Sabtu, 25 Juli 2009

Kesatuan paham atau kesepahaman?

“ Begitu cemburunya dia,sampai-sampai waktu saya sedang mendengarkan kaset pelajaran. Tiba-tiba dia matikan kaset itu. Dan saat saya tanya kenapa dimatikan, dia hanya diam dan berlalu begitu saja. “

“ Mbak tahu kan bagaimana rasanya, ketika kita sedang dalam suasana pergi ke dalam menemui rasa damai kemudian secara tiba-tiba ditarik keluar secara paksa?! “

“ Apa yang mesti saya lakukan mbak dengan dia? “


Itu adalah penggalan perbincangan yang sempat terjadi ketika secara tak terduga, tangan takdir membawa aku pulang ke kampung halaman dan bertemu dengan teman lama yang sedang mempersiapkan diri menerima pelajaran. Ketika perbincangan itu terjadi, barulah aku sadar, kenapa Tuhan membawaku ke kota lain bukannya kota tujuan awal yang aku rencanakan saat berangkat dari tempat aku tinggal saat ini.

Yang cukup mengejutkan bagiku mendengar penggalan kisah itu adalah, karena temanku baru saja menikah sekitar 5 bulan yang lalu. Waktunya hampir bersamaan dengan saat aku mengawali kerjaku di tempat yang sekarang ini. Dan keluhan itu adalah tentang istrinya yang seakan menjadi duri dalam daging dalam proses perkembangan dirinya. Sekalipun hal yang sama pernah disampaikan sebelum dia menikah dan masih dalam fase pacaran.

Sebagai seorang yang memahami kondisi yang ada padanya, saya berusaha memahami dan menunjukkan kenyataan yang lain. Sekalipun menikah adalah sebuah kebutuhan biologis yang ada pada setiap manusia bahkan makhluk hidup, ada hal-hal lain yang perlu untuk dipertimbangkan terkait dengan siapa kita akan menjalani masa hidup kita (harapannya seumur hidup).

Pertimbangan itu adalah terkait dengan kesiapan untuk berkembang. Jika salah satu pasangan siap untuk berkembang sedang yang lain tidak, maka akan muncul ketidaksepahaman. Bahkan yang satu akan menjadi penghalang bagi yang lain. Inilah yang sebenarnya sedang terjadi dalam kasus teman tadi. Istrinya yang belum bisa melihat secara mendalam kebutuhan lain dari suaminya, berpikiran kekanak-kanakan dan dangkal, telah menjadi penghalang bagi si suami dalam mengembangkan diri.

Yang perlu dipahami, bahwa usaha mengembangkan diri yang dimaksud disini bukanlah sesuatu yang sifatnya lahiriah seperti ketrampilan atau hobi yang bisa dilihat secara kasat mata. Pengembangan diri yang dimaksud adalah pengembangan diri secara batiniah/spiritual. Sebagaimana umumnya pengembangan spiritual adalah usaha untuk mengembangkan energi positif yang ada pada diri masing-masing individu, demikian pula yang dilakukan oleh teman ini.

Namun karena si istri tidak atau belum menyadari hal tersebut, dia melihat apa yang dilakukan oleh suaminya adalah langkah menarik diri atas dirinya. Ketidak-mampuan membaca dan mengikuti apa yang dilakukan suami justru memunculkan energi negative yang diterima oleh si suami tersebut. Penolakannya untuk menerima penjelasan tentang apa yang dipelajari si suami jugat memperparah hal tersebut. Pertentangan dua energi inilah yang akhirnya menimbulkan konflik dan memicu permasalahan diantara keduanya. Bahkan telah berpengaruh secara psikis kepada suami dan mungkin juga istrinya dalam bentuk rasa sakit kepala dan pertengkaran yang terjadi diantara keduanya.

Karena saya bukan psikolog ataupun konsultan perkawinan, hanya sebagai teman curhat yang mendampingi dalam proses menuju pada pengembangan diri spiritual tersebut, saya hanya bisa menyarankan agar dia lebih focus pada dirinya sendiri. Tidak perlu khawatir dengan orang tua (mereka masih tinggal di rumah orangtuanya) maupun istrinya. Bukan bersifat egois, tapi lebih pada menggali lebih dalam potensi damai yang ada pada dirinya. Karena semakin banyak energi positif yang bisa dia tumbuh dan kembangkan baik langsung maupun tidak langsung akhirnya akan berpengaruh kepada orang-orang di sekelilingnya. Jangan memusat pada energi negative istrinya yang justru akan cenderung bersifat menguras energi.

Semakin dia tenang dan mampu mengatasi konflik internalnya juga pergolakan yang terjadi dalam rumah tangganya, akan terlihat efek itu pada dirinya yaitu keseimbangan batinnya tidak terpengaruh oleh konflik itu. Yang berikutnya memberi efek menenangkan pada orangtuanya. Dan harapannya istrinya akan semakin sadar dan paham tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan suaminya.

Dari yang terjadi selama ini, sayang sekali saya tidak pernah ada kesempatan ngobrol lama dari hati ke hati dengan istrinya dari hati ke hati. Karena saya ingin mengatakan padanya betapa beruntungnya dia punya pasangan yang baik. Bagi saya, kejadian itu mengingatkan akan satu hal yang perlu untuk dipertimbangkan sebelum melangkah menuju pernikahan: tujuan apakah yang ingin kita raih dalam pernikahan. Karena kalimat itu akan bisa menjadi tombol reset manakala sebuah kehidupan rumah
tangga mencapai titik jenuhnya dan hang karena suatu permasalahan.

Boleh jadi orang punya paham yang berbeda namun jika dari yang berbeda itu dilakukan kata sepakat untuk mendapatkan kesepahaman dalam tujuan pernikahan yang akan diraih, maka harmonisasi akan terjadi diantara keduanya. Mungkin mudah diucapkan tapi sulit untuk dilaksanakan. Karena diperlukan kesadaran terus menerus dalam melihat berkah dan karunia yang tercurah pada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar