuannya.

Islam sebagai agama yang hanif menuntut kita untuk bertindak secara beradab sesuai fitroh manusia. Tentu saja agar itu semua bisa terlaksana, ada hal penting yang tidak boleh dilupakan yaitu terkait dengan ilmu. Segala tindakan untuk kita bisa melakukan dengan sungguh-sungguh, membutuhkan suatu pemahaman yang mendalam (ilmu) sehingga dalam perjalanan menuju satu tujuan kita tidak mudah goyah dan berubah pikiran karena adanya tantangan yang ada dihadapan. Dari ilmu tumbuh keyakinan yang meneguhkan dan semangat untuk tetap tegak menuju tujuan yang dimaksud. Adalah menarik bahwa dalam ayat tersebut kata yang dipilih adalah ‘fa aqim’ yang arti lainnya adalah tegakkan.

Terkait dengan tujuan yang hendak diraih dalam melaksanakan jihad, ajaran Thoriqoh Shiddiqiyyah mengajarkan murid-muridnya untuk mempunyai cita-cita yang tinggi dan mulia. Cita-cita yang disandarkan pada jati diri muslim sejati yaitu menuju takwalloh – sebuah posisi yang mendekatkan insan di sisi Alloh SWT tanpa memandang label apapun yang menyertainya selama di dunia ini. Tujuan takwalloh juga membebaskan kita dari berbagai kepentingan jangka pendek yang bersifat egois apalagi duniawi. Sehingga seorang murid mestilah berjihad dalam menuntut ilmu, menjadikan ilmunya bermanfaat dan mendukung pada pencapaian takwalloh. Seorang pekerja mestilah berjihad dalam menjalankan tanggung jawab kerjanya, menjadikan pekerjaannya sebagai sarana menuju pada pencapaian takwalloh. Seorang pengangguran juga mestilah berjihad, mengisi hari-harinya dengan sesuatu yang bermanfaat dan mendukungnya pada takwalloh. Dan seterusnya.

Pendeknya, tidak ada orang yang tidak berjihad dalam menjalani hidupnya kecuali orang itu telah berputus asa dari rahmat Alloh. Namun, sudahkah kita berjihad secara benar dalam mengisi waktu hidup kita yang sangat pendek ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar